Imam Syafi’i Rahimahullah Ngalap Berkah di Kuburan Imam Abu Hanifah Rahimahullah
Sengketa tanah di area pemakaman Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad alias Mbah Priok, di Jakarta Utara, (29 Robi’uts Tsani 1431), berubah menjadi pertikaian berdarah. Lebih dari seratus orang, baik dari warga maupun petugas Satpol PP dan Polisi mengalami luka-luka, bahkan ada beberapa yang tewas.
Konon pada abad ke-18, Mbah Priok dikenal sebagai penyebar ajaran agama Islam di Batavia. Sosoknya sangat dihormati. Hingga sekarang kuburannya pun kerap diziarahi. Tatkala tokoh yang mereka hormati diusik, kemarahan mereka laksana bensin yang tersulut percikan api, mudah terbakar.
Kita semua menyayangkan tragedi ini terjadi. Kita harus mengambil pelajaran agar peristiwa semisal tidak terulang kembali. Di antara pelajaran yang sangat penting sekali, bahwasanya sikap pengagungan kaum muslimin kepada kuburan yang dikeramatkan sedemikian kuatnya, sehingga mereka rela mengorbankan jiwa guna mempertahankannya. Bagaimanakah sebenarnya hukum ‘ngalap’ berkah dengan kuburan? Inilah yang akan kita bahas dalam kajian kita melalui rubrik Kisah Tak Nyata tentang Imam Syafi’i.
Dikisahkan bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya ngalap berkah dengan Abu Hanifah. Aku mendatangi kuburannya setiap hari. Apabila aku ada hajat, maka aku pergi ke kuburannya, sholat dua rakaat dan berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah, kemudian tak lama dari itu Allah mengabulkan doaku.”
Takhrij dan Derajat Kisah
BATHIL. Kisah ini dicantumkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1:123 dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrohim dari Ali bin Maimun dari asy-Syafi’i.
Riwayat ini adalah lemah, bahkan bathil, karena Umar bin Ishaq tidak dikenal dan tidak disebutkan dalam kitab-kitab perawi hadis.
Kisah ini adalah kedustaan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ini adalah kedustaan yang sangat nyata bagi orang yang mengerti ilmu hadis… Orang yang menukil kisah ini hanyalah orang yang sedikit ilmu dan agamanya.” Ibnu Qoyyish juga berkata, “Kisah ini termasuk kedustaan yang sangat nyata.” Dalam kitab Tab’id Syaithon dijelaskan: “Adapun cerita yang dinukil dari Imam Syafi bahwa beliau biasa pergi ke kuburan Abu Hanifah, maka itu adalah kisah dusta yang amat nyata.” Maka janganlah engkau dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Kautsari bahwa sanad kisah ini adalah shohih, karena ini adalah termasuk kesalahannya.
Bukti-bukti Kebathilan Kisah
Beberapa bukti yang menguatkan kedustaan kisah ini adalah sebagai berikut.
1. Tatkala imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana tidak ada kuburan yang biasa didatangi untuk berdoa.
2. Imam Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, Mesir, kuburan-kuburan para Nabi, sahabat dan tabi’in dimana mereka lebih utama daripada Abu Hanifah. Lantas, mengapa beliau hanya pergi ke kuburan Abu Hanifah saja?
3. Dalam kitabnya Al-Umm, 1:278, Imam Syafi’i telah menegaskan bahwa beliau membenci pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau dengan pengagungan kubur yaitu sholat dan berdoa di sisinya. Lantas, apakah mungkin beliau menyelisihi ucapannya sendiri?!
4. Hal yang menguatkan bathilnya kisah ini adaah pengingkaran Imam Abu Hanifah terhadap meminta-minta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kitab Ad-Durr al-Mukhtar dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan Imam Abu Hanifah, “Saya membenci seorang meminta kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” “Tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi justru kepada-Nya saja.”
Dan tidak ragu lagi bahwa Imam syafi’i mengetahui pendapat Abu Hanifah ini. Lantas, bagaimana mungkin beliau bertawassul kepadanya padahal ia tahu bahwa Abu Hanifah membenci dan mengharamkannya? Sama sekali tidak masuk akal. Bahkan hal itu akan membuat murka Imam Abu Hanifah.
Jadi semua itu adalah mustahil, kedua Imam ini berlepas diri dari kisah dusta tersebut. Namun apa yang kita katakan kepada para pendusta?! Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu. Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami berlepas diri dari apa yang mereka perbuat.”
Memahami Masalah Tabarruk
Kisah ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan untuk melegalkan ngalap berkah yang tidak disyariatkan. Seperti ngalap berkah kepada kuburan-kuburan orang sholih. Oleh karenanya, masalah tabarruk akan kami singgung secara singkat.
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa sesungguhnya tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada dua macam:
1. Tabarruk masyru’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyariatkan. Seperti Alquran, air zam-zam, bulan Ramadhan dan sebagainya. Akan tetapi tidak boleh ber-tabarruk dengan hal-hal tersebut kecuali sesuai syariat dan dengan niat bahwa hal itu hanyalah sebab, sedangkan yang memberikan barokah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barokah itu (bersumber) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
2. Tabarruk Mammu’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyariatkan.
Hakumnya tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, ‘batu ajaib’, kuburan, dzat kyai, dan lain sebagainya.
Yakinlah bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan menolak madharat kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Simaklah ucapan Amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu tatkala berkata ketika mencium hajar aswad:
“Saya tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya atau manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu maka saya tidak menciummu.”
Imam Ibnul Mulaqqin berkata tentang atsar di atas, “Ucapan ini merupakan pokok dan landasan yang sangat agung dalam masalah ittiba (mengikuti) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun tidak mengetahui alasannya, serta meninggalkan ajaran jahiliyyah berupa pengagungan terhadap patung dan batu. Karena memang tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Sedangkan batu tidak bisa memberikan manfaat, lain halnya dengan keyakinan kaum jahiliyyah terhadap patung-patung mereka. Maka Umar radhiallahu ‘anhu ingin memberantas anggapan keliru tersebut yang masih melekat dalam benak manusia.”
Jenis tabarruk ini telah diingkari secara keras oleh para ulama Syafi’iyyah. Menarik sekali dalam masalah ini apa yang telah dikisahkan bahwa tatkala ada berita kepada Imam Syafi’i, bahwa sebagian orang ada yang ber-tabarruk dengan peci Imam Malik, maka serta-merta beliau mengingkari perbuatan itu.
Imam Nawawi berkata, “Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya, bahwa mengusap-usap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah, maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya. Karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syariat. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”
Al-Ghozali juga berkata, “Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan merupakan adat istiadat kaum Yahudi dan Nasrani.”
Demikianlah ketegasan para ulama Syafi’iyyah. Bandingkanlah hal ini dengan fakta yang ada pada kaum muslimin sekarang!! Berikut ini dua kisah nyata tentang fakta di lapangan sekarang, kemudian saya serahkan komentar dan hukumnya kepada para pembaca sekalian.
Pertama: Kisah yang dibawakan oleh Ustadz Abdullah Zaen. Beliau pernah bercerita, “Ketika penulis diberi kesempatan ke Kota Martapura, sebagian kaum muslimin di sana dengan penuh keprihatinan bercerita, ‘Kira-kira 1 bulan setelah guru Ijay dimakamkan, nisan di atas kuburannya hampir ambruk. Pasalnya setiap hari puluhan atau ratusan orang berziarah berebut menciumi dan mengusap-usap nisan tersebut!!” Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu kejahilan sebagian kau muslimin tersebut.
Kedua: Kisah yang dibawakan oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri, “Saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya sendiri dan kisah ini adalah kisah yang ia alami secara langsung. Kawan saya berasal dari salah satu pondok pesantren di kota Jombang, Jawa Timur. Pada suatu hari ia diajak oleh bibinya berkunjung ke daerah Nganjuk –Jawa Timur- untuk mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, dia dipersilahkan masuk ke ruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilahkan masuk ke ruang tamu wanita.
Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata, ‘Wah, tadi di ruang wanita, saya menyaksikan beberapa wali, di antaranya ada wali laki-laki yang keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benang pun menempel di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan, wali telanjang itu disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya. Ia pun mulai mengisap rokok, dan baru beberapa isapan rokoknya dicampakkan ke lantai.
Melihat puntung rokok tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang sedang berada di ruang tamu berebut memungutnya. Setelah seorang ibu berhasil mendapatkannya ia langsung memerintahkan anaknya yang masih kecil untuk ganti mengisap puntung rokok tersebut. Alasannya agar mendapatkan keberkahan sang wali dan menjadi anak pandai’.” Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu kejahilan sebagian kaum muslimin tersebut.
Demikianlah pembahasan singkat tentang masalah ini. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 11 Tahun Ke-9 1431 H/2010 M