Tahkim Abu Musa dan ‘Amr bin ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Tatkala Abu Musa dan ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkumpul di Daumatul Jandal, keduanya bersepakat untuk menurunkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dari kekhalifan. ‘Amr berkata kepada Abu Musa, “Silakan Anda berbicara dulu!” Abu Musa pun berdiri seraya berkata, “Aku telah pikirkan matang-matang. Ternyata sebaiknya aku turunkan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku turunkan pedangku ini dari pundakku.” Lalu dia melepaskan pedangnya dari pundaknya.
Tibalah giliran ‘Amr bin ‘Ash untuk berbicara. Dia pun berdiri seraya berkata, “Aku telah berpikir matang-matang, ternyata sebaiknya aku mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah sebagaimana aku mengangkat pedangku ini dari tanah.” Lalu dia mengambil pedangnya dan meletakkannya di atas pundaknya.
Mendengar hal tersebut Abu Musa pun tak tinggal diam, dia bergegas mengingkari dengan keras. Namun dengan mudah, ‘Amr bin ‘Ash menjawab, “Demikianlah kesepakatan kita.”
Takhrij Kisah
Kisah ini juga masyhur dalam sejarah, khususnya dalam buku-buku kurikulum pendidikan untuk menodai nama baik sahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu dan ‘Amr bin ‘Ash rahiallahu ‘anhu, serta menggambarkan mereka sebagai orang yang sangat licik, musuh bebuyutan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, politikus yang menghalalkan darah kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Padahal, semua kisah di atas hanyalah kedustaan belaka, hasil buatan tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Pertimbangannya adalah sebagai berikut:
Kisah ini TIDAK SHAHIH, bahkan pemutarbalikan sejarah. Al-Qadhi Abu Bakar rahimahullah berkata, “Kisah ini seluruhnya dusta belaka, tidak pernah terjadi satu huruf pun. Ini hanyalah karangan ahli bid’ah yang diwarisi oleh orang-orang yang tidak mengerti.” (Al-Awashim Minal Qawashim, hal. 179).
Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan, menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati (lihat al-Bidayah wa Nihayah, 7/284 oleh Ibnu Katsir).
Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendoakan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأْمْسِكُوا
“Apabila disebut sahabatku, maka tahanlah.” (Lihat ash-Shahihah, no. 34).
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apabila disebut sahabatku‘ yaitu apa yang terjadi di antara mereka berupa perselisihan dan peperangan. Adapun sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tahanlah,’ yakni janganlah mencela mereka atau menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas, karena mereka adalah sebaik-baik umat.” (Faidhul Qadir, 1/437).
Apalagi seorang sahabat seperti ‘Amr bin ‘Ash atau Mu’awiyah yang memiliki keutamaan khusus, maka tidak boleh sama sekali kita mencelanya. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya tentang seorang yang mencela Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash, apakah dia Rafidhah? Beliau menjawab, “Tak seorangpun berani mencela keduanya, kecuali dia memiliki tujuan yang jelek.” (Tarikh Domasyq, Ibnu Asakir, 59/210).
Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H