Menggoncang Kesombongan Kafir Quraisy
Menggoncang Kesombongan Quraisy
Kesombongan akan berakhir dengan kehinaan, kesewenang-wenangan akan berakhir dengan kekalahan dan menyerah. Yang menyiksa, mengusir, dan memerangi berbalik menjadi yang tersiksa, terusir, dan diperangi. Yang menang berubah menjadi kalah dan sebaliknya. Itulah hari-hari berlalu digilir oleh Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memusatkan perhatian kepada Quraisy untuk menghancurkan mereka sebagai balasan atas kejahatan mereka. Perlu diketahui, pangkal kekuatan Quraisy terdapat pada perdagangan mereka dari kedua jalur. Adakalanya beliau berangkat sendiri memimpin pasukan dan adakalanya mengutus para sahabatnya untuk memerangi (sebagaimana mereka telah memerangi dan mengambil harta Muhajirin
ed.) dan memanfaatkan harta mereka baik dalam perjalanan kafilah keluar dari Mekah atau sekembalinya dari perdagangan. Tujuannya agar
Quraisy dan seluruh umat Islam sepanjang zaman mengetahui bahwa agama Islam dan ahlinya (pemeluknya) bukanlah orang-orang yang hina di hadapan musuh-musuhnya. Juga, supaya umat manusia menyadari bahwa kekuatan dan kemuliaan adalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengutus Sa’ad bin Aabi Waqqash
Diriwayatkan oleh Al-Waqidi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah Sa’ad, “Berangkatlah engkau, wahai Sa’ad hingga sampai ke Hirar (sebelah timur Madinah) karena rombongan dagang Quraisy akan lewat di sana.” Maka berangkatlah Sa’ad bin Abi Waqqash memimpin 20 orang sahabat. Ternyata setiba di Hirar rombongan dagang Quraisy telah berlalu sehari sebelumnya. Sa’ad berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat janji denganku untuk tidak melampaui Hirar. Seandainya bukan karena itu maka akan kususul mereka.”
Perang Abwa atau Waddan
Sebelum ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengirim utusan perang yang disebut dengan sariyah sedang beliau di Madinah. Adapun pada kesempatan ini, beliau sendiri yang berangkat memimpin pasukan perang.
Pada bulan Shafar tahun ke-2 Hijriah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk menghadang rombongan dagang Quraisy dan juga bermaksud memerangi Bani Dhamrah hingga beliau tiba di Abwa namun tidak terjadi pertempuran. Ini merupakan kesempatan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdamai dengan Bani Dhamrah dari Suku Kinanah agar tidak memerangi beliau dan tidak membantu musuh dalam memerangi beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis perjanjian ini dan diserahkan kepada pemimpin mereka, Mahsyi bin Amr adh-Dhamri. Inilah perang pertama kali yang diikuti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar (Al-Fath, 15:142)
Pasukan Ubaidah bin Harits
Peperangan ini adalah kelanjutan dari Perang Abwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera perang kepada Ubaidah bin Harits untuk memimpin 60 orang dari kaum Muhajirin. Ubaidah berangkat hingga menemui rombongan besar Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan atau Ikrimah bin Abi Jahal pada sebuah sumur di Hijaz (antara Madinah dengan Mekah). Mereka saling memanah. Di pihak kaum muslimin, Saad bin Abi Waqqash yang pada saat itu melontarkan panah. Dengan demikian, beliaulah yang pertama kali melontarkan panah di jalan Allah dalam Islam. Kemudian mereka bubar.
Perang Buwath
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat memimpin 200 orang sahabatnya untuk menghadang rombongan dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Kholaf yang berkekuatan 100 orang Quraisy dan 2500 ekor unta hingga beliau sampai di Buwath, salah satu gumang Juhainah di arah Rodhwa. Lalu beliau kembali tatkala tidak menemukan kafilah Quraisy dan tidak terjadi pertempuran. Peperangan ini terjadi pada bulan Robi’ul Awal tahun ke-2 Hijriah.
Perang Badar Pertama
Tatkala Kurzu bin Jabir al-Fihri menyerang dan merampas hewan ternak di pinggiran kota Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengejarnya hingga beliau tiba di lembah Safwan di wilayah Badar tetapi beliau tidak mendapatinya. Maka beliau kembali ke Madinah. Ada juga yang menyebut bahwa perang ini terjadi sebelum Perang Dzul Usyairah.
Perang Dzul Usyairah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat memimpin 150 atau 200 orang sahabat untuk menghadang kafilah dagang Quraisy dalam perjalanan menuju ke Syam hingga beliau tiba di Usyairah di wilayah Yanbu (sebelah timur Madinah). Ternyata kafilah telah berlalu. Dan kafilah dagang Quraisy ini juga dihadang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala kembali dari Syam tetapi luput juga. Inilah yang menjadi sebab Perang Badar Kubra (besar).
Pada perang ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhamrah lalu beliau kembali ke Madinah tanpa terjadi pertempuran. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun ke-2 Hijriah.
Perang Nakhlah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Jahsy pada bulan Rajab untuk memimpin delapan orang sahabat dari kaum Muhajirin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan surat untuknya dan beliau memerintahkannya agar tidak membuka surat tersebut hingga ia telah berjalan selama dua hari dengan tujuan untuk memperkuat rahasia dan agar seorang pun tidak ada yang mengetahui kemana mereka akan pergi. Tatkala Abdullah bin Jahsy membuka surat itu ternyata isinya adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terus berjalan hingga sampai di Nakhlah, antara Mekah dengan Tha’if dan hanya beberapa kilometer dari Mekah. Ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak hanya menghadang kafilah dagang Quraisy di jalur Utara (menuju Syam) saja, tetapi mereka pun menghadang jalur perjalanan kafilah Quraisy ke arah Selatan (menuju Yaman). Ketika mereka di Nakhlah lewatlah kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Ibnul Hadhrami. Maka para sahabat bermusyawarah apakah menyerang kafilah tersebut ataukah tidak, karena waktu itu adalah hari terakhir dari bulan Rajab (di antara bulan yang haram untuk melakukan peperangan). Mereka khawatir akan timbul fitnah jika mereka menyerang. Di sisi lain, para sahabat memandang bahwa apabila tidak menyerang pada malam itu, maka kafilah akan masuk di wilayah haram untuk berlindung dari serangan. Dengan alasan ini para sahabat sepakat untuk menyerang mereka dan merampas harta mereka. Waqid bin Abdullah at-Tamimi memanah Amr bin Hadhrami (ketua rombongan Quraisy) hingga terbunuh. Kaum muslimin berhasil menawan dua pemimpin mereka lalu dibawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan mereka, beliau tidak memerintahkan mereka untuk berperang pada bulan haram dan beliau tidak mau menerima dua tawanan dan rampasan mereka sehingga para anggota pasukan muslim itu mengira bahwa diri mereka telah binasa karena kesalahan itu. Dan dengan kejadian ini maka Quraisy menyebarkan isu bahwa Muhammad dan sahabatnya menghalalkan perang pada bulan haram dengan membnuh, merampas harta, dan menawan. Maka Allah menurunkan ayat,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan-bulan haram maka katakanlah bahwa berperang pada bulan-bulan tersebut adalah dosa besar. Akan tetapi, menghalangi manusia di jalan Allah, kekafiran, dan menghalangi manusia dari Masjidil Haram serta mengusir penghuninya adalah lebih besar dosanya di sisi Allah, dan fitnah (kufur dan syirik) itu lebih besar dosanya daripada membunuh pada bulan haram…” (QS. Al-Baqarah: 217-218)
Dengan ayat ini Allah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin dari kesempitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima tawaran itu.
Ketika Quraisy bermaksud untuk menebus dua tawanan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syarat kepada mereka agar penebusan dilakukan sepulangnya Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazawan. Beliau mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, jangan-jangan telah dibunuh oleh Quraisy. Kedua sahabat ini meninggalkan rombongan pada saat itu karena mencari unta mereka yang hilang.
Pelajaran dari Kisah
1. Dua ayat di atas menerangkan bahwa kejahatan kaum Quraisy yaitu: kufur, menghalangi manusia dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram, mengusir Rasulullah dan para sahabatnya dari Mekah, menindas, menyiksa, dan memfitnah mereka agar murtad dan Islam kepada kekafiran jauh lebih besar dosanya di sisi Allah ketimbang apa yang dilakukan oleh para sahabat yaitu berperang di bulan Haram. Jika demikian besar kejahatan Quraisy terhadap kaum muslimin maka tiadk ada celaan bagi sahabat yang memerangi mereka di bulan haram.
2. Pelajaran yang lain bahwa orang-orang kafir dan orang-orang sesat menggunakan dan menjunjung tinggi sebuah dalil atau sebuah undang-undang apabila dalil itu menguntungkan dan memberi maslahat bagi mereka. Adapun jika dalil merugikan mereka, maka mereka tolak dengan mengingkarinya atau menakwilnya (memalingkan maknanya) dan yang sebenarnya.
3. Ayat ini juga menjelaskan bahwa tiadk ada kompromi dengan orang-orang musyrik para pelaku kejahatan.
4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan siasat surat rahasia –bukan yang dikenal dengan surat kaleng- menunjukkan bahwa harus melakukan taktik dan sebab-sebab yang mendatangkan kemenangan dan menunjukkan bahwa Islam telah jauh lebih dahulu dari perang orang-orang yang baru mengenal uslub surat rahasia ini pada perang dunia ke-2.
5. Pasukan Nakhlah bisa disebut sebagai pasukan berani mati karena mereka menghadang kafilah dagang Quraisy di tempat yang sangat dekat dengan daerah pemukiman mereka yaitu Mekah. (Siroh Dr. Mahdi: 1:403-404)
Syubhat dan Bantahannya
Ada syubhat (kekeliruan paham) yang muncul berkaitan dengan tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menghadang, memerangi, dan merampas kafilah dagang Quraisy. Ada yang menyangka bahwa perbuatan ini adalah mirip dengan perbuatan jahat para perampok dan para pembajak yang merusak, menakut-nakuti, mengganggu keamanan, merampok, dan membunuh.
Jawabannya: Tuduhan itu bisa dibenarkan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan tindakan ini kepada semua orang. Adapun karena dilakukan kepada Quraisy, tidak dianggap sebagai kejahatan karena Quraisy sedang dalam keadaan perang melawan kaum muslimin. Di antara siasat perang yang berlaku hingga zaman sekarang untuk melumpuhkan kekuatan musuh adalah dengan memerangi kekuatan perekonomiannya dan para tokohnya. Sedangkan rombongan dagang Quraisy ke Syam dan Yaman adalah yang terbesar dan terbanyak dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pembesar pilihan Quraisy yang ahli perang dan ahli menunggang kuda. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat-sahabatnya yang terbaik dalam perang-perang tersebut. Terlebih lagi kalau mengingat kejahatan Quraisy terhadap kaum muslimin di Mekah dan merampas harta mereka ketika hijrah ke Madinah, tentu tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut makin bisa dimaklumi.
Kewajiban Puasa
Imam ath-Thabari berkata, “Pada tahun kedua Hijriah puasa Ramadhan diwajibkan. Ada yang mengatakan bahwa ia diwajibkan pada bulan Sya’ban pada tahun itu.”
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa asyura. Maka beliau berpuasa asyura dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berpuasa. Tatkala turun perintah puasa Ramadhan, beliau memberi pilihan kepada orang-orang untuk berpuasa atau tidak. (HR. Bukhari: 4503 dan Muslim: 1125)
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 10 Tahun ke-8 1430 H/2009