Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (5): Perang Shiffin
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menetapkan putusan. Ia akan menyerang penduduk Syam. Ia lazimkan penduduk Syam untuk baiat dan tunduk. Al-Hasan bin Ali berkata, “Ayah, jangan lakukan ini. Karena hal ini mengakibatkan pertumpahan darah di tengah kaum muslimin. Dan membuat jurang perselisihan di antara mereka.” Namun Ali tidak menerima saran putranya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menyerang Syam yang tidak tunduk (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 5/217).
Ini adalah nasihat kedua yang dilontarkan al-Husan kepada ayahnya. Sebelumnya ia menasihati ayahnya agar tak menggerakkan pasukan menuju Bashrah. Agar tidak terjadi perang saudara. Namun Ali tetap melakukan apa yang ia pikirkan. Terjadilah Perang Jamal.
Sekarang Ali menggerakkan pasukannya menuju an-Nakhilah. Sebuah daerah di dekat Kufah. Di sana pasukan akan berhimpun dengan pasukan Bahsrah yang dipimpin Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Dari sana mereka serentak bergerak menyisiri Sungai Eufrat menuju Shiffin. Di pihak lain, Muawiyah juga telah bergerak bersama pasukannya menuju Shiffin. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzul Hijjah tahun 36 H.
Yang perlu dicatat, sampai pada kondisi ini kedua pasukan tidak berkeinginan untuk berperang. Para sahabat adalah seorang yang sangat mengetahui betapa mahalnya darah seorang muslim. Sehingga pergerakan pasukan ini tidak ditujukan untuk saling bertumpah darah. Bukan untuk saling berperang dan menaklukkan. Mereka tidak mau apa yang terjadi di Perang Jamal terulang kembali.
Hal ini tak akan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal para sahabat nabi. Seperti para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka tidak memahami bagaimana takwa para sahabat. Bagaiamana persaudaraan di antara mereka. Bagaimana keinginan mereka untuk islah. Bagaimana kecintaan mereka pada kebaikan. Para orientalis tak akan mampu merenungi bagaimana kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ saat dipersaudarakan oleh Rasulullah. Mereka tak akan mengerti bagaimana itsar (mendahulukan dalam kebaikan) di tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar yang dipuji Allah dalam surat Al-Hasyr. Para orientalis dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dengan cepat bertanya, “Bagaimana bisa pasukan digerakkan tapi tidak ingin berperang?”
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Lebih dari satu orang dari pasukan Muawiyah mengatakan, ‘Mengapa engkau melawan Ali? Engkau bukan orang yang mengungguli Ali dalam keutamaan dan kekerabatan (dengan Rasulullah)? Ali-lah yang lebih layak menjabat khalifah dibanding dirimu’. Muawiyah pun mengakui hal tersebut. Namun mereka memihak Muawiyah karena mendapat informasi bahwa di pasukan Ali terdapat kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana kezaliman terhadap Utsman. Mereka siap berperang untuk membela diri. Dan berperang karena hal ini boleh. Karena itulah mereka tidak memulai menyerang. Sampai mereka yang diserang (Ibnu Taimyah: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/217).
Artinya, pasukan Muawiyah mendapat informasi bahwa pasukan Ali telah disusupi oleh para pembunuh Utsman. Sebagaimana yang terjadi di Perang Jamal. Inilah yang terjadi. Dari Amir asy-Sya’bi dan Abu Ja’far al-Baqir, “Ali mengutus seseorang menuju Damaskus untuk memperingatkan mereka bahwa ia telah menyeru penduduk Irak tentang loyalitas kalian pada Muawiyah. Saat berita ini sampai pada Muawiyah, ia memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan. Orang-orang pun berkumpul memenuhi masjid. Muawiyah naik mimbar dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya Ali telah menyeru penduduk Irak menuju kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang menepuk dada mereka tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Dan tak ada yang mengangkat pandangan mereka.
Seseorang yang disebut dengan Dzul Kila’ berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, engkaulah yang memutuskan dan kami akan melakukan’. Kemudian Muawiyah berkata di hadapan khalayak, pergilah kalian menuju kamp. Siapa yang tertinggal, biarkanlah. Kemudian berkumpullah’. Lalu utusan Ali itu berangkat menuju Ali dan mengabarkannya. Ali pun memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan di masjid. Lalu ia berkhotbah, ‘Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang bergemuruh. Sehingga Ali tak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Ali turun dari mimbar dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/127).
Ali sadar pengikutnya tidak satu suara. Kesetiaan mereka tidak bisa diandalkan. Dan di tengah mereka ada pengkhianatan. Bandingkan dengan kesetiaan pengikut Muawiyah. Benar saja, para pengobar fitnah berusaha menggembosi peperangan. Terjadilah perang yang mayoritas para sahabat tidak turut serta di dalamnya. Diriwayatkan Muhammd bin Sirin rahimahullah berkata, “Saat fitnah bergejolak jumlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 10.000 orang. Yang turut serta di dalamnya tidak sampai 100 orang. Bahkan tidak sampai 30 orang (Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah, 6/236).
Artinya, para sahabat memegang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah. Mereka menjauhinya. Tidak seperti cerita yang disampaikan para pendusta. Seakan hampir semua atau bahkan semua sahabat terlibat dalam fitnah ini. Mereka kesankan para sahabat berpecah dan saling menumpahkan darah. Mengkhianati pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ammar bin Yasir dan Para Pemberontak
Di antara kejadian penting dalam rangkaian Perang Shiffin adalah syahidnya sahabat Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu. Ammar berada di barisan Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْحَ عَمَّارٍ! تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ
“Duhai Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [HR. al-Bukhari (436, 2657) dan Ahmad (11879)).
Terbunuhnya Ammar ini memperjelas posisi Ali dan Muawiyah. Mana ijtihad keduanya yang benar dan mana yang salah. Ali dan orang yang bersamanya berada di pihak yang benar. Sementara Muawiyah dan orang yang bersamanya keliru dalam ijtihad mereka.