Permata di Masa Jahiliyah
Masa jahiliyah telah berlalu. Terhapus dengan diutusnya Muhammad ﷺ. Banyak orang menyangka masa ini adalah masa kegelapan yang merasuki semua lapisan masyarakat Jazirah Arab. Kerusakan akhlak, rendahnya moral, kehidupan yang bar-bar dengan berlakunya hukum rimba, itulah yang orang kira tentang mereka. Jika Anda menyangkakan yang sama, maka Anda belum mengenal utuh siapa mereka.
Allah ﷻ mengutus Rasu-Nya yang terakhir di bumi Arab, di tanah Mekah yang kering, bukanlah tanpa hikmah dan alasan. Bukan karena moral mereka curam menukik dibanding masyarakat belahan dunia lainnya. Masyarakat Arab jahiliyah memiliki sifat mulia namun tidak tepat guna. Sifat yang nilai aslinya luhur namun tidak mendapat petunjuk dan arah. Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Ahmad).
Inilah permata di masa jahiliyah. Permata bukan dalam arti materi sebenarnya. Ia adalah sifat mulia, permata yang terkubur oleh debu-debu syirik dan khurafat. Permata yang melegam hilang cahayanya karena terbakar ego yang tak terarah. Permata yang menjadi alasan manusia terbaik diutus disana.
Sebelum berbicara tentang sifat unggul masyarakat Arab calon pengusung wahyu ini, singkirkan dulu noda-noda pengaruh media yang selalu menyudutkan mereka. Hapus dulu stigma-stigma negatif yang mengarat karena hembusan korosi media yang tidak jujur. Setelah hal itu netral, barulah simak kisah ini, dan persilahkan akal yang telah merdeka itu menimbangnya sendiri.
Menepati Janji
Di masa jahiliyah terjadi perselisihan antara dua kabilah; Bakr dan Taghlib. Perselisihan ini menelurkan sebuah perang yang dikenal dengan nama Perang al-Basus. Perang al-Basus berlangsung lama hingga 40 tahun (494-534 M). Usia keributan yang panjang, anak-anak muda telah menjadi tua dan remaja di masanya mungkin tidak tahu lagi apa pangkal masalahnya. Di pihak bani Bakr, ada seorang laki-laki yang bernama al-Harits bin Ubbad. Ia adalah kepala kabilah Bakr. Anak laki-laki dari al-Harits dibunuh oleh seseorang yang bernama Muhalhal bin Rabi’ah dari bani Taghlib. Kesetiaan atas darah dan kabilah adalah harga yang tak bisa ditawar. Ia pun memerangi Muhalhal dan kabilahnya, meskipun ia tidak tahu dan belum pernah berjumpa dengan Muhalhal.
Al-Harits berhasil menawan Muhalhal yang tidak ia kenal. Ia berkata kepadanya, “Tunjukkan aku mana yang namanya Muhalhal bin Rabi’ah, engkau akan kubebaskan”. Muhalhal berkata, “Engkau telah berjanji demikian jika kutunjukkan siapa orangnya”. “Iya” jawab al-Harits. “Akulah orangnya”, jawab Muhalhal. Serta-merta, ia pun bebas, padahal ialah yang menjadi alasan meledaknya peperangan (Madkhal li Fahmi ash-Shirah, Hal: 90-91).
Sejenak kita tercenung, mencoba memvisualisasikan kejadian ini. Dengan reflek kita berseloroh ‘Apa-apaan al-Harits?! Sudah berperang dengan membawa serta anggota kabilahnya, misi selesai malah dilepas?!’
Ya, itulah arti janji bagi mereka. Dalam saat sulit dan gejolak dendam yang ingin segera dituntaskan harus tertahan seketika karena mahalnya harga sebuah janji. Nafsu yang memburu itu harus tercekat oleh harga diri apabila janji diselisihi.
Kisah lainnya tentang harga sebuah janji bagi masyarakat jahiliyah adalah kisah Hani’ bin Mas’ud asy-Syaibani.
Ada seseorang yang bernama Nu’man bin Mundzir. Ia takut akan dibunuh oleh Kisra, Raja Persia, lantaran menolaknya untuk menikahi putrinya. Ia pun menitipkan senjata dan keluarganya kepada Hani’ bin Mas’ud, lalu pergi menghadap Kisra. Kecewa karena ditolak, Kisra menjebeloskannya ke penjara, dan ia berada di sana hingga maut menjemputnya.
Kisra mengutus orang kepada Hani’ untuk meminta titipan Nu’man. Hani’ menolaknya. Raja zalim ini mengirim pasukan untuk memerangi Hani’ karena berani menghadang keinginannya. Hani’ mengumpulkan kaumnya dari bani Bakr. Lalu berbicara kepada mereka:
يا مَعشَرَ بكر، هالكٌ مَعذور، خَيرٌ مِن ناجٍ فَرور، إنَّ الحَذَرَ لا يُنجي مِن قَدَر، وإنَّ الصَّبرَ مِن أسبابِ الظُفرِ، المَنيَّةُ ولا الدَنيَّة، و استِقبالُ المَوتِ خَيرٌ مِن استدبارِه، و الطعنُ في ثَغرِ النُحورِ، أكرَمُ مِنهُ في الأَعجَازِ والظُهورِ، يا آل بكر قاتِلوا فما لِلمَنايا مِن بُد»
“Wahai bani Bakr, mati karena perang lebih baik daripada selamat karena lari. Sesungguhnya takut tidak dapat menyelamatkan dari takdir (mati). Dan sesungguhnya sabar (tidak mundur) termasuk sebab-sebab pertolongan. Kematian merupakan keniscayaan, mau tidak mau pasti terjadi. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari membelakanginya. Tusukan di depan lebih mulia, daripada di belakang dan tulang ekor. Wahai keluarga Bakr, berperanglah kalian!!! agar tidak ada bagi kematian jalan yang lain.” (Bulugh al-Arab, 1: 377).
Hani’ tidak peduli mati demi menepati janji. Janjinya kepada Nu’man bin Mundzir.
Perang ini dinamakan Perang Dzi Qar dan inilah kemenangan pertama bangsa Arab atas orang-orang Persia.
Berkaca dengan diri kita, kita merasa terlalu banyak janji yang diselisi walaupun resikonya tidak seberat tanggungan mereka.
Masih banyak sifat lainnya seperti jujur, tahan akan penderitaan, bersyukur atas yang sedikit, menjaga kehormatan, teguh pendirian, dan lain-lain. Yang semuanya akan menjadi sempurna dan terarah ketika cahaya Islam menerangi kalbu mereka. Lalu mereka menjadi duta Islam hingga Islam tersebar ke penjuru dunia.