Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Zainab Seorang Anak, Istri, dan Ibu Teladan Sepanjang Masa
Ia adalah anak sulung dari pasturi paling mulia, ayahnya adalah al-Amin (orang yang terpercaya), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibunya adalah ath-Thahirah (wanita yang suci) Khadijah radhiallahu’anhu. Di tengah keluarga yang mulia itulah Zainab kecil dibesarkan dan dididik.
Sebagai anak terbesar ia terbiasa membantu meringankan tugas ibunya dalam urusan rumah tangga, dari merawat rumah sampai mengasuh adik-adiknya (Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah radhiallahu’anhunna jami’an. Dari sanalah ia belajar hidup dalam kesabaran dan keteguhan, sampai-sampai Fathimah yang merupakan putri bungsu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap kakaknya Zainab seperti ibu kecilnya.
Pernikahan dan Buah Hati
Sebagai buah dari ketelatenan didikan seorang ibu, maka tak heran bila Zainab menjadi wanita pilihan dan kembang bagi pemuda Quraisy pada masa itu. Ketika usia Zainab menginjak sembilan tahun Abul Ash bin Rabi, putra saudara perempuan Khadijah yang bernama Halah binti Khuwalid, menaruh hati pada Zainab dan bersegera meminta Zainab pada bibinya Khadijah untuk dilamar menjadi istrinya. Maka dengan gembira Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pinangan Abul ‘Ash.
Maka selang beberapa lama kemudian terlaksanalah pernikahan mereka, dan pindahlah Zainab ke rumah suaminya. Indahnya kehidupan mereka sehingga pertemuan terasa begitu singkat dan perpisahan terasa sangat lama dan melelahkan.
Tak terasa waktu berlalu dan terlahirlah putra pertama yang mereka beri nama Ali dan kemudian menyusul Umamah putri mungil mereka.
Ayahnya Seorang Nabi
Pada suatu ketika, di saat Zainab ditinggal pergi oleh Abul Ash bin Rabi untuk berdagang, tersebarlah di Mekah sebuah kabar bahwa telah muncul seorang nabi yang bernama Muhammad bin Abdullah, yaitu ayah Zainab. Tatkala mendengar kabar itu Zainab segera pergi ke rumah orang tuanya untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut. Sesampainya di sana ia pun mendapatkan kabar yang benar dari ibunya yang sangat ia cintai, juga dari pamannya Waroqoh bin Naufal bahwa ayahnya akan menjadi nabi dan terusir dan diperangi oleh kaumnya.
Alangkah senang dan gembiranya Zainab beserta saudaranya mendengar bahwa ayah mereka adalah nabi utusan Allah. Maka segeralah mereka menyatakan keimanan mereka atas kenabian ayah mereka.
Abul Ash Bin Rabi Enggan Masuk Islam
Sepulangnya Abul Ash dari perjalanan dagang, Zainab segera menyampaikan kabar gembira itu kepada suaminya. Dengan penuh semangat ia menceritakan semua yang terjadi dengan harapan akan membuat suaminya tertarik dan masuk Islam. Akan tetapi, sayang tawaran untuk masuk Islam dari istrinya itu ia tolak karena takut dikatakan oleh kaumnya bahwa ia masuk Islam hanya karena ingin mencari keridhaan istrinya. Zainab pun bersedih, namun ia tetap berdoa agar Allah Ta’ala akan membuka hati suaminya untuk beriman pada suatu saat nanti.
Ujian dan Cobaan
Ketika makin keras dan kuat tantangan kaum Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya, sebagian orang Quraisy menghasut Abul Ash dan berkata, “Ceraikanlah istrimu wahai Abul Ash! Pulangkan ia rumah ayahnya dan kami akan menikahkanmu dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari wanita-wanita Quraisy yang terbaik.” Karena begitu murni dan dalam cinta Abul Ash kepada Zainab, maka ia pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku, aku tidak ingin menggantinya dengan wanita mana saja di dunia ini.”
Di saat ayah dan keluarganya diembargo, Zainab hanya mampu berdoa untuk keselamatan ayah, ibu, dan keluarga serta saudara-saudara seakidah. Waktu pun berlalu, dan embargo pun selesai, namun ternyata datang musibah baru yang tak kalah beratnya, yaitu wafatnya paman ayahnya, Abu Thalib, yang disusul dengan wafatnya ibu yang sangat ia cintai. Zainab pun dirundung kedukaan, ditambah lagi suami tercinta belum juga luluh hatinya untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saat itu negeri Mekah terasa sepi bagi Zainab. Ibundanya yang biasa ia jenguk sekarang telah tiada, sementara ayahnya hijrah ke Yatsrib bersama sahabat karib beliau, Abu Bakar, kemudian saudari-saudarinya pun menyusul ke sana.
Tebusan Untuk Abul ‘Ash Bin Rabi’
Perang besar antara kaum muslimin dan musyrikin pun berkecamuk di Badar, dan Abul Ash berada di barisan kaum musyrikin. Zainab menanti kabar dengan gundah gulana. Tak beberapa lama berita pun datang, kaum muslimin memenangi peperangan. Zainab merasa sangat bergembira akan kemenangan ayahnya, tetapi bagaimana dengan suaminya? Abul Ash seperti berita yang ia dengar telah menjadi tawanan kaum muslimin di Yatsrib.
Kaum muslimin meminta tebusan yang sangat mahal untuk para tawanan. Keluarga Abul Ash yang kaya ingin menebusnya, tetapi Zainab ingin ia membayar tebusan untuk suaminya. Maka diutuslah Amr bin Robi saudara laki-laki Abu Ash ke Yatsrib. Sesampai di sana ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil memberikan seuntai kalung ia berkata, “Zainab mengutusku untuk mengirimkan ini sebagai tebusan untuk suaminya.” Melihat kalung yang sangat beliau kenal, karena itu adalah pemberian istrinya sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tersentuh hatinya, lalu beliau berkata, “Maukah kalian membebaskan Abul Ash untuknya (yaitu Zainab) dan mengembalikan tebusannya?” Para sahabat pun menyetujui. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan Abul Ash dengan syarat ia harus melepaskan Zainab dan mengembalikannya kepada beliau, dan Abul Ash pun menyetujui permintaan itu.
Meninggalkan Suami dan Hijrah ke Madinah
Setibanya di Mekah, Abul Ash menyampaikan apa yang menjadi kesepakatan antara ia dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Zainab. Mendengar berita itu Zainab merasa berat untuk berpisah dengan suaminya. Tetapi perintah Allah dan Rasul-Nya lebih didahulukan dari segalanya walaupun ia harus mengorbankan cinta dan perasaannya.
Tak lama kemudian datanglah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjemput Zainab. Akhirnya, dengan sedih Zainab memberikan ucapan selamat tinggal kepada suaminya, namun ia tetap berharap semoga Allah mempertemukan mereka kembali.
Berangkatlah Zainab yang sedang mengandung belum sempurna empat bulan ke Madinah dengan membawa suka dan dukacita sebab perpisahan dengan ayah janin yang sedang dikandungnya.
Kedukaan belumlah terobati, Allah mentakdirkan kandungan Zainab harus gugur sebab ia dan rombongannya dihadang oleh kaum musyrikin sebelum sampai di Madinah.
Akhirnya Zainab pun sampai di Madinah. Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar cerita Zainab tentang penyebab keguguran janin yang ada di kandungannya beliau pun mengutus gerilyawan dan berkata, “Jika kalian mendapati si fulan dan si fulan, dua orang laki-laki dari kaum Quraisy, maka bunuhlah.”
Munculnya Harapan Baru
Enam tahun sudah perpisahan Zainab dan suaminya berlalu, hingga pada suatu saat Abul Ash bersama kafilah dagang yang sedang dalam perjlanan pulang dari negeri Syam menuju Mekah melewati Madinah dihadang oleh pasukan gerilya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, kafilah dagang yang berjumlah lebih kurang 170 orang itu bersama dengan onta-onta mereka yang mencapai seratus ekor ditawan dan digiring ke Madinah. Akan tetapi, Abul Ash dapat meloloskan diri. Ke manakah ia melarikan diri?
Dalam kegelapan malam, dengan sembunyi-sembunyi Abul Ash bin Rabi’ mendatangi rumah Zainab. Zainab pun terkejut menerima kedatangannya dan ia pun menyambutnya dengan baik serta memuliakannya. Ketika Abul Ash bin Rabi meminta kepada Zainab agar mau memberikan perlindungan kepadanya, Zainab pun menyatakan kesediaannya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan shalat Shubuh terdengarlah suara Zainab berseru, “Wahai kaum muslimin, saya Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya telah memberikan perlindungan kepada Abul Ash, maka lindungilah ia!” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Beliau lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu sedikit pun tentang itu sampai aku mendengar apa yang kalian dengar, sesungguhnya semua kaum muslim (sampai yang terendah tingkatannya pun) dapat memberikan perlindungan.”
Kemudian beliau pun menemui Zainab untuk mengetahui kebenaran berita itu, Zainab berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abul Ash adalah kerabat dan anak pamanku, serta anak-anakku, dan aku telah memberikan perlindungan kepadanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Benar wahai putriku, muliakanlah tempatnya, dan jangan sampai ia berhubungan denganmu, sesungguhnya engkau tidak halal baginya.”
Kemudian para sahabat mengembalikan harta yang telah mereka rampas itu kepada Abul Ash. Dan ketika Abul Ash hendak berangkat ke Mekah, ia berkata kepada Zainab, “Mereka (yaitu para sahabat) telah menawarkan keapdaku untuk masuk Islam, tetapi aku menolak sambil kukatakan, ‘Sungguh buruk diriku memulai agama baruku dengan pengkhianatan.’”
Mendengar ucapan terakhir Abul Ash tersebut terasa berdebar jantung Zainab, seakan-akan ia melihat di balik apa yang ia ucapkan ada cahaya dan harapan yang semoga saja dapat menerangi hatinya yang masih gelap dengan kekufuran.
Abul Ash Masuk Islam
Sesampai di Mekah Abul Ash memberikan harta-harta yang diamanahkan kepadanya kepada pemiliknya, kemudian ia berseru, “Wahai kaum Quraisy, apakah ada di antara kalian yang hartanya belum aku kembalikan?” Mereka menjawab, “Tidak ada, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami telah mendapatimu sebagai orang yang memegang amanah dan mulia.”
Lalu Abul Ash berkata, “Jika aku telah mengembalikan hak-hak kalian maka sekarang aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah! Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam sewaktu bersama Muhammad di Madinah kecuali aku takut kalian mengira bahwa aku ingin memakan harta kalian, tetapi setelah aku mengembalikan harta itu kepada kalian, dan sekarang aku telah melepaskan tanggunganku, maka aku masuk Islam.”
Berkumpul Kembali
Setelah itu ia kembali lagi ke Madinah untuk berkumpul kembali dengan Zainab yang telah lama menantinya dengan sabar. Di Madinah ia disambut oleh kaum muslimin dengan gembira, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan Zainab kepadanya, dan mereka berkumpul dan bersatu kembali dalam kebahagiaan bahkan lebih baik dari sebelumnya karena kali ini mereka dikumpulkan dalam agama tauhid. Namun kebahagiaan ini ternyata tidak lama dinikmati berdua dibanding masa sulit dan penuh kesabaran yang mereka harus jalani.
Perpisahan Untuk Selamanya
Waktu berlalu tanpa terasa, genap setahun Zainab berkumpul kembali dengan suaminya. Zainab sang Mujahidah, wanita penyabar, dan tegar itu telah kembali menghadap Sang Khaliq setelah berjuang menghadapi penyakit yang dideritakan semenjak keguguran kandungannya di tengah pada sahara. Zainab meninggal dalam usia relatif muda, 30 tahun, namun begitu dewasanya sikap dan ketabahannya yang patut diteladani oleh para remaja muslimah yang datang sesudahnya.
Kepergian Zainab meninggalkan Abul Ash seorang diri mengenang masa-masa indah yang telah mereka lewati bersama dalam suka dan duka, hanya dua buah hati mereka Ali dan Umamah yang kini menjadi pelipur lara.
Kedukaan pun menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepergian Zainab membuat beliau sangat berduka dan bersedih, membuat kesedihan yang lama terkenang kembali yaitu ketika melepas kepergian istrinya, Khadijah dan putri keduanya, Ruqayyah. Beliau pernah bersabda tentang Zainab, putri sulungnya ini, “Dia adalah putri terbaikku, ia dirundung musibah disebabkan olehku.”
Begitulah kehidupan seorang muslimah sejati, sebagai seorang anak, istri, dan ibu yang senantiasa patut diteladani. Seorang wanita sederhana dan bersahaja, tak pernah lena karena kedudukan ayahnya yang mulia. Wanita yang tak pernah menyerah dan berputus asa, di dalam jiwanya terdapat kebesaran dan keagungan yang mengalir dari ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah meridhai dan merohmati Zainab. Amin
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 10 Tahun ke-1 Jumadal Ula 1429/Mei 2008