Matahari Berhenti Beredar Taat Kepada Allah
Matahari Berhenti Beredar Taat Kepada Allah
Merupakan sunnatullah bahwa seluruh makhluk yang ada di dunia ini, wajib tunduk dan menghambakan diri secara kauni kepada Rabbul ‘alamin. Sebesar apapun makhluk tersebut dalam pandangan manusia, tetap saja makhluk yang wajib tunduk kepada kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Matahari adalah salah satu makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jamad (benda mati) dan yang sangat besar baik materinya maupun manfaatnya bagi manusia. Sekalipun demikian, dia tidaklah congkak dan kufur terhadap perintah Allah. Jjika demikian keadaannya, maka bagaimana dengan manusia yang kecil. Layak manusia baginya untuk kufur dan membangkang terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Kita simak kisah berikut dan beberapa mutiara kisah yang telah banyak digali oleh para ulama kita. Semoga bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi orang-prang yang memiliki akal dan mau memikirkan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahul Muwaffiq.
Kisah Matahari Berhenti Beredar Taat Kepada Allah
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu pergi berperang, dia berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah ikut bersamaku untuk berperang seseorang yang telah menikahi wanita (beristri), bercita-cita membangun mahligai indahnya rumah tangga namun mereka belum merangkul tujuan mulia tersebut. Demikian pula seorang yang telah menancapkan tiang pondasi rumah, sedang dia belum menaikkan atapnya. Serta seorang yang telah membeli kambing atau unta yang bunting, sedang dia tengah menunggu kelahiran anak untanya.’ Maka nabi tersebut pun berangkat berperang. Tatkala telah mendekat ke sebuah qoryah, desa yang dituju, waktu ashar pun menjelang. kemudian nabi tersebut berkata kepada matahari. ‘Wahai matahari, sesungguhnya engkau diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahankanlah dia untuk perjuangan kami.’ Sesuatu yang keajaiban pu terjadi, matahari tertahan, sampai Allah memenangkan peperangan tersebut atasnya. Ini bukanlah sebuah siklus yang runut, seperti yang dialami halley, encke, west, atau komet-komet, rasi bintang dan benda langit lainnya yang memiliki siklus rutinan. Setelah itu sang nabi mengumpulkan harta ghanimah-nya, agar datang api dari langit untuk membakar tumpukan harta tersebut. Suatu ketetapan dari Allah bagi umat terdahulu, rampasan perang bukanlah sesuatu yang layak dibagikan dan dimanfaatkan. Terjadi lagi keajaiban lainnya, api tidak menjalankan tugasnya sebagaimana biasa, ia tidak mau membakarnya. Sontak sang nabi berujar, “Sesungguhnya (pasti) di antara kalian ada yang berbuat ghulul (korupsi dengan menyembunyikan harta rampasan), maka hendaklah berbaiat kepadaku dari setiap kabilah yang diwakilkan oleh satu orang.’ Maka terekatlah tangan seorang laki-laki pada tangannya, kemudian dia mengatakan, ‘Pasti kalianlah yang telah berbuat ghulul, maka hendaklah kabilahmu berbaiat kepadaku.’ Pada saat baiat dilakukan, tangan-tangan mereka bertautan. Hingga tangan dua orang atau tiga orang laki-laki dari kabilah yang diminta ini merekat pada tangannya. Seseorang yang diberi wahyu ini mengatakan, ‘Kalianlah yang telah berbuat ghulul.’ Kemudian mereka datang membawa emas sebesar kepal lembu dan meletakkannya pada ghonimah yang lainnya. Setelah itu datanglah api dari langit membakar harta-harta ghonimah tersebut, dan tidaklah halal ghonimah itu pada umat-umat sebelum kita, kemudian tatkala Allah melihat kekurangan dan kelemahan kita, maka Allah menghalalkannya untuk kita.” Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitabu Fardhi Khumus, no.3124, dan Imam Muslim dalam Kitabul Jihad Wassair, no.1747. Namun bahasa kisah diadaptasi oleh tim kisah muslim.
Mutiara Kisah
Kisah di atas tidak kita ragukan akan keabsahannya karena kisah tersebut diriwayatkan secara muttafaqun alaih (disepakati atasnya) oleh Al-Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab shahihnya, yang kedunya merupakan kitab paling shahih setelah Alquran sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh para ulama kita. Kisah shahih di atas banyak sekali mengandung pelajaran dan mutiara kisah, di antaranya adalah sebagai berikut:
Bahwasanya jihad fi sabilillah disyariatkan pada umat-umat terdahulu, sebagaimana hal itu pun disyariatkan juga pada umat ini.
Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh kitabullah dalam firman-Nya,
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَآأَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“
Dan berapa banyak nabi yang berperang, bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena benca yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh) Allah menyukai orang-orang yang sabat.” (QS. Ali Imran: 146)
Imam Ibnu katsir mengatakan, “Ayat ini merupakan tasliyah (penghibur) bagi kaum muslimin berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada mereka pada waktu Perang Uhud, dan dikatakan maknanya adalah betapa banyak dari para nabi (sebelumnya) yang terbunuh, dan terbunuh pula bersamanya sejumlah besar dari para pengikutnya yang setia dan para sahabatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2:128)
Hal ini, karena pada waktu Perang Uhud, lemahlah orang-orang yang lemah dan terbunuhlah sejumlah dari kaum muslimin. Setan menghembuskan angin fitnah dan menyeru seraya mengatakan, “Ketahuilah bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.” Maka Ibnu Qomi’ah kembali menuju (barisan) kaum musyrikin dan mengatakan, “Sayalah yang telah membunuh Muhammad,” padahal dia hanya memukul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebabkan luka di bagian kepala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hembusan angin fitnah tersebut merasuk ke hati sebagian besar sahabat yang turut berperang, mereka meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh. Lantas Allah membantah dan menghibur kaum muslimin dengan menurunkan ayat tersebut.
Bahwa perkara-perkara yang penting selayaknya tidak diserahkan kecuali kepada orang-orang yang kuat semangat dan tidak tersibukkan pikirannya dengan suatu urusan, karena seseorang yang pikirannya bercabang, kadang-kadang akan menjadikan lemah semangat dan berkurang kecintaannya untuk melaksanakan sesuatu ketaatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang melakukan shalat dalam keadaan menahan buang hajat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada shalat tatkala dihidangkan makanan, dan tidak pula tatkala dia menahan dua hajat (hajat besar dan kecil).” (HR. Muslim, no.560)
Hadis ini menunjukkan bahwa selayaknya seorang yang ingin melaksanakan sesuatu ketaatan, hendaklah ia menyiapkan hati dan badannya untuk melaksanakan ketaatan tersebut. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal lain sehingga dapat mengerjakan ketaatan tersebut dengan penuh kecintaan, ketentangan, dan kelapangan hati.
Dalam kisah di atas terdapat dalil akan keagungan Allah dan Dialah yang megnatur alam semesta ini. Allah mengatur perkara-perkara di dunia, sekalipun di luar kebiasaannya dalam rangka menolong Rasul-Nya atau menolak kemadharatan yang menimpanya atau untuk suatu maslahat tertentu. Hal ini sebagai bantahan bagi orang-orang yang berpendapat bahwa jagat raya ini adalah suatu rangkaian keteraturan alam yang berjalan sendiri tanpa ada yang mengaturnya, mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Wal iyadzu billah.
Alquran dan sunah telah menunjukkan bahwa alam semesta ini suatu saat dapat berubah dan ada yang mengaturnya. Liahatlah seorang nabi tersebut, dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan matahari pun tertahan dengan kehendak-Nya. Dahulu tatkala para musyrikin meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendatangkan bukti akan kebenarannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ke bulan, maka terbelahlah bulan menjadi dua.
Allah berfirman,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ {1} وَإِن يَرَوْا ءَايَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ 2
“Telah dekat datangnya saat itu dan bulan telah terbelah. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melhat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al-Qamar: 1-2)
Merupakan nikmat Allah yang dicurahkan kepada umat ini, Allah menghalalkan ghanimah yang daimbil dari harta-harta orang kafir, padahal harta tersebut dahulu diharamkan pada umat-umat sebelum kita. Ini merupakan fadhilah Allah kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Aku diberi lima hal, yang belum pernah diberikan kepada seorang pun dari nabi-nabi sebelumku, beliau menyebutkan di antaranya, dihalalkan ghanimah atas beliau, dan tidaklah halal ghanimah tersebut pada umat-umat sebelumku.” (HR. Bukhari, no.335, Muslim, no.521)
Merupakan salah satu sebab datangnya adzab bagi suatu jamaah adalah karena sebab perbuatan orang-orang zalim di kelompoknya. Dari sinilah kita disunnahkan untuk saling memberi nasihat satu sama lain, saling beramar makruf nahi mungkar. Karena suatu kelompok masyarakat ibarat sebuah kapal yang tengah berlayar di tengah lautan, keselamatan mereka adalah tanggung jawab bersama.
Dalam kisah di atas terdapat bukti akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekelebat api datang dan tidak diketahui dari mana datangnya. Api tersebut datang bukan berasal dari tumbuh-tumbuhan bumi atau dari ranting-ranting kering, akan tetapi ia datang dari langit dengan perintahkan Allah untuk turun dan membakar harta-harta ghanimah yang telah dikumpulkan tersebut. Masihkah ada seorang yang ragu akan kekuasaan Allah kepada makhluk-Nya!?
Demikianlah sebuah kisah menarik yang penuh ibrah bagi orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran, akan tetapi betapa banyak ibrah tapi sedikit sekali orang yang mau mengambilnya, semoga bermanfaat.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 10 Tahun 6, Jumada Ula 1428 H