Kisah Tokoh Islam – Ahnaf bin Qais, Pemimpin Bani Tamim
Kisah Tokoh Islam – Ahnaf bin Qais, Pemimpin Bani Tamim
Ketika itu, kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.
Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menempati tampat duduknya di balik tabir. Dari situ dia bisa mendengarkan pembiacaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengisi dirinya dengan segala yang didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah yang luhur.
Putri bangsawan ini sangat cerdas bersemangat untuk mencapai ketinggian martabat. Sementara kakaknya menerima orang-orang yang menghadap berdasarkan kedudukannya. Sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu didahulukan dari yang lain, baru kemudian menyusul tokoh-tokoh tabi’in, para ulama dan kalangan bangsawan.
Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertama kakaknya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengar kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan bisa terobati.”
Lawan bicaranya tidak kalah tegas menjawab. “Demi Allah, wahai Mua’awiyah rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju selangkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan, maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis dari Anda atau karena gertakan murka Anda. Kami datang kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum muslimin.” Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkaplah tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasad yang dimiliki manusia melainkan dia mendapat bagiannya.
Ummul Hakam menoleh pada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di rumahnya.” Mu’awiyah menghela nafas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.’
Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah as-Sa’di mendapatkan karunia seorang bayi laki-laki. Dia diberi nama adh-Dhahhak, tapi orang-orang menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan tersebut seakan telah menjadi namanya.
Ayahanda Ahnaf yang bernama Qais bukanlah seorang pemuka dari kaumnya, bukan pula dari golongan yang rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah Barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai yatim karena ayahnya terbunuh ketika dia masih sangat kecil. Cahaya Islam bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus beberapa sahabat kepada kaum Ahnaf bin Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam. Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman dan menawarkan Islam
Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika tiba-tiba Ahnaf muda yang juga hadir angkat suata: “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik utusan. Mereka mengajak keapda akhlak yang luhur dan melarang dari yang cela. Demi Allah, tiada yang kita lihat dari mereka selain kebaikan, maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia dan akhirat.”
Akhirnya kaum itu memeluk Islam secara serentak bersama Ahnaf. Kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Ahnaf tidak disertakan karena umurnya yang masih terlalu muda. Sehingga dia tidak mendapatkan kehormatan sebagai salah satu sahabat. Namun demikian, dia tidak terhalang untuk mendapati ridha dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan doa beliau kepadanya.
Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul Atiq (Ka’bah) dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan kabar gembira kepada Anda?” Aku berkata, “Ya tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyeru kaum Anda kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda mengatakan sesuatu kepada mereka?” Aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdoa, “Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”
Maka Ahnaf bekata, “Tidak satu pun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.”
Sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, muncul nabi palsu, Musailamah al-Kadzab, yang menyesatkan orang lain dengan kedurhakaannya. Sehingga banyak orang yang murtad karenanya. Bersama pamannya Mutasyamas, Ahnaf datang untuk mencari kejelasan tentang hal itu. Ketika itu Ahnaf sedang menginjak usia remaja.
Saat perjalanan pulang sang paman bertanya kepada Ahnaf, “Bagaimana pendapatmu tentang orang tadi?” Ahnaf berkata, “Kulihat dia adalah pembohong besar kepada Allah dan manusia.” Pamannya berkata sambil bergurau, “Engkau tidak takut jika aku laporkan kepadanya?”
Ahnaf berkata, “Kalau begitu aku nanti akan bersumpah kepada paman di hadapannya, maka apakah Anda berani bersumpah bahwa Anda tidak mendustakannya sebagaimana diriku?” Mereka berdua tertawa dan tetap dalam keislamannya.
Mungkin Anda heran dan takjub akan ketegasan Ahnaf dalam menyikapi perkara-perkara yang besar, kendati dia masih berusia muda.
Namun bisa jadi keheranan Anda akan watak kerasnya akan luntur manakala Anda mengetahui bahwa pemuda Bani Tamim ini ternyata adalah seorang yang tajam analisanya, cerdas otaknya, tepat pandangannya, dan suci jiwanya.
Yang demikian itu karena sejak kecil beliau biasa duduk berkumpul bersama tokoh-tokoh kaumnya, ikut dalam majelis-majelis mereka, menghadiri pertamuan-pertamuan dan tekun belajar kepada ulama dan tokoh-tokohnya.
Beliau menuturkan kisahnya: “Kami sering mendatangi majelis Qais bin Asim al-Minqari untuk belajar tentang kebaikan hidup juga kepada para ulama untuk menimba ilmu agama.”
Tatkala beliau bertanya, “Apa yang Anda dapat dari Qais tentang kebijaksanaan?”
Ahnaf menjawab, “Suatu kali aku mendapatinya duduk bersedekap di ruang depan rumahnya, ia sedang bercakap-cakap dengan beberapa kaumnya. Tak lama kemudian terdengar ribut-ribut di luar. Berikutnya beberapa orang masuk membawa dua orang pemuda, yang satu dalam keadaan terikat dan satunya tidak bernyawa lagi. Seseorang melaporkan: “Keponakan Anda telah membunuh putra Anda si fulan.”
Demi Allah, ketika itu Qais bin Asim tak beranjak dari duduknya ataupun berhenti berbicara. Kemudian dia menoleh kepada keponakannya dan berkata, “Wahai putra saudaraku, engkau membunuh putra pamanmu. Itu berarti engkau telah memutus tali kekeluargaan sendiri dengan tanganmu, engkau melempar dirimu sendiri dengan panahmu.”
Dia berkata kepada anak-anaknya yang lain, “Berdirilah, dan lepaskanlah ikatan putra pamanmu. Sesudah itu kebumikan saudara kalian dan kirimkan seratus ekor unta kepada ibu anak ini sebagai diyat karena dia dari keluarga lain.” Lalu dia berkata kepada keponakannya: “Ikutlah mengubur jenazahnya!”
Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada al-Faruq Umar bin Khaththab. Dia menghadiri majelis-majelis Umar, mendengarkan nasihat-nasihatnya juga mempelajari berbagai hukum dan pidana. Beliau termasuk murid Umar yang berhasil dan sangat terwarnai oleh karakter gurunya tersebut.
Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab yang berkata,
Barangsiapa banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebihan dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat waranya
Dan barangsiapa sedikit sifat waranya maka matilah hatinya.
Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” Beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang untuk mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu bertanya, “Apakah empat hal itu?” Beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya, dan rasa malu yang mengendalikannya.”
Ahnaf bin Qais termasuk salah satu tokoh yang lapang dada di Arab, sehingga sifat penyabarnya dibuat sebagai permisalan. Suatu ketika Amru bin Ahtam pernah memperalat seseorang untuk mencaci maki Ahnaf dengan kata-kata yang menyakitkan, tetapi yang dicaci hanya terdiam dan menundukkan kepala. Melihat yang dicaci tidak menggubrisnya, orang itu gigit jari serta bergumam, “Celakalah aku! Demi Allah dia tak mau mempedulikan karena aku dipandang rendah olehnya!”
Ketika hampir mencapai wilayah kaumnya, dia menoleh kepada orang tadi lalu berkata, “Wahai putra saudaraku, bila di hatimu masih tersimpan ganjalan-ganjalan terhadapku, sialakan dilontarkan di sini semuanya, sebab bila ada di antara kaumku yang mendengar makianmu, niscaya mereka akan menghajarmu.”
Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulia gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu, mulailah dia shalat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperi orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, Apa yang membuat engkau berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panas api neraka dan bisa bersabar dengan rasa pedihnya?! Ya Allah, bila Engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau adalah yang berkuasa akan hal itu.”
Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009