Demonstrasi Umar bin Khaththab dan Hamzah Radhiallahu ‘Anhuma
Tatkala Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu telah memeluk agama Islam dan disambut takbir oleh kaum Muslimin pada waktu itu, dia lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran?” tanya Umar.
“Ya,” jawab Nabi.
Umar berkata, “Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, kami akan keluar.”
Akhirnya, mereka pun keluar beramai-ramai menjadi dua barisan. Barisan pertama bersama Umar dan barisan lainnya bersama Hamzah, hingga mendatangai masjid. Quraisy melihat Umar dan Hamzah dan mereka merasa mendapatkan pukulan berat saat itu.
Takhrij Kisah
Kisah ini cukup masyhur dan dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demostrasi yang sekarang marak digelar oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Diriwayatkan Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 1/40 dan ad-Dalail, 194 dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan, dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, dari Abdul Hamid bin Shalih, dari Muhammad bin Aban, dari Ishaq bin Abdullah, dari Aban bin Shalih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Umar bin Khaththab.
Derajat Kisah
Maudhu’. Kisah ini lemah sekali, sebab kecacatannya karena di dalam sanadnya terdapat pe-rawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, sedangkan dia matruk (ditinggalkan) haditsnya sebagaimana dikatakan Imam Nasai, al-Bukhari ad-Daruquthni, Ibnu Abi Hatim, dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq bin Abi Farwah, sedangkan dia adalah rawi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Seandainya kisah ini shahih, maka kejadian ini di awal Islam yakni sebelum sempurnanya syariat (Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 8/257).
Demonstrasi Bukan Solusi
Demonstrasi yaitu pengungkapan kemauan secara beramai-ramai, baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk atau panji-panji, poster, dan lain sebagainya, yang berisikan tulisan menggambarkan tujuan demonstrai tersebut (Kamus Istilah Populer, hal. 62).
Tidak diragukan lagi, bagi seseorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:
1. Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama
Cara atau metode dakwah ilallah telah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang sepanduk, meneriakkan yel-yel, dan sebagainya, ke rumah Abu Jahal atau lainnya. Apalagi bersama para wanita yang dianjurkan agar tetap melazimi “istana kerajaan” (rumah)-nya. Kalaulah memang ada manfaat, maka hal itu lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkannya.
2. Demonstrasi termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir
Tidak diperselisihkan lagi oleh siapa pun bahwa demonstrasi adalah hasil produk orang-orang kafir. Maka, sungguh mengherankan sikap kaum muslimin yang langsung menelan produk barat ini. Mengapa kaum muslimin menelan produk impor barat ini?! Bukankah mereka selalu mendengungkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala
,
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu, sehingga kamu mengikuti agama mereka…. “ (Qs. al-Baqarah: 120).
3. Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syariat Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, baik dari jarak dekat maupun jauh, seseorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.” (Madarijus Salikin, 1/496).
Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini, marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil, apakah yang kita dapati bersama? Lihatlah betapa banyak nyawa yang terbang karena fitnah ini. Betapa banyak gedung-gedung hancur akibat fitnah ini. Sehingga keamanan dan ketentraman kini terasa mahal harganya. Histeris serta ketakutan selalu membayangi kehidupan manusia.
Mengapa mereka tidak berpikir, bila seorang polisi atau aparat terbunuh dalam aksi demo tersebut, yang merugi adalah kita semua? Apabila gedung atau bangunan pemerintah dirusak akan lebih merugikan kita semua? Mana yang lebih disenangi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terpeliharanya darah, harta, dan kehormatan –meskipun barang melambung tinggi—ataukah terkoyaknya kehormatan dan tumpahnya nyawa orang yang belum tentu membuat harga barang turun?
Ingatlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ المُسْلِمِ بِغِيْرِ حَقٌّ
“Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar.” (Hadits shahih, diriwayatkan Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasai (3998) dengan sanad shahih).
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa bencana yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa mereka sendiri, agar mereka segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan ulah perbuatan manusia.” (Qs. ar-Ruum: 41).
Jadi cara terbaik mengatasi segala krisis dan bencana yang menyelimuti bangsa ini adalah dengan bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki diri kita dan keluarga dengan aqidah shahihah, serta membersihkan diri dari segala noda ksyirikan dan kebid’ahan. Ada pun cara-cara seperti kudeta, demonstrasi, dan sejenisnya sekali pun dimaksudkan untuk kebaikan, maka sebagaimana kata penyair:
رَامَ نَفْعًا فَضَرَّ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ
وَمِنْ الْبِرِّ مَا يَكُوْنُ عُقُوْقًا
Maksud hati ingin raih kebaikan, namun tanpa sengaja justru menumbulkan kerusakan.
Sesungguhnya di antara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan.
Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.