Pernikahan Sahabat Nabi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat berharga kepada segenap pemuda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kelompok pemuda yang tidak mempunyai apa-apa.” Beliau bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ,وَأَحْصنُ لِلْفَرْجِ,وَمَنْ لَمْ يَسَتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْ مِ, فَإِ نَّهُ لَهُ وِ جَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu maka menikahlah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa sebab puasa bisa menjadi perisai baginya.” (H.r. Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400)
Karena itu, para pemuda tersebut segera menunaikan wasiat Rasulullah, betapapun kondisi sulit yang tengah mereka hadapi. Kitab-kita sirah menceritakan untuk kita contoh-contoh pernikahan dini mereka.
Kisah pernikahan Abdullah bin Amru bin Ash amat terkenal. Yakni, ketika ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang perempuan dari kalangan Quraisy.
Abu Usaid As-Sa’di, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuk pernikahannya, sebagaimana telah diuraikan di muka.
Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram. Kisahnya amat terkenal. Ia berkata, “Aku menikah dengan seorang perempuan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah kamu telah menikah?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Beliau bertanya, ‘Dengan perawan ataukah dengan janda?’ Aku menjawab, ‘Dengan janda.’ Beliau bertanya, ‘Mengapa kamu tidak menikah dengan seorang perawan, sehingga kamu bisa bercanda dengannya?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku mempunyai beberapa orang saudara perempuan, dan aku khawatir jika istriku menjadi penghalang hubunganku dengan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Sudah benar jika memang demikian. Sesungguhnya, seorang perempuan itu dinikahi karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya. Hendaklah kamu mengutamakan perempuan yang memiliki agama, niscaya kamu tidak akan merugi.’”
Usahamah bin Zaid, sebagaimana tertuang dalam kisah Fathimah binti Qais. Dikisahkan, bahwa suaminya menalaknya tiga kali, sedangkan Rasulullah tidak menetapkan keberhakannya untuk mendapat tempat tinggal dan nafkah. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), maka beritahukan kepadaku.'” Lalu, ia memberitahu beliau (ketika masa iddahnya telah selesai). Kemudian, Mu’awiyah maju melamarnya, juga Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, ia seorang fakir dan Abu Jahm mudah memukul wanita. (Menikahlah) dengan Usamah bin Zaid.” Fathimah berkata dengan tangannya yang bergerak-gerak demikian, “Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya adalah lebih baik bagimu.” Fathimah berkata, “Maka aku pun menikah dengannya dan aku menjadi gembira.”
Pemuda yang lain adalah Umar bin Abi Salamah yang lahir dua tahun sebelum hijrah. Ia menikah selagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan ia telah bermimpi basah, lalu ia bertanya tentang hukum ciuman bagi orang yang sedang berpuasa.
Selanjutnya adalah Abdullah bin Abi Hadrad. Ia bercerita tentang diri pribadinya, bahwa ia menikah dengan seorang perempuan. Ia datang menemui Rasulullah untuk meminta bantuan terkait mahar si perempuan. Beliau bertanya, “Berapa banyak kamu memberinya mahar?” Ia menjawab, “Dua ratus dirham.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya dalam sebuah ekspedisi perang dan ia berhasil mendapat rampasan perang sejumlah mahar yang ia inginkan.”
Tidak ketinggalan, Abu Al-Yasar Ka’b bin Amru Al-Anshari. Para ahli sirah menetapkan bahwa anaknya masih termasuk golongan sahabat.
Sumber: Biografi Generasi Muda Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy, Zam-Zam, Cetakan 1, 2009.