Biografi Atha bin Abi Raba (Bagian 1)
Atha bin Abi Raba
Atha bin Abi Raba Kun-yahnya adalah Abu Muhammad Al-Makki. Dahulu ia merupakan seorang budak dari keluarga Abi Hutsaim. Ayahnya dikenal dengan Abu Rabah Aswadan, nama aslinya Aslam dan ibunya bernama Barokah. Ia dilahirkan di sebuah desa di negeri Yaman yang bernama Al-Janad di masa kekhalifahan
Utsman bin Affan. Atha wafat pada tahun 114 H.
Atha adalah seorang yang berkulit hitam legam, berambut keriting, dan berbibir tebal. Semasa di Mekah ia menjadi budak dari seorang wanita yang bernama Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim. Tatkala sang tuan melihat budaknya ini mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu dan berkhidmat kepada agama Allah, maka ia pun berinisiatif untuk membebaskannya dan mengharap pahala di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Bebaslah Atha dari belenggu perbudakan yang membatasi gerak-geriknya dalam meraih keutamaan di jalan Allah. Ia menjadi orang yang merdeka dan hanya menjadi budak
Allah Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini.
Setelah merdeka, Atha tak menyia-nyiakan umurnya. Ia mencurahkan segenap jiwa dan raganya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari-harinya ia isi dengan menuntut ilmu agama. Ia mulai mereguk segarnya warisan nabawi dari para sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan selain mereka dari para pembesar sahabat rahimahumullah. Dadanya penuh terisi dengan ilmu dan hikmah serta fiqh dan adab.
Atha menjual dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semua waktunya telah diperuntukkan demi menuntut ilmu, hingga ia mencapai derajat yang tinggi dengan kemuliaan ilmunya tersebut.
Yahya bin Sa’id mengatakan, “Bagi Atha, masjid adalah tempat tinggalnya selama dua puluh tahun. Ia adalah orang yang paling bagus salatnya.”
Ibnu Juraij mengatakan: “Lantai masjid menjadi kasurnya selama dua puluh tahun, dan ia adalah orang yang paling bagus salatnya”. Ibnu Juraij melanjutkan komentarnya, “Sungguh aku bersamanya tiga belas tahun. Di masa tuanya saja dimana fisiknya telah melemah, ia salat dengan membaca dua ratus ayat dari Surat Al-Baqarah dalam keadaan kokoh berdiri.”
Ad-Daruquthni mengatakan “Atha pernah berkata, ‘Aku telah bertemu dan belajar kepada lebih dari dua ratus sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Suatu ketika Ibnu Umar datang ke Mekah lalu orang-orang pun datang mengitarinya untuk meminta fatwa, maka Ibnu Umar mengatakan, “Kalian mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan ini kepadaku padahal di sisi kalian ada Atha bin Abi Rabah!!”
Perkataan yang senada pun diucapkan oleh Ibnu Abbas, tatkala ada seseorang yang diutus untuk mengajukan pertanyaan kepadanya, lalu sepupu nabi ini menjawab, “Wahai penduduk Mekah, kalian berkumpul dan meminta fatwa kepadaku padahal di tengah-tengah kalian ada Atha bin Abi Robah.”
Abu Ja’far Al-Baqir mengatakan “Bertanyalah kalian kepada Atha, dia itu orang yang paling baik di antara kita.” Ia juga menuturkan, “Ambillah (ilmu) dari Atha semampu kalian, karena tidaklah tersisa di muka bumi ini seorang yang lebih mengetahui tentang manasik haji selain Atha.”
Atha bin Abi Raba
Kedudukannya yang tinggi dan mulia tidak membuatnya terpana dan pongah, ia tetap mengenal dan sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketinggian dan kemuliaan ilmunya tidak menjadikannya lupa diri, karena ilmu yang sesungguhnya adalah sesuatu yang dapat menghantarkan kepada ketundukan dan kerendahan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat tawadhu di hadapan manusia.
Imam Ibnu Abi Laila mengatakan, “Aku pernah berjumpa dengan Atha. Lalu ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka sahabat-sahabat Atha tercengang keheranan seraya mengatakan, ‘bagaimana mungkin engkau yang bertanya kepadanya?’ Ia menjawab, ‘apa yang kalian herankan? Dia orang yang lebih berilmu daripada saya.”
Al-Asma berkata, “Suatu hari Atha bin Abi Rabah menemui Khalifah Abdul Malik untuk suatu kerperluan umat. Ia memanfaatkan kesempatan karena sang khalifah berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Ia sedang bersantai di atas kasur tempat duduk raja dikelilingi para pembesar kerajaan Bani Umayah. Mengetahui kedatangan tamu yang mulia, seorang ulama karismatik yang dihormati. Spontan sang khalifah menyabut kedatangannya dengan hangat dan ucapan salam penghormatan. Sang raja dengan lapang dada mengajaknya duduk bersama di atas kasur miliknya. Namun, sosok ulama rabbani yang rendah hati ini justru menginginkan duduk di depannya, bukan di kasur mewah yang terbentang indah itu. Khalifah pun bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah kebutuhanmu?” Atha menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah atas apa yang Allah dan rasul-Nya larang dan hendaklah Anda jalankan kepemimpinan dengan bijaksana. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap urusan muhajirin dan ansar, karena merekalah Anda memiliki singgasana. Bertakwalah atas urusan kaum muslim yang tinggal di perbatasan negeri, karena merekalah perisai dan pertahanan kaum muslim. Tunaikan seluruh perkara kaum muslim karena Andalah yang bertanggung jawab tentangnya. Dan bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang lemah, janganlah Anda pancangkan palang pintu istana untuk mereka.” Maka Amirul Mukminin menjawab, “Semua itu akan kulakukan.”
Lalu Atha pun berdiri. Abdul Malik segera meraih tangannya seraya berucap, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya engkau dari tadi memintakan urusan orang lain kepadaku dan aku berjanji akan menunaikannya, namun engkau sendiri apa yang menjadi kebutuhanmu?” Atha menjawab, “Saya tidak meminta kepada makhluk akan kebutuhan saya.” Lalu ia keluar, maka Abdul Malik, “Sungguh inilah kemuliaan, inilah keagungan.”
Bersambung…