Akhlak Masyarakat Jahiliyah: Menghormati Tetangga
Mungkin kita sudah terlanjur salah ajar. Sehingga terbentuklah kesalah-pahaman tentang kondisi masyarakat jahiliyah. Fragmen kehidupan jahiliyah yang disajikan kepada kita adalah tentang kebodohan, pembunuhan anak perempuan, perbudakan, dll. Tanpa ada babak lain. Dari penggambaran yang tidak utuh inilah pemahaman kita terbentuk. Kemudian nalar kita pun tertidur, kita tidak mempertanyakan mengapa Allah memilih tanah Arab dan bangsa Arab sebagai pionir menyebarkan misi rahmatan lil ‘alamin. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124).
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengetahui dimana dia menempatkan misi kerasulan. Siapa yang paling pantas menerima risalah ini dari makhluknya.” (Tafsir al-Quran al-Azhim)
Kita ketahui, Allah menjadikan tanah Arab dan bangsa Arab sebagai pembawa risalah. Ditokohi oleh orang terbaik di antara mereka, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل و اصطفى قريشا من كنانة واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم”.
“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail. Memilih Quraisy dari keturunan Kinanah. Memilih Hasyim dari keturunan Quraisy. Dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim 7/58 dan selainnya).
Allah pilih suku bangsa Arab (keturunan Ismail) dibanding suku bangsa lainnya di muka bumi ini. Kemudian memilih lagi yang terbaik dari yang terbaik di antara mereka, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karakter dan akhlak mulia bangsa Arab telah diketahui banyak orang. Karakter tersebut ada yang merupakan pengaruh bangsa non Arab. Adapula yang merupakan kekhasan mereka sendiri. Di antara akhlak mulia Arab jahiliyah adalah menjaga pandangan dari aib tetangga dan menjaga kehormatan mereka. Saat para suami bersafar dan meninggalkan istri-istri mereka, tetangga-tetangga merekalah yang menyediakan kebutuhan. Walaupun demikian, mereka juga menjadi orang yang paling tidak ingin melihat aib tetangganya itu.
Perhatikanlah ucapan Hatim ath-Thai dalam syair yang ia gubah:
نــاري ونار الجار واحـد ### وإليه قبلـي تنزل القــــدر
مـا ضـرَّني جـار أُجـاوره ### أن لا يكـون لبابــه ستـــر
Apiku dan api tetanggaku adalah satu.
Aku menyediakan teko untuknya.
Tidaklaah merugikanku tetangga di sebelahku.
Tak seharusnya ada penutup di pintunya
Api kami adalah api yang satu. Artinya kami masak dari tungku yang sama. Artinya mereka saling bergantian memasakkan makanan. Hal ini menunjukkan keakraban dan kedekatan hidup bertetangga masyarakat jahiliyah kala itu. Sampai minumnya pun dari teko yang sama. Jika ada keperluan, mereka mudah terhubung, karena tidak ada penutup pintu antara rumah mereka. Betapa masyarakat Arab jahiliyah memiliki nilai-nilai yang tinggi dalam menghormati tetangga.
Hal itu, Hatim katakan saat tetangganya mukim bersama. Kalau suaminya keluar bersafar, ia mengatakan,
وما تشتكيني جارتي غير أنني ### إذ غاب عنها زوجها لا أزورها
سيبلغهــا خيــري ويرجع بعلها ### إليها ولم تسبل على ستـورهــا
Tetanggaku tidak mengeluhkanku.
Melainkan apabila suaminya pergi, aku tak lagi mengunjunginya.
Kebaikanku akan sampai padanya kala suaminya kembali padanya.
Aku tidak merusak tabir pembatasnya.
Masyarakat Arab dikenal memiliki kecemburuan yang tinggi. Dalam arti, mereka punya rasa memiliki yang kuat. Istri adalah milik suaminya. Karena itu, mereka tidak suka orang-orang bertemu istrinya tanpa seizinnya. Kebiasaan ini sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim).
Beda halnya dengan sebagian orang sekarang, terutama di era sosial media. Para istri menampakkan diri di hadapan orang lain, tapi suami mengganggap hal itu biasa. Istri memajang foto-fotonya di sosial media tanpa rasa bersalah terhadap suaminya. Mereka tampakkan penampilan menarik. Memamerkan rambut dan bagian tubuh lain yang merupakan aurat. Lebih dari itu, terkadang si istri foto-foto bersama laki-laki non mahram, tapi dianggap lumrah. Suami yang marah dianggap mengekang, kaku, kolot, dan over protectif.
Tidak hanya Hatim ath-Thai yang berujar demikian. Humaid bin Tsaur al-Hilali mengatakan,
وإني لعف عن زيارة جارتـي ### وإني لمشنوء إليَّ اعتيابها
إذا غاب عنها بعلها لم أكـن لها ### زُوَار ولم تنج علىَّ كلابها
وما أنا بالداري أحاديث بيتها ### ولا عالم من أي حوك ثيابها
Sungguh aku menjaga diri mengunjungi tetanggaku
Aku benar-benar tak suka melihat aibnya
Jika suaminya pergi aku tak akan bersamanya
….
Aku di rumahku tidak berbicara dengannya.
Sampai tak tahu keadaan pakaiannya.
Saat berkunjung ke rumah orang, Islam mengajarkan adab. Di antaranya berdiri di samping pintu bukan di depan pintu. Saat berdiri di depan pintu, bisa jadi kita melihat hal-hal di dalam rumah yang sebenarnya tidak ingin ditampakkan oleh pemilik rumah. Orang jahiliyah dulu menjaga diri dari aib tuan rumah ini. Jangan sampai mereka melihat yang tidak diinginkan tuan rumah.
Orang-orang jahiliyah menghormati wanita; istri-istri dan anak-anak gadis tetangga. Mereka tak mau menjumpainya di rumahnya tanpa izin dari walinya. Di zaman kita sekarang, kita saksikan tidak hanya menemui di rumahnya, bahkan laki-laki jalan bersama dengan perempuan di jalan-jalan. Keadaan ini sebenarnya lebih parah dari menemui perempuan di rumah. Tentu ini menjadi indikator kualitas kecemburuan para wali gadis di masa sekarang. Dan kualitas iffah (menjaga kehormatan diri) wanita di zaman sekarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172).
Penutup:
Apa yang penulis sampaikan di atas adalah sisi lain dari kehidupan masyarakat jahiliyah. Tidak kita ragukan, sebagian di antara mereka juga terjebak dalam kerusakan dan pergaulan bebas. Kita mengenal ada nikah istibdha dan bentuk-bentuk pernikahan lainnya di masa jahiliyah. Tapi alangkah baiknya kalau kita melihat dari dua sisi. Sehingga kita tidak keliru dalam memahami kondisi sosial mereka.
Sumber syair: Majalah al-Ustadz oleh Abdullah an-Nadim