Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu
Semoga Allah Merahmati Abu Dzar, Ia Berjalan Seorang Diri
Saat membicarakan perang Tabuk, Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Abu Dzarr mencela untanya. Ketika unta itu terlalu lamban berjalan, ia mengambil bekalnya dan menggendongnya. Kemudian berjalan kaki ia berangkat menelusuri jejak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tengah beristirahat. Saat seorang muslim memandang jauh ke padang pasir, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki seorang diri.’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga ia Abu Dzar.’ Setelah orang-orang mencoba mengamatinya dari kejauhan, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, ia adalah Abu Dzarr.’ Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Dzarr, ia berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri’.”
Seperti itulah Ibnu Ishaq menyebutkannya. Kemudian ia mengiringinya dengan mengatakan, “Lalu Buraidah bin Sufyan Al-Aslami bercerita kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, dan seterusnya.” Ia menceritakan kisah kematian Abu Dzarr di Rabdzah (sebuah desa di Madinah) dan ucapan Ibnu Mas’ud, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam benar, engkau berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri.” Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan riwayat kisah ini setelah ia menyandarkan pada Ibnu Ishaq. Dalam Al-Mathalibul Aliyah ia berkata, “Al-Qurazhi ini aku tidak mengatahuinya. Jika ia adalah Muhammad bin Ka’ab, maka hadis ini terputus.”
Hakim meriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq, kemudian ia berkata, “Hadis ini bersanad shahih, dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Namun Dzahabi mengoreksinya dengan mengatakan, “Ada kemursalan pada sanadnya.” Mungkin maksudnya, riwayat Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Mas’ud itu munqathi’ sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. Tetapi caccat terbesar hadis ini adalah Buraidah bin Sufyan, guru Ibnu Ishaq. Bukhari berkata, “Ia perlu dicermati.” Daruquthni berkata, “Ia ditinggalkan.” Uqaili menuturkan, “Ahmad ditanya tentang hadisnya, maka ia menjawab, “Sebuah petaka.”
Hadis ini dilemahkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrijnya pada kitab As-Siyar karya Dzahabi. Jilid ke-12 dari kitab As-Silsilatudh Dha’ifah telah dicetak dan hadis ini tercantum di dalamnya. Syaikh Al-Albani menilai hadis ini cacat lantaran keberadaan Buraidah Al-Aslami. Adapun keterputusan sanad antara Al-Qurazhi dan Ibnu Mas’ud, Al-Albani berkata, “Dalam Al-Tarikh (1:215). Bukhari telah meriwayatkan dengan sanad kuat bahwa Al-Qurazhi mendengar darinya (Ibnu Mas’ud). Jadi, lebih tepat menilai cacat hadis ini dengan Buraidah.”
Anehnya,, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan hadis ini dalam kitab tarikhnya lalu mengatakan, “Sanadnya hasan dan mereka tidak meriwayatkannya.” Padahal, Ibnu Qayyim ketika menyebutkannya dalam Zadul Ma’ad, ia berkata, “Kisah ini perlu dilihat kembali.” Kemudian ia membawakan riwayat Ibnu Hibban yang berbeda dan sanadnya telah dihasankan oleh Al-Armauth. Tetapi Al-Albani mengatakan, “Hadits dha’if dan sanadnya guncang.”
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010