Ibunda Urwah bin Zubair (Bagian 2)
Asma Pemilik Dua Ikat Pinggang
Syahdan, ketika itu Abu Bakar sedang berkemas mempersiapkan segalanya untuk hijrah bersama kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia telah menyewa seorang ahli penunjuk jalan yang akan menghantarkannya ke Madinah. Disiapkannya pula dua ekor unta sebagai kendaraan pribadi sembari menunggu perintah Rasulullah untuk mulai berhijrah.
Urwah mengisahkan dari bibinya, Aisyah, sebagai berikut,
“Ketika itu, kami (keluarga Abu bakar) sedang beristirahat dalam rumah, berteduh dari sengatan panas matahari di siang bolong, senyap-senyap terdengarlah suara seseorang yang berbisik kepada Abu Bakar,
“Hei, Rasulullah datang sambil menyamar untuk menemui kita!”
“Sungguh, tidak biasanya beliau menemui kita di saat seperti ini, ada apakah gerangan?” gumamku.
“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusannya, ia tak mungkin datang di saat seperti ini kecuali karena perintah Allah,” kata Abu Bakar.
Sesampainya di rumah Abu Bakar, Rasuliullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk masuk. Setelah diizinkan, beliau pun masuk menemui Abu Bakar seraya berkata,
“Suruh mereka (keluarga) keluar sebentar,” perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
“Mereka tak lain adalah keluargamu juga, ya Rasulullah,” jawab Abu Bakar.
“Sesungguhnya aku telah diizinkan berhijrah,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Anda ingin kutemani, wahai Rasulullah?” tanyanya lagi.
“Benar,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ambillah mana dari unta ini yang engkau sukai, wahai Rasulullah,” kata Abu Bakar.
“Ya, tapi akan kubayar,” sahut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka segeralah kami menyiapkan segala keperluan mereka berdua sebaik mungkin. Kami siapkan bagi mereka bekal untuk hijrah dalam sebuah kantong, namun kami tak punya seutas tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat pinggangnya menjadi dua. Sehelai ia pakai, dan satunya untuk mengikat kantong yang akan digendongnya. Maka sejak itulah ia dijuluki Dzatun Nithaqain (yang punya dua ikat pinggang).
Kemudian ayah berangkat bersama Rasulullah ke Gua Tsur. Mereka bermalam di sana selama tiga malam. Selama itu Asma mondar-mandir menghantarkan bekal untuk mereka.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Asma’ adalah orang kedelapan belas yang masuk Islam di Mekkah. Ia hijrah ke Madinah dalam keadaan hamil sembilan bulan. Setibanya di Madinah ia menjadi muhajir pertama yang melahirkan anaknya di Madinah, Abdullah bin Zubair.
Gambaran Ketabahan Asma
Di antara potret ketabahan Asma’ ialah apa yang diriwayatkan oleh sejarawan terkenal, Ibnu Ishaq, dari Asma, katanya,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah, ayah membawa seluruh hartanya yang berjumlah lima ribu atau enam ribu dirham. Lalu datanglah Abu Quhafah (ayah Abu Bakar, kakek Asma) menghampiriku seraya berkata, “Orang ini (Abu Bakar) nampaknya ingin menyusahkan kalian dengan membawa semua hartanya.”
“Tidak, kek, bahkan ia meninggalkan harta yang banyak untuk kami,” jawab Asma’. Kemudian aku pun memungut beberapa buah batu, lalu kuletakkan dis ebuah celah di dinding, tempat ayah biasa menyimpan uangnya. Batu itu kemudian kututupi dengan sehelai kain. Lalu kupegang tangan kakek dan kuletakkan di atas kain tadi, “Inilah yang ayah tinggalkan bagi kami,” kataku.
“Oo, kalau memang meninggalkan sebanyak ini, tak masalah,” ujarnya.
“Padahal, demi Allah, ayah tak meninggalkan uang sepeser pun bagi kami,” kata Asma.
Gambaran Keberanian dan Kepahlawanan Asma
Di antara bukti yang menunjukkan keberanian dan kepahlawanan Asma ialah yang beliau kisahkan sendiri. Beliau menuturkan, “Suatu ketika Abu Jahal dengan beberapa orang temannya datang ke rumah kami. Aku pun keluar untuk menghadapi mereka.
“Di mana ayahmu?!” bentak Abu Jahal.
“Demi Allah, akut ak tahu di mana dia,” jawabku.
Spontan Abu Jahal mengayunkan tangannya dan.. Plakk!! Ia menampar pipiku keras-keras hingga anting-antingku lepas lalu ia pergi.
Asma’ juga mengisahkan,
“Ketika Zubair menikahiku, ia tak memiliki apa-apa selain kudanya. Maka akulah yang merawat kuda itu dan memberinya makan. Aku juga harus menumbuk biji kurma untuk pakan untanya.
Aku juga yang mencari air dan mengadon roti.
Sering kali aku mengusung sekeranjang biji kurma dari kebun Zubair yang berjarak dua pertiga farsakh dari rumahku. Pernah suatu hari, ketika aku hendak kembali ke rumah aku berpapasan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabatnya, sedang di atas kepalaku ada keranjang penuh berisi biji kurma.
“Ikh.. ikh..,” ucap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya merebahkan untanya, menawarkan tunggangan untukku.
Aku merasa malu dan ingat akan Zubair, betapa ia akan cemburu nantinya jika ketahuan aku membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliaupun berlalu.
Setibanya di rumah, kuceritakan apa yang terjadi pada Zubair. Lalu katanya, “Sungguh, keluarmu dari rumah dengan mengusung biji kurma lebih terasa berat bagiku daripada membonceng Rasulullah.”
Setelah kejadian itu, Abu Bakar mengirim seorang pembantu untukku, hingga aku tak lagi mengurusi kuda Zubair. Sungguh aku seakan menjadi sahaya yang dimerdekakan karenanya.”
Kedermawanan Asma
Muhammad bin Munkadir menceritakan bahwa Asma adalah wanita yang penyantun. Zubair bin Awwam sendiri mengakuinhya, ia mengatakan,
“Aku tak pernah melihat wanita yang lebih penyantun dari Aisyah dan Asma, namun sifat santun mereka sedikit berbeda. Kalau Aisyah, maka ia mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit, baru setelah terkumpul ia bagi-bagikan. Sedang Asma tak pernah menyimpang sesuatu untuk hari esok.”
Fathimah binti Mundzir mengatakan, “Pernah suatu ketika Asma menderita sakit, maka ia memerdekakan semua budak yang dimilikinya.”
Kebijaksanaan Asma
Di antara gambaran kebijaksanaannya sebagai seorang ibu ialah ketika ia berpesan kepada puteranya, Abdullah bin Zubair, “Wahai puteraku, hiduplah sebagai orang mulia, dan gugurlah sebagai orang mulia pula, janganlah kamu sampai jatuh dalam tawanan mereka.”
Urwah menceritakan, “Pernah aku dan Abdullah, saudaraku, datang menemui ibunda kami, yaitu sepuluh hari menjelang gugurnya Abdullah. Ketika itu ibu sedang sakit, maka Abdullah menyapanya,
“Bagaimana keadaanmu, Bu?”
“Sakit,” jawabnya.
“Sesungguhnya dalam kematian itu ada ketenganan,” kata Abdullah sambil bercacnda.
“Nampaknya kamu ingin agar aku segera mati ya? Jangan begitu dong,” kata Asma sambil tersenyum.
“Demi Allah, aku belum ingin mati sebelum engkau mengalami satu dari dua hal, engkau terbunuh kemudian aku sabar dan mengharap pahalanya dari Allah atau engkau menang sehingga aku pun senang.”
“Ingatlah, jangan sampai engkau dihadapkan pada suatu pilihan yang tak kau setujui, kemudian kau terima karena takut mati,” pesan Asma kepada Abdullah.
Urwah mengatakan, “Sebenarnya yang dimaksudkan saudaraku ialah bahwa ia lebih memilih untuk dibunuh, maka Asma pun sedih karenanya.”
Dibunuh? Ada apa sebenarnya?
Saat itu sebetulnya Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan pasukan Syam sedang mengepung ketat para pendukung Abdullah bin Zubair di sekitar Masjidil Haram.
Manjanik-manjanik pun disiapkan guna menggempur benteng pertahanan Ibnu Zubair. Konon pengepungan itu dilakukan ketika musim haji, dan tahun itu Al-Hajjaj bin Yusuf bertindak sebagai amirul hajj. Akan tetapi ia tak bisa thawaf karena Masjidil Haram berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair, sedang Ibnu Zubair tak bisa wuquf, karena ia terkepung musuh dari luar.
Akhirnya pasukan Syam di bawah komando Hajjaj berhasil menaklukkan Ibnu Zubair dan para pendukungnya. Hajjaj kemudian mengeksekusi Ibnu Zubair dan menyalibnya di atas bukit Tsaniyyatul Wada.
Sungguh hari itu merupakan hari kelabu bagi warga kota Makkah. Isak tangis dan kesedihan merebak di seluruh penjuru kota, melepas kepergian sang pahlawan putera pembela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersambung…
Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006.