Orang-Orang Yang Lurus Sebelum Nabi Muhammad Diutus
Masyarakat Arab pra Islam dikenal sebagai penyembah berhala. Namun di tengah gelapnya paganisme itu ada segelintir di antara mereka yang mencela perbuatan tersebut. Mereka masih menganut agama yang benar. Agama tauhid yang diajarkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka dikenal dengan orang-orang yang hanif.
Kata hanif artinya berpaling dari kesesatan dan lebih condong kepada kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah.” [Quran Rum: 30].
Din yang hanif adalah agama yang lurus. Yang tidak ada kebengkokan padanya (Ahmad Mukhtar Umar: Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashirah. Cetakan Pertama dari Ilmul Kutub. 1429 H. 1/573). Agama hanif ini juga dinamakan agama Ibrahim.
Ibnu Hisyam menyebutkan empat orang yang masih berada di atas agama yang hanif ini. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Ubaidullah bin Jahsy, Utsman bin al-Huwairits, dan Zaid bin Amr bin Nufail. Saat masyarakat jahiliyah berkumpul di sisi berhala-berhala mereka dalam rangka merayakan hari besar, salah seorang dari empat orang ini mengatakan, “Ketauhilah. Demi Allah, kaum kalian ini tidak berada di atas apapun. Mereka telah jatuh pada penyimpangan dari agama bapak mereka, Ibrahim. Batu-batu itu tidak mendengar, tidak melihat, tidak bisa membahayakan, dan tidak bisa memberi manfaat. Wahai teman-teman, carilah untuk diri kalian agama yang benar. Karena demi Allah, kaum kalian ini tidak berada di atas kebenaran.” Kemudian mereka berpencar mencari orang-orang yang masih berada di atas agama yang hanif. Agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah, 1/223).
Ada pula yang menyebutkan jumlah orang-orang hanif itu lebih banyak dari empat orang. Sebagian sumber sejarah menyebutkan nama-nama mereka adalah Qiz bin Sa’idah al-Iyadi, Zaid bin Amd bin Nufail, Umayyah bin Abi ash-Shilat, Arbab bin Raib, Suwaid bin Amir al-Mushtalqi, As’ad Abu Karb al-Humairi, Waki’ bin Zuhair al-Iyadi, Umair bin Jundub al-Juhani, Adi bin Zaid al-Adawani, Abdul Thanahah bin Tsa’lab bin Barrab bin Quda’ah, Ilaq bin Syihab at-Tamimi, Multamis bin Umayyah al-Kinani, Zuhair bin Abi Salma, Khalid bin Sinan al-Abasi, Abdullah al-Qudha’I, Ubaid bin al-Abrash al-Asadi, dan Ka’ab bin Luai bin Ghalib (Dr. Jawwad Ali: al-Mufassal fi Tarikh al-Arab Qablal Islam, 12/39).
Mereka semua berpendapat bahwa agama kaum mereka bukanlah agama asli nenek moyang. Agama yang benar adalah agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Oleh karena itu, mereka mencari-cari sisa ajaran ini. Mereka juga menunggu kedatangan seorang rasul yang akan Allah utus untuk mereka. Pemikiran ini tersebar di sejumlah masyarakat Arab. Walaupun ujung dari pencarian mereka berbeda-beda. Seperti Zaid bin Amr bin Naufal yang wafat dalam keadaan belum menemukan apapun. Ia tetap berada di atas agama yang hanif dengan sebatas yang ia ketahui. Ada lagi yang membaca kitab suci Nasrani. Seperti Waraqah bin Naufal. Tentu kitab Nasrani belumlah mengalami perubahan ekstrim seperti sekarang. Waraqah wafat sebelum Nabi Muhammad diutus. Dan di antara mereka terus berada di atas agama yang hanif hingga datang agama Islam, lalu ia memeluk Islam. seperti Ubaidullah bin Jahsy (Ahmad bin Ahmad Ghalusy: as-sirah an-Nabawiyah wa ad-Da’wah fi al-‘Ahdi al-Makki, Hal: 50).