Kisah Alqamah Durhaka Kepada Ibundanya
Al-kisah:
Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat, banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqamah. Maka, Rasulullahpun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan
talqin-lah untuk mengucapkan
La Ilaha Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah sudah dalam keadaan
naza’, maka segeralah mereka men-
talqin-nya, namun ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan
La ilaha illallah. Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah.
Maka Rasulullah pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”
Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.”
Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.”
Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah.
Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.
Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”
Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.”
Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”
Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.”
Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?”
Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.”
Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”
Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.
Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu
Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”
Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya,
Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.”
Kemasyhuran kisah ini:
Kisah ini dengan perincian peristiwanya di atas sangat masyhur dikalangan kaum muslimin, para penceramah selalu menyebutkannya kalau berbicara tentang durhaka pada kedua orang tua. Kayaknya jarang sekali kaum muslimin yang tidak mengenal kisah ini. Dan yang semakin membuat masyhurnya kisah ini adalah bahwa kisah ini terdapat dalam kitab Al-Kaba’ir yang disandarkan kepada Al-Hafizh adz-Dzahabi.
Padahal kitab Al-Kaba’ir yang terdapat kisah ini bukanlah karangan Imam adz-Dzahabi, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam kitab beliau Kutubun Hadzara Minha Ulama’ juga dalam muqaddimah kitab adz-Dzahabi yang sebenarnya.
Kisah ini juga terdapat dalam kitab-kitab yang membicarakan tentang kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua. Namun, itu semua tidaklah menjadi jaminan bahwa kisah ini shahih.
Takhrij hadits ini (Takhrij ini saya sarikan dari risalah Qashashun La Tatsbut oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, 3/19 dan setelahnya):
Hadits yang menyebutkan kisah ini secara umum diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 4/382, Thabrani, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/197 dan dalam Dala’ilun Nubuwwah, 6/205. Semuanya dari jalan Yazid bin Harun berkata, telah menceritakan kepada kami Fa’id bin Abdur Rahman berkata, saya mendengar Abdullah bin Abu Aufa berkata, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, dia disuruh untuk mengucapkan syahadat namun tidak bisa mengucapkannya.” Maka, Rasulullah bertanya, “Bukankah dia mengatakannya selama hidupnya?” Dijawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah kembali bertanya, “Lalu apa yang menghalanginya untuk mengucapkan syahadat saat akan mati?” … Lalu selanjutnya diceritakan tentang kisah pemuda itu yang durhaka kepada ibunya dan keinginan Rasulullah untuk membakarnya yang akhirnya ibunya meridhainya dan diapun bisa mengucapkan syahadat lalu meninggal dunia, dan akhirnya Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari api Neraka.”
Derajat kisah:
Kisah ini lemah sekali.
Sisi kelemahannya adalah bahwa kisah ini diriwayatkan hanya dari jalur Abul Warqa’ Fa’id bin Abdur Rahman dan dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya dan seorang yang tertuduh berdusta.
Berkata Ibnu Hibban, “Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang terkenal, dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dengan hadits-hadits yang mu’dhal, tidak boleh ber-hujjah dengannya.”
Berkata Imam Bukhari, “Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dan dia seorang yang munkar hadits.”
Berkata Ibnu Hajar, “Dia orang yang lemah, tidak tsiqah dan ditinggalkan haditsnya dengan kesepakatan para ulama.”
Oleh karena itu, para ulama melemahkan hadits ini, di antaranya:
• Imam Ahmad dalam Musnad beliau.
• Al -Qoili dalam Adh-Dhu’afa al-Kabir, 3/461.
• Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/198.
• Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 3/87.
• Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib, 3/222.
Karena beliau meriwayatkan kisah ini dengan lafadz: (روي: diriwayatkan). Sedangkan beliau mengatakan dalam muqaddimah kitab tersebut, “Apabila dalam sanad sebuah hadits terdapat seorang pendusta, pemalsu hadits, tertuduh berdusta, disepakati untuk ditinggalkan haditsnya, lenyap haditsnya, lemah sekali, lemah atau saya tidak menemukan penguat yang memungkinkan untuk mengangkat derajat haditsnya menjadi hasan, maka saya mulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan). Dan saya tidak menyebutkan siapa pe-rawi-nya juga tidak saya sebutkan sisi cacatnya sama sekali. Dari sini, maka sebuah sanad yang lemah bisa diketahui dengan dua tanda, pertama dimulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan), dan tidak ada keterangan sama sekali setelahnya.”
• Adz-Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at, no. 874.
• Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id, 8/148.
• Ibnu ‘Araq dalam Tanzihusy Syari’ah, 2/296
• Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id al-Majmu’ah.
• Al-Albani dalam Dha’if Targhib.
Ganti yang shahih
Setelah diketahui kelemahan hadits ini, maka tidak boleh bagi siapapun untuk menyebutkan kisah ini saat membahas tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua dan larangan durhaka kepadanya. Namun perlu diketahui, bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban syar’i dan durhaka adalah sebuah keharaman yang nyata. Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan hal ini, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Isra’: 23).
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت أبايعك على الهجرة وتركت أبوي يبكيان فقال ارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما
Dari Abdullah bin Amr berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.’” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih, lihat Shahih Targhib, 2481).
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال كان تحتي امرأة أحبها وكان عمر يكرهها فقال لي طلقها فأبيت فأتى عمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم طلقها
Dari Abdullah bin Umar berkata, “Saya mempunyai seorang istri yang saya cintai, namun Umar membencinya, dan dia mengatakan kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Sayapun enggan untuk menceraikannya. Maka, Umar datang kepada Rasulullah lalu menyebutkan kejadian itu, maka Rasulullah berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah dia.’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan beliau menshahikannya. Berkata Tirmidzi, “Hadits ini hasan shahih.”).
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس واليمين الغموس
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Rasulullah bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Bukhari).
Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah Shahih Targhib wat Tarhib oleh Syaikh Al-Albani pada bab ini. Wallahu a’lam.