Orang-orang Yang Dijamin Masuk Neraka: Umayyah bin Khalaf
Umayyah bin Khalaf mengira bahwa Bilal radhiyallahu ‘anhu seorang budak yang dimiliki, badan, akal, serta jiwa dan seluruh anggota badannya. Akalnya tidak mampu meyakini apa yang dia kehendaki, ataupun memikirkan apa yang diinginkannya. Umayyah lupa dan tidak terlintas padanya bahwa akal Bilal dan keimanannya serta aqidahnya tidak berada di bawah kekuasaannya. Dia tidak bisa membendung celah-celah cahaya dalam hati yang bersinar, dengan cahaya Allah.
Mulailah penyiksaan menggiring Umayyah dengan sikap kefajiran dan kedengkiannya. Umayyah seorang yang kaku kepribadiannya, keras hatinya, tidak mengalir di hatinya setetes rasa kemanusiaan. Karena itu sifat jelek tersebut mendorongnya untuk melampiaskan bersama kedengkiannya terhadap Bilal radhiyallahu ‘anhu, di mana sikap Bilal menjadi lambang bagi kemanusiaan dan kebebasan hak.
Sekiranya seseorang menelusuri tingkatan penyiksaan yang begitu pedih dialami oleh Bilal, membayangkan atau menggambarkan keadaan lingkungan Mekah pada waktu itu, dan ia melihat Bilal mampu menanggung bebak siksaan paling pedih, niscaya orang itu mengetahui kedudukan pahlawan ini yang selalu kita ingat setiap hari lima kali, yakni tatkala muadzdzin mengumandangkan seruan untuk shalat. Kita akan mengingat kalimatnya yang kekal penuh barakah lagi indah di bawah siksaan, “Ahad… Ahad..” (Isyarat bahwa Allah Yang Maha esa). Hal ini yang menjadikan Umar ibnil Khaththab yang kuat lagi jenius menghormati Bilal, menghargai keimanan juga kesabarannya, dia memanggilnya, “Tuan kami.” Demi Allah ini merupakan keutamaan yang nyata dan kemuliaan yang agung.
Berbagai Kejadian Sebagai Gambaran Perbuatan Dosa Umayyah
Si kafir lagi pelaku dosa,
Umayyah bin Khalaf menyiksa Bilal, menimpali siksa dalam berbagai bentuk dan gambaran dari kebejatannya, berupa kekerasan serta kengerian yang menjadikan kulit merinding, mengguncang pasak gunung karena keganasannya. Umayyah menyiksa Bilal
radhiyallahu ‘anhu dengan penyiksaan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di dunia, ia betul-betul mendera Bilal dengan sekuat tenaga, sedangkan Bilal merasakan ketenangan hati dengan cahaya rohani keimanan, dia merasakan adzab seakan kenikmatan yang jarang didapatkan dalam agama dan keimanannya, dia menganggap manis pahitnya empedu di jalan Allah untuk menjaga iman. Berikut ini sebagai fakta dan gambaran dari penyiksaan yang pedih itu.
Umayyah memerintahkan para pembantunya untuk mengeluarkan Bilal di terik matahari, di mana padang pasir Mekah menjadi bara api yang membinasakan, mereka menyungkurkan Bilal di atas kepanasan yang membakar dalam keadaan telanjang, kemudian mereka mendatangkan batu panas ibarat bara api dan meletakkan di atas dadanya, lantas Umayyah berkata pada Bilal, “Demi Allah, kau akan tetap seperti ini hingga meninggalkan agama Muhammad.” Bilal berkata, “Ahad.. Ahad.”
Kalimat Ahad seakan petir yang menyambar Umayyah, kemudian kemarahan menguasainya dan menumpahkan pemukulan kepada Bilal juga cacian. Hal itu tidak menambah seruan Bilal melainkan kembali berkata, “Ahad, Ahad.”
Mereka, para saksi mata melihat sebagian pemandangan yang dialami Bilal radhiyallahu ‘anhu, mereka menukil gambar sidik jari Umayyah yang zhalim dalam kumpulan catatan kehinaannya.
Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan pemandangan yang dilihatnya di Mekah. Dia melihat Umayyah bin Khalaf hampir meledak karena menahan amarahnya keteguhan Bilal. Dia berkata:
“Aku melewati Bilal sedang disiksa di terik matahari, seandainya sepotong daging diletakkan, niscaya akan matang. Bilal berkata, ‘Aku kafir (mengingkari) Laata dan Uzza. Sedangkan Umayyah marah kepadanya dengan menambah siksaaan dan Bilal pun menerimanya. Umayyah pergi dengan alat pencukurnya sedangkan Bilal pingsan kemudian sadar.”
Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan kejadian lain yang menampakkan keteguhan Bilal dan kepahlawanannya, kebodohan Umayyah dan kekerasannya. Dia berkata, “Aku melakukan umrah, lalu aku melihat Bilal diikat dengan tali panjang yang dibentangkan anak-anak, ‘Amr bin Fuhairah bersamanya sementara Bilal radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ahad… Ahad, aku kufur terhadap Laata dan Uzza, Hubal, Isaf, Nailah, serta Buwanah.’ Maka Umayyah menyeretnya ke padang pasir.”
Dari Mujahid rahimahullah dia berkata, “Mereka menjadikan tali di leher Bilal, dan memerintahkan anak-anak mereka agar menjepitnya di antara dua pohon gunungnya, lantas mereka pun melakukannya, hingga tali itu membekas di lehernya sedangkan Bilal berkat, ‘Ahad, Ahad..”
Dalam pembicaraan tentang kalangan orang-orang tertindas dari kaum muslimin, ‘Urwah bin Zubeir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan
“Bilal termasuk orang yang teraniaya dari kalangan kaum mukminin, dia disiksa saat memeluk Islam agar kembali pada keyakinannya. Bilal tidak mengucapkan kalimat yang mereka inginkan. Yang menyiksanya adalah Umayyah bin Khalaf al-Jumahiy.”
Apakah Bilal Memenuhi Kemauan Umayyah?
Demikianlah gambaran penyiksaan Bilal, lantas terlintas dalam benak pertanyaan berikut, “Apakah Bilal memenuhi kemauan Umayyah setealh itu? Dan apakah keyakinannya melemah –meski sedikit- karena menanggung siksaan?”
Berbagai referensi menyebutkan bahwa Bilal radhiyallahu ‘anhu tidak menyetujui Umayyah –meski dengan kekerasannya-, tidak satu huruf pun yang membuat cacat keislamannya. Jiwanya ringan dalam memeluk agama Allah, demikian pula dimudahkan untuk kaumnya. Saat siksaan makin berat, semboyannya tetap berkumandang yaitu, “Ahad, Ahad.”
Datanglah kepada Bilal, sekelompok orang-orang kafir membujuknya dengan kedustaan, menuntunnya untuk menirukan apa yang dikatakan orang-orang di belakangnya secara serempak, maka dia menjawab mereka dengan ejekan yang mengenai tempat mematikan dari mereka, “Sesungguhnya lidahku tidak bisa mengucapkan apa yang kalian katakan dan tidak sanggup membaguskannya.” Maka beterbanganlah mimpi-mimpi mereka yang hina, berantakanlah cita harapan mereka yang buruk di depan kalimat Bilal radhiyallahu ‘anhu, lalu mereka mencari jalan lain dalam memusuhinya.
Diriwayatkan bahwa Bilal radhiyallahu ‘anhu menceritakan tentang kejelekan orang-orang musyrik dan kerasnya hati mereka, “Mereka membuatku dahaga sehari semalam, kemudian mereka mengeluarkanku dan menyiksaku di padang pasir saat terik panas matahari!”
Bilal tetap tidak menghiraukan apa yang diperbuat oleh pemimpin durjana yang melampaui batas lagi berdosa, Si Umayyah bin Khalaf. Umayyah sang musuh Allah ini, tidak menghiraukan rintihan Bilal, karena sakitnya penyiksaan. Dia tidak bosan-bosannya menyiksa Bilal, bahkan motivasi kejelekan yang ada padanya semakn tambah berkobar setiap kali Bilal bersabar menahan penyiksaan itu.
Al-Qasthalani rahimahullah berkata mengomentari sikap mulia ini, “Maka lihatlah apa yang diperbuat terhadap Bilal saat dipaksa untuk kafir sedang ia berkata, ‘Ahad Ahad.’ Lantas berbuarlah pedihnya siksaan dengan lezatnya keimanan, hal ini sebagaimana terjadi juga saat kematiannya. Istrinya berkata, ‘Oh, alangkah sedihnya!’ Dan Bilal berkata, ‘Oh, alangkah senangnya.’ Dia mencampur antara pedihnya detik-detik kematian (sakaratul maut) dengan manisnya pertemuan.”
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan Abu Muhammad asy-Syuqrathisi saat menggambarkan peristiwa ini dalam bentuk syair:
“Bilal menerima siksaan dari Umayyah, dia bersabar dengan keadaan paling mulia. Saat mereka menyiksanya dengan tekanan, sedang ia dalam keadaan terhimpit, tetap teguh. Mereka melemparkannya di padang pasir sedangkan mereka menindihnya dengan batu yang amat berat tersusun tinggi. Dan dia mentauhidkan Allah dengan keikhlasan yang tampak dari pengagungannya seperti bekas hujan gerimis di atas tanah. Jika telah tersayat punggung Wali Allah dari belaakng maka telah terbelah hati musuh Allah dari depan.”
Abu Bakar, Bilal, dan Umayyah
Suatu ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melewati Bilal radhiyallahu ‘anhu yang sedang disiksa dengan penyiksaan yang pedih. Dahulunya, rumah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di Bani Jumah, maka beliau berkata kepada Umayyah bin Khalaf, “Wahai Abu Ali –kunyah (panggilan) Umayyah- tidakkah kau takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara lelaki miskin ini, sampai kapan.. sampai kapan?!”
Berkatalah kepala orang kafir dan orang terlaknat penyembah patung berhala, Umayyah kepada Abu Bakar, “Engkaulah yang merusaknya, maka selamatkanlah dia sebisamu, hingga dia terbebas dari keadaannya sekarang.”
Abu Bakar mengambil peluang terbuka yang datang lantas berkata, “Akan kulakukan, aku memiliki anak kecil hitam, lebih tangguh dan lebih kuat darinya, dia beragama sepertimu kita saling tukar menukar.”
Umayyah berkata, “Kuterima wahai Abu Bakar.”
Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dia untukmu.” Seraya memberikan anak kecil yang hitam itu dan beliau mengambil Bilal, lantas seketika itu juga beliau membebaskannya, kemudian Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, menjadi muadzdzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebuah kebaikan di antara banyak kebaikan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, adapun yang terlaknat Umayyah bin Khalaf, telah menjadi salah seorang dari mereka yang berhak menerima siksaan dari Yang Maha Perkasa Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hal Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Bilal radhiyallahu ‘anhu. Az-Zauzani rahimahullah berkata dalam bait-bait yang dimuat oleh Yaqut dalam Mu’jam al-Udaba:
“Abu Bakar menghibahkan untuk Allah hartanya. Sejak dahulu lisannya amat fasih berkata-kata. Telah menolong Nabi dengan segala kebaikan dan memberikan simpanannya untuk si Bilal. Sekiranya lautan berkeyakinan dapat menyaingi kebaikannya. Niscaya Allah tidak akan mengaruniayi bilal.”
Dalam Permusuhan
Umayyah bin Khalaf merasa bahwa dirinya gagal dalam usahanya yang keras lagi penuh dosa, untuk menganiaya pemimpin para pahlawan Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, dia melihat jalan di depannya terbuka untuknya dalam melakukan penyiksaan. Adapun apa tindak kriminal terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhu, Umayyah melihat dirinya cenderung bergabung dengan orang-orang yang jahat Quraisy untuk meniti jalan bersama mereka, yang memalingkan manusia dari mengingat Allah dan kebenaran, menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwahnya, mengolok-oloknya dan menjatuhkan martabatnya.
Umayyah mulai merekayasa cara baru dalam keikutsertaannya bersama kelompok orang-orang yang berbuat dosa. Dalam suatu forum yang dikumpulkan oleh Al-Walid bin Mughirah dan Abu Jahal bin Hisyam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu di hadapan mereka, maka mereka mengumpat dan mengejeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa sesak dengan perbuatan mereka.
Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat sebagai penghibur bagi Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggertak mereka serta memberi peringatan terhadap kejelekan yang mereka lakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka.” (QS. Al-An’am: 10)
Umayyah dan kaum musyrikin yang lain mulai berfirkir mengenai cara untuk menjebak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengakui apa yang mereka yakini, apakah mereka berhasil mewujudkan hal itu?
Tipu Daya yang Jahat Dalam Bentuk Tawaran
Umayyah dan kaum musyrikin memetakan taktik renanca di benak mereka, yang diperkirakan akan meraih kemenangan dalam dialog mereka bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka berdiri dan pergi menuju Ka’bah. Mereka mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang thawaf. Kemudian Umayyah dan beberapa orang yang bersamanhya menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata padanya, “Wahai Muhammad kemarilah kami akan menyembah apa yang kau sembah dan kau menyembah apa yang kami sembah, dengan demikian kita bekerja sama dalam perkara ini. Jika yang engkau sembah lebih baik dari yang kami sembah berarti kami telah mengambil sebagian faedah darinya. Dan jika yang kami sembah lebih baik dari yang kau sembah berarti engkau telah mengambil sebagian kebalikan darinya.”
Penawaran ini –sebagaimana anda lihat- jelek lagi penuh dengan tipu daya, menunjukkan tipu daya yang luas cakupannya, sekaligus menunjukkan kecerdasan dan ketajaman fikiran yang selama ini mereka nikmati. Akan tetapi keyakinan yang diwarisi dan angan-angan yang semua telah menutupi akal mereka untuk pasrah terhadap kebenaran dan tunduk kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan jalan tipuan yang berliku-liku ini, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari apa yang mereka katakan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan:
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” (QS. Al-Kafirun: 1-2)
Da n menandai mereka dengan berbagai ciri di antaranya kufur, tidak mengetahui kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pula:
“Katakanlah: ‘Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar: 64-66)
Muhammad bin Sa’ad rahimahullah berkata dalam Ath-Thabaqat, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat menampakkan Islam dan perkaranya tersebar di Mekah, orang-orang Quraisy marah karena itu. Tampak dari mereka kedengkian dari kejahatan, kaum lelaki dari mereka menampakkan permusuhan sedang yang lainnya menyembunyikan. Orang-orang yang memusuhi dan menentang mereka, yang mengundang permusuhan dan perdebatan adalah: Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf dan lainnya.”
Para pembesar itu menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara fisik langsung, pada suatu hari si Bejat Uqbah bin Mu’ith –semoga dilaknat Allah- melempar kotoran di atas punggung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau sujud di Masjidil Haram. Maka Nabi mendoakan buruk kepada mereka seraya berkata, “Ya Allah datangkanlah siksa untuk kafir Quraisy.” Dan beliau menyebut, di antara mereka Umayyah bin Khalaf. Mereka semua menemui kebinasaan saat perang Badr.
Menyakiti Keluarga Dekatnya
Umayyah tidak hanya mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan gangguannya juga menimpa kerabatnya dari Bani Jum’ah yang mengumumkan keislamannya pada periode awal. Dia mengganggu anak pamannya Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu karena keislamannya, sehingga hal itu menyebabkan Utsman hijrah ke Habasyah dan mendapat kehidupan yang tenang di sisi tetangga yang baik. Di Habasyah Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu merasa terasing pada awalnya, maka dia berkata mencela Umayyah dan mengingatkan kejelekan yang dilakukannya dalam bait syair:
“Akankah engkau mengeluarkanku dari Mekah karena keislamanku. Dan menempatkanku dalam istana putih (Habasyah) yang kau benci. Engkau memerangi kaum yang mulia lagi perkasa dan mencelakakan kaum yang pernah dipinta bantuan olehmu. Engkau akan mengetahui suatu hari jika mendapat musibah dan rakyat jelata menyelamatkanmu tanpa mempeduikan apa yang pernah kau perbuat.”
Apakah kalimat-kalimat pengaduan mengetuk telinga Umayyah atau menyentuh hatinya?
Dia telah berpaling dari kekerabatan dan teman dekat, juga setiap jalan yang ditempuhnya untuk mengangkat Laata dan Uzza serta Manat. Maka dia tercatat seabgai golongan orang yang sengsara –semoga kita dijauhkan oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala darinya- dia pun termasuk orang yang disebut dalam firman Allah:
“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M