Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (1)
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi beberapa peristiwa besar di tengah para sahabat beliau. Terjadi pembunuhan, perselisihan, dan fitnah yang ditujukan kepada para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti terjadinya pembunuhan Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Terjadi Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ada pemberontakan Khawarij. Dll. benarlah sabda beliau:
َلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.
“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka.” [HR. Muslim]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penjaga sahabatnya. Sepeninggal beliau terjadilah pembunuhan, tuduhan, dan permusuhan di tengah para sahabatnya.
Kedudukan Sahabat
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan istimewa di hati kaum muslimin. Bagi umat Islam, tidak ada yang berada di atas mereka kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penghormatan itu karena apa yang telah mereka korbankan untuk membela Rasulullah, menyebarkan agama, dan pengorbanan jiwa, harta, waktu, dan tenaga untuk meninggikan syiar Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menempatkan mereka di kedudukan yang mulia. Allah Ta’ala memuji mereka dengan firman-Nya,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Quran Al-Fath: 29]
Inilah alasan yang membuat umat Islam menaruh rasa hormat yang besar kepada mereka. Mereka tak berani lancang menodai kehormatan mereka walaupun dengan satu kata.
Namun, bukan berarti para sahabat itu maksum. Tapi ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kedudukan mereka ini menjadi rambu peringatan. Agar seseorang tidak melanggar hak mereka. Kalau mereka menerabas batasan tersebut, maka hal itu menjadi tanda kurangnya kualitas agama mereka.
Imam Malik rahimahullah menyifati orang-orang yang membenci para sahabat, “Mereka adalah orang-orang yang ingin mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi celaan tersebut tak mampu mereka tujukan secara langsung pada beliau. Lalu mereka cela sahabat-sahabatnya. Sehingga orang-orang berkesimpulan, ‘Nabi itu orang tidak baik. Kalau beliau orang yang baik, tentulah sahabatnya pun orang baik-baik’. Padahal para sahabat seluruhnya adalah orang yang membela Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta dan jiwa mereka. Membantu beliau agar agama ini kuat. Meninggikan kalimat Allah. Dan menyampaikan risalah beliau. Dimana saat itu dakwah Nabi belumlah kokoh dan tersebar. Tentu saja, kalau ada seseorang yang melakukan upaya seperti ini. Kemudian ada yang menyakiti mereka, pastilah temannya akan marah. Karena meyakiti orang-orang yang membelanya sama saja dengan menyakitinya.” [Ibnu Taimiyah: ash-Sharim al-Maslul Hal: 583].
Kisah fitnah di tengah para sahabat ini dimulai di masa pemerintah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tepatnya setelah enam tahun pemerintahan beliau berjalan. Kemudian berlanjut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu.
Dengan kedudukan para sahabat di sisi Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin dan pembelaan mereka kepada agama ini, tentu menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk membela mereka tatkala ada yang menyakiti mereka. Wajib bagi kita meluruskan berita tatkala orang-orang mamalsukannya. Kita bela kehormatan mereka dari tuduhan orang-orang munafik dan pengikut hawa nafsu.
Perubahan Kondisi
Setelah wafatnya al-Faruq, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, terjadilah perubahan kondisi sosial yang besar. Hal ini dilator-belakangi luasnya penaklukkan. Berlimpahnya kas negara dan harta di tengah kaum muslimin. Masuk unsur budaya baru yang datang dari negeri-negeri taklukkan. Dan semua itu terjadi dalam waktunya yang singkat.
Di antara orang-orang yang negerinya ditaklukkan ada yang memeluk Islam dengan tulus. Namun di antara mereka, ada yang masuk Islam hanya menginginkan menjadi duri dalam sekam. Membalas dendam akan kekalahan negeri dan agamanya. Kondisi kedua ini, seperti kondisi sebagian orang-orang Yahudi dan orang-orang Persia. Kemudian diperparah dengan sebagian umat Islam yang mulai condong pada kehidupan dunia dan perhiasannya.
Kondisi ini bertolak belakang dengan keadaan Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Fisik beliau yang sudah mulai menua berhadapan dengan perubahan yang besar. Beliau yang sudah tidak sebugar dulu dihadapkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Beliau khawatir tidak maksimal dalam mengemban amanah kepemimpinan. Lalu beliau berdoa kepada Allah Azza wa Jalla:
اللهم كبُرَت سني، وضعفت قوتي، وانتشرت رعيتي؛ فاقبضني إليك غير مضيِّع ولا مفرط
“Ya Allah, usiaku telah menua. Kekuatanku telah melemah. Sementara tanggung jawabku semakin besar. Angkatlah aku kepadamu (wafatkan) tanpa menyia-nyiakan tugas dan tanpa berlebihan (dalam amanah pen.).” [al-Muwatta bi Riwayati Yahya al-Laitsi, 2/824].
Kondisi masyarakat berubah. Dan kondisi Umar sebagai pemimpin pun berubah. Namun perubahan itu saling berkebalikan dan membuat ketidak-seimbangan. Kemudian di zaman Utsman bin Affan, kondisi masyarakat tak lagi sesoleh orang-orang sebelumnya. Ia memimpin rakyat yang berbeda dengan rakyatnya Umar. Umar memimpin para sahabat. Sedangkan Utsman, mayoritas rakyatnya adalah orang-orang yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan orang-orang yang lahir dari pendidikan nubuwah. Bahkan sebagian mereka memiliki hasrat besar terhadap dunia. Dunia menguasai hati mereka. Dan harta daerah taklukkan membuat mereka mauk kepalang. Kondisi demikian pastilah memuncullah fitnah dan ketidak-stabilan.
Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini. Dari Syaqib bin Salamah dia berkata,
سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ يَقُولُ بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ عُمَرَ إِذْ قَالَ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قَالَ فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ لَيْسَ عَنْ هٰذَا أَسْأَلُكَ وَلٰكِنْ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ قَالَ لَيْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا بَأْسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا قَالَ عُمَرُ أَيُكْسَرُ الْبَابُ أَمْ يُفْتَحُ قَالَ بَلْ يُكْسَرُ قَالَ عُمَرُ إِذًا لَا يُغْلَقَ أَبَدًا قُلْتُ أَجَلْ قُلْنَا لِحُذَيْفَةَ أَكَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ الْبَابَ قَالَ نَعَمْ كَمَا يَعْلَمُ أَنَّ دُونَ غَدٍ لَيْلَةً وَذٰلِكَ أَنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ مَنْ الْبَابُ فَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنِ الْبَابُ قَالَ عُمَرُ
“Aku mendengar Hudzaifah menuturkan, ‘Ketika kami duduk-duduk bersama ‘Umar, tiba-tiba ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang menghafal sabda Nabi ﷺ tentang fitnah?” Maka Hudzaifah menjawab, “Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya, dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh shalat, sedekah, dan amar makruf nahi mungkar.” ‘Umar berkata, “Bukan tentang ini yang aku tanyakan kepadamu akan tetapi tentang (fitnah) yang bergelombang seperti gelombang lautan.” Hudzaifah berkata, “Kamu tidak terkena dampaknya dari fitnah itu, ya Amirulmukminin, sebab antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu tertutup.” ‘Umar bertanya, “Apakah pintunya dipecahkan atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Bahkan dipecahkan.” Maka ‘Umar berkata, “Kalau begitu tidak ditutup selama-lamanya.” Aku menjawab, “Betul”.’ Saya bertanya kepada Hudzaifah, ‘Apakah ‘Umar mengetahui pintu itu?’ Hudzaifah menjawab, ‘Ya, sebagaimana ia mengetahui bahwa setelah esok ada malam, yang demikian itu karena aku menceritakan hadits kepadanya tanpa kekeliruan.’ Maka kami khawatir untuk menanyakan kepada Hudzaifah siapa pintu sebenarnya. Lalu kami perintahkan kepada Masruq untuk bertanya kepada Hudzaifah, (siapakah pintu itu), Hudzaifah menjawab, ‘ ‘Umar.’” [Muttafaq ‘Alaih, Shaḥiḥ al-Bukhari, no. 7096 dan Shaḥiḥ Muslim, no. 144].