‘Amr bin Al-Jamuh
‘Amr bin Al-Jamuh
Bagian 1
Buah-buah perjuangan Islam mulai tampak di Madinah. Inilah Mush’ab bin Umair radhiyAllahu ‘anhu dikerubungi sejumlah pemuda Yatsrib yang menjadi kota yang baik dan bersinar, tidak seperti sebelumnya, buruk dan gelap. Lebih-lebih menjadi kota Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wasallam.
Disekitar Mush’ab, duduklah Khallad, Mu’adz, dan Mu’awwadz, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh, tuan bani Salamah. Diantara mereka juga terdapat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ‘anhu. Mereka mendengarkan Mush’ab bin Umair mengajarkan agama Islam dan membaca Alquran. Akan tetapi, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh merasa sedih karena ayah mereka (‘Amr bin Al-Jamuh), tuan bani Salamah, masih berada dalam kekafirannya. Ia menyembah berhala yang dinamakannyya Manaf. Ia tidak hanya mencintai berhalanya bahkan sangat perhatian kepadanya. Ia menjadikan temapat khusus baginya di salah satu pojok rumah. Tidak boleh ada yang masuk tempat khusus itu, kecuali dirinya sendiri.
Setiap ingin melakukan sesuatu ia masuk di tempat khusus tersebut, bersujud dan meminta berkah darinya.
Melihat keadaanya seperti itu, .anak-anaknnya ingin menunjukkannya jalan yang benar dan mengajaknya masuk agama Islam. Ibu mereka sebenarnya telah masuk Islam, namun secara sembunyi-sembunyi: dan Allah mengabulkan keinginan mereka ini, namun dengan cara yang lembut, indah, dan menakjubkan.
‘Amr bin Al-Jamuh adalah tuan diantara sejumlah tuan di Yatsrib yang masih kafir. Anak-anak dan istrinya merahasiakan Islam yang telah mereka pegang. ‘Amr mendengar apa yng dikatakan Mush’ab dan yang di dakwahkannya, maka ‘Amr mengutus seseorang untuk bertanya kepada Mush’ab : “ Apa yang kamu bawa kepada kami?”
Mush’ab berkata : “ Jika kamu mau, maka kami akan datang kepadamu dan memperdengarkan kepadamu.” Mereka pun membuat perjanjian untuk bertemu pada suatu hari.
Pertemuan antara Mush’ab dan ‘Amr pada awalnya tampak kering dan keras. Akan tetapi, Mush’ab bersabar, karena ia hanya berniat menunjukkan manusia pada jalan yang lurus. Mush’ab membaca surat Yusuf :
“ Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS. Yusuf [12]: 1-2)
Ayat ini membuat ‘Amr bin Al-Jamuh takjub. Akan tetapi, ia masih mencintai berhalanya dan tidak memutuskan suatu perkara pun tanpa terlepas darinya. Oleh karena itu, Mush’ab berkata : “ Sesungguhnya aku memiliki cara yang tepat untuk membuatnya takluk pada Islam.”
‘Amr bin Al-Jamuh kembali pada berhalanya, lalu bersujud kepadanya. Ia berkata : “ Wahai Manaf, kamu mengetahui apa yang diinginkan orang-orang terhadapku, apakah kamu menolaknya?”
‘Amr bin Al-Jamuh meletakkan pedangnya di atas berhalanya. Kemudian meninggalkannya. Mu’adz, anaknya mengambil pedang tersebut dan menyembunnyikannya. Tujuannya agar ayahnya mengetahui bahwa berhala ini itdak menimbulkan manfaat atau mudharat, tidak juga menguasai dirinya sendiri.
‘Amr bin Al-Jamuh datang. Setelah melihat pedang tidak ada, ia berkata : “ Dimanakah pedangku, wahai Manaf ? Celaka kamu! Kambing yang lemah saja mampu membela dirinya.”
Selanjutnya ia berkata lagi : “ Sesungguhnya aku besok akan pergi untuk melihat hartakku yang berada Alya, Madinah.” Ia berpesan kepada keluarganya agar memperlakukan berhalanya dengan baik.
Ia pun pergi ke Alya, maka anak-anaknya mendatangi berhala. Mereka mengikatnya dengan tali dan meletakkanya di lobang tanah yang digunakann penduduk Yatsrib sebagai tempat sampah dan kotoran mereka.
Beberapa lama kemudian ‘Amr bin Al-Jamuh pulang. Ia menuju berhalanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika berhala tersebut tidak ditemukannya, maka ia berteriak kepada keluarganya : “ Dimana Manaf ? Dimana Tuhanku yang aku cintai?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya.
‘Amr bersungguh-sungguh mencari berhalanya yang raib. Setiap sudut rumah dan tempat yang dicurigainya diamatinya dengan baik. Tidak ketinggalan juga rumah-rumah disekitarnya. Ia selalu menanyakan orang disekelilingnya : “ Tahukah kamu, dimana berhalaku? “ Akhirnya, ia menemukan sesembahannya itu tergeletak di tempat sampah. Baginya ini adalah hal yang tragis dan sangat menyedihkan.
=Bersambung insya Allah=
Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thair, Irsyad Baitus Salam 2006.