Abu Bakrah ats-Tsaqafi dan Tali Sumur Penuh Kenangan
Mengenal Abu Bakrah
Abu Bakrah ats-Tsaqafi adalah seorang sahabat yang mulia. Seorang penghafal hadits. Namanya adalah Nafi’ bin al-Harits. Ada juga yang mengatakan Nafi’ bin Masruh. Lalu mengapa dikenal dengan kun-yah Abu Bakrah? Saat benteng Thaif dikepung oleh kaum muslimin di Perang Thaif, Nafi’ menyelematkan diri memanjat dinding benteng dengan bakrah (tali sumur). Kemudian ia berlari menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah seorang budak. Lalu Nabi memerdekakannya.
Ibnu al-Madini mengatakan, “Namanya adalah Nafi’ bin al-Harits seperti yang dikatakan Ibnu Saad.”
Terdapat sebuah Riwayat dari al-Mughirah dari Syabbak dari seseorang bahwa orang-orang Tsaqif meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengembalikan status Abu Bakrah sebagai budak. Rasulullah berkata pada mereka, “Tidak. Dia dimerdekakan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Tali Sumur Penuh Kenangan
Ibnu Asakir mengatakan, “Abu Bakrah bin al-Harits bin Kildah bin Amr. Ada juga yang mengatakan, ia adalah budak dari al-Harits bin Kildah. Kemudian ia memanjat benteng dengan bakrah (tali sumur). Sejak hari itu dia dikun-yahi Abu Bakrah. Namun Abu Bakrah menyebut dirinya sebagai mantan budak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengatakan, “Aku adalah Abu Bakrah maula (bekas budak) Rasulullah. Kalau orang-orang menolak hal itu. Dan hanya mau memanggilku dengan nasabku, maka aku adalah Nafi’ bin Masruh.”
Tali sumur itu penuh kenangan. Melantarinya selamat dari kepungan. Kemudian bertemu Rasulullah. Memeluk Islam. Dan merdeka dari perbudakan. Sehingga wajar bakrah (tali sumur) itu mengakrabi panggilannya. Dijadikan kun-yah. Dan kun-yah adalah sapaan penghormatan.
Petuah
Abdul Aziz bin Abu Bakrah menceritakan, “Ayahnya pernah menikahi seorang wanita. Kemudian wanita itu meninggal. Keluarga wanita tersebut menghalangi Abu Bakrah untuk menyalatkannya. Abu Bakrah berkata, ‘Akulah yang paling berhak menyalatkannya’. Mereka mengatakan, ‘Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini benar’. Kemudian Abu Bakrah masuk ke dalam liang kubur. Saudara-saudara istrinya tadi menghalanginya dengan kasar, hingga ia pingsan. Lalu Abu Bakrah dibawa menuju keluarganya. Melihat itu, dua puluh orang putra-putrinya menangis. Dan aku (Abdul Aziz) adalah yang paling kecil di antara mereka.
Lalu Abu Bakrah siuman. Ia berkata, ‘Janganlah kalian menangis. Demi Allah, tidak ada ruh manusia yang lebih aku sukai keluar (dari jasad) melebihi ruhku’. Saudara-saudaraku pun merasa takut. Mereka berkata, ‘Mengapa wahai, Ayah’? Abu Bakrah menjawab, ‘Aku takut bertemu dengan suatu zaman yang di sana aku tak mampu melakukan amar makruf nahi mungkar. Masa-masa itu tak ada baiknya’.” (Mu’jam ath-Thabrani).
Abu Utsman an-Nahdi berkata, “Aku adalah teman dekat Abu Bakrah. Suatu hari Abu Bakrah berkata padaku, ‘Apakah orang-orang mengira aku mencela mereka karena (iri) terhadap dunia mereka. Padahal mereka mendudukan anakku Ubaidullah sebagai ahli perang. Anakku Rawwad sebagai pejabat Darul Rizqi. Anakku Abdurrahman mengurusi Baitul Mal. Apakah mereka memiliki kedudukan dunia seperti itu? Sungguh aku mencela mereka karena mereka kufur (tidak bersyukur)”?
Wafat
Dari Uyainah bin Abdurrahman dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abu Bakrah sakit, anak-anaknya menawarkan dokter padanya. Namun ia menolak. Saat ajalnya telah dekat, ia berkata, ‘Mana dokter kalian itu? Suruh dia mengembalikan nyawaku’.”
Abu Saad mengatakan, “Abu Bakrah wafat di Kota Basrah pada masa pemerintah Muawiyah bin Abu Sufyan.” Ada yang mengatakan ia wafat tahun 51 H. Namun ada pula yang berpendapat tahun 50 H. Jenazahnya dishalatkan kaum muslimin dengan diimami oleh Abu Barzah al-Aslami radhiallahu ‘anhu.
Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Kota Bashrah tidak pernah ditinggali oleh orang yang lebih utama dari Abu Bakrah dan Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma.
Diterjemahkan dengan penambahan dari: https://islamstory.com/ar/artical/34044/ابو-بكرة-الثقفي