Tewasnya Gembong Musyrikin Quraisy: Umayyah bin Khalaf
Matinya Umayyah bin Khalaf
Di antara tanda kenabian junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah apa yang disebutkan para sahabatnya yang mulia, ketika di Madinah, Beliau memperlihatkan kepada mereka orang-orang yang akan tewas di Badar dengan menyatakan, “Ini tempat kematian fulan besok, Insya Allah dan ini tempat kematian fulan.”
Di antara anugerah penghormatan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Rasul-Nya bahwa tempat-tempat kematian kaum musyrikin tidak meleset dari yang beliau tunjukkan.
Demikianlah, salah seorang sahaat yang mulia Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari radhiallahu ‘anhu telah memahami apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kematian penyanjung syirik dari Quraisy di Badr. Sa’ad bin Mu’adz radhiallahu ‘anhu teman Umayyah bin Khalaf di Mekah, kematian Umayyah masih terekam dalam ingatan Sa’ad. Dia mengabarkan hal itu kepadanya, lantas Umayyah merasa gentar dan takut.
Adapun kisah terbunuhnya Umayyah bin Khalaf, telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam shahihnya dengna sanad dari Amr bin Maimun, dia mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Sa’ad bin Muadz radhiallahu ‘anhu mengabarkan kepadanya, kemudian Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
“Sa’ad bin Mu’adz radhiallahu ‘anhu adalah teman Umayyah bin Khalaf, apabila Umayah lewat Madinah dia mampir ke Sa’ad. Dan kebalikannya, apabila Sa’ad melewati Mekah dia mampir ke Umayyah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Sa’ad pergi menunaikan umrah lantas dia mampir ke Umayyah di Mekah seraya berkata, ‘Caarilah untukku saat yang sepi barangkali aku bisa melakukan thawaf di Ka’bah.’
Maka tak lama kemudian keduanya keluar pertengahan siang, keduanya bertemu dengan Abu Jahal. Dia berkata, ‘Siapa yang bersamamu wahai Abu Sufyan?’
Umayyah menjawab, ‘Dia adalah Sa’ad.’
Abu Jahal berkata kepadanya, ‘Sungguh aku melihatmu thawaf di Mekah denan aman, sedang kalian yang menampng para pemeluk agama baru, kalian mengira bahw akalian telah meolong dan mengayomi mereka. Ketahuilah bahwa kalau sekiranya engkau tidak bersama Abu Sufyan engkau tidak akan pulang selamat kembali ke rumah.’
Sa’ad menjawab kepadanya seraya mengangkat suaranya dengan keras, ‘Demi Allah, sekiranya engkau mencegahku, niscaya kau akan kucegah dari yang lebih penting bagimu, yaitu berjalan ke Madinah.’
Lantas Umayyah berkata kepadanya, ‘Jangan kau angkat suaramu wahai Sa’addi atas suara Abul Hakam pemimpin penduduk lembah ini.’
Sa’ad berkata, ‘Biarkanlah kami wahai Umayah, demi Allah aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, merekalah yang akan membunuhmu.’
Umayyah berkata, ‘Di Mekah?’
Sa’ad menjawab, ‘Aku tidak tahu.’
Umayyah merasa gundah dengan berita itu, sepulangnya ke rumah, dia berkata ke istrinya, ‘Wahai Ummu Shafwan, tahukah apa yang dikatakan Sa’ad tentang diriku?’
Ummu Shafwan bertanya, ‘Apa yang dikatakannya?’
Kata Sa’ad, ‘Dia berkata, Muhammad mengabarkan, bahwa mereka akan membunuhku. Lalu aku bertanya kepadanya: Di makkah? Aku tidak tahu, jawabnya.’
Umayyah berkata, ‘Demi Allah aku tidak akan keluar dari Mekah.”
Kalimat (mereka akan membunuhmu) tetap terngiang menghantui diri Umayyah, berita yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, karena dia mengakui dalam hatinya, benarnya kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umayyah bin Khalaf sendiri bersaksi akan hal ini dalam pernyataannya kepada Mu’adz, “Demi Allah Muhammad tidak berbohong apabila dia berbicara.”
Akan tetapi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan taqdir segala sesuatu terjadi. Tatkala peperangan Badar Umayyah menjumpai apa yang diucapkan Sa’ad, dia mengalami apa yang telah dialami oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu wa Ta’ala membenarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tali Permusuhan yang Tidak Terputus
Umayyah bin Khalaf –baginya laknat Allah- terus memantau langkah dalam rangka memusuhi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Dia bersama Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah untuk mengantisipasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia termasuk orang yang menunggi di hari keluarnya Rasul untuk hijrah ke Madinah.
Setelah hijrah, permusuhan berlanjut tidak terputus. Dia menyakiti kaum muslimin dengan lisan, dengan pengumpatan kehormatan mereka, dan menyebut kekurangan mereka. Tersebut dalam kitab Al-Lisan dan Ash-Shihah, Umayyah bin Khalaf berkata mencecmooh Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu:
Bukankah dahulu ayahmu di sisi kami adalah seorang tukang hias bagi kalangan biduanita, sebagai tanda kebejatan tidak bisa menjaga diri. Aku bersumpah dia masih tetap mengasah besi. Meniup dengna sungguh-sungguh bara api yang tidak berasap lagi.
Maka Hassan radhiyallahu ‘anhu menjawabnya dengan bait yang panjang, kita ambil sebagian di antaranya:
Perkataan yang dusta datang kepadaku dari Umayyah. Dia bukanlah orang yang menjaga diri saat menyendiri. Membangun kebejatan karena keterbatasan tangannya untuk bisa meraih keagungan yang tinggi dalam pembicaraannya. Akan aku sebarkan jika tersisa bagiku perkataan hingga dibahas dalam perkumpulan Ukkadz. Perkataan itu memburumu jika engkau menemui musim dingin di bumi manapun. Dan mematahkan apa yang ada di tempatmu saat ia diadakan di musim panas.
Umayyah tetap berjalan di jalan yang bengkok dan sesat, hingga tiba saatnya perang Badr, kaum musyrikin berkemas merekrut orang-orang dan persenjataan, bahan makanan, perbekalan dan jumlah pasukan. Akan tetapi Umayyah, keadaannya berbeda dari kaum musyrikin lainnya pada waktu itu. Prediksinya dalam menghadapi kaum muslimin berbeda dengan pengamatan kaum musyrikin. Dia telah memahami medan pertempuran sebelum dia sendiri keluar, terlebih setelah mendengar berita dari Sa’ad bin Mu’adz. Hanya saja, apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala itulah yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang mereka sekutukan.
Umayyah Enggan Keluar Menuju Badr
Kaum musyrikin berkumpul di Badr, adapun pemimpin orang-orang jahat Umayyah merasa takut dan enggan keluar. Hampir saja dia tidak ikut, dia seorang yang sudah tua lagi dimuliakan serta gemuk. Dia teringat kisah Sa’ad bin Mu’ad yang selalu menghantuinya, hingga dia tidak bisa melupakan kejadian itu sama sekali. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila menjalankan sesuatu dari hukumnya, Dia telah mempersiapkan sebab-sebab yang akan mengantarkan pada hukum tersebut.
Al-Bukhari rahimahullah meriwayatatkan dalam Shahihnya, beliau berkata, “Maka tatkala hari peperangan Badr, Abu Jahal menggiring orang-orang, dia berkata, ‘Susullah kafilah kalian.’ Maka Umayyah enggan untuk keluar, hingga Abu Jahal mendatanginya seraya berkata, ‘Wahai Abu Sufyan, sejak kapan engkau mundur, padahal orang-orang tidak pernah mendapatimu demikian? Engkau adalah pemimpin lembah ini, mereka akan menirumu.’ Abu Jahal terus merayunya seraya berkata, ‘Jika engkau bisa mengungguliku, demi Allah aku akan membelikan onta terbaik di Mekah.’ Kemudian Umayyah berkata, ‘Wahai Ummu Sufyan persiapkanlah bekal untukku.’
Istrinya menjawab, ‘Wahai Abu Sufyan, apakah engkau lupa, apa yang dikatakan oleh saudaramu Al-Yatsribi (Sa’ad bin Muadz)?’
Dia menjawab, ‘Tidak, aku akan selalu dekat bersama mereka.’
Tatkala Umayyah keluar, dia tidak meninggalkan rumah melainkan mengikat kudanya. Demikianlah hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menewaskannya tatkala perang Badar.
Tiga Orang yang Celaka
Beberapa referensi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, bahwa ketika Abu Jahal mengetahui Umayyah mengundurkan diri, dia berusaha membujuk ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. ‘Uqbah seorang yang bodoh. Maka datanglah ‘Uqbah bersama Abu Jahal –semoga Allah melaknat keduanya- Uqbah membawa tungku api, di dalamnya terdapat dupa, sedangkan Abu Jahal membawa botol celak dan pensil alis. Uqbah meletakkan tungku api di antara kedua tangannya seraya berkata padanya, “Wahai Abu Ali, berukuplah sesungguhnya engkau ini seperti wanita.”
Abu Jahal berakata, “Wahai Abu Ali, pakailah celak sesungguhnya engkau seorang wantia.”
Uamyyah berkata, “Semoga Allah menjelekkan kalian berdua.”
Kedua orang yang busuk ini, bertujuan untuk memanasi kefanatikan Umayyah dengan cara itu. Dan benar, Umayyah membeli onta paling bagus di Mekah, dia pun bersiap-siap bersama kaum musyrikin.
Di jalan menuju ke Badr, Umayyah menyembelih 9 onta dan memberi makan orang-orang musyrikin yang pergi berperang dengan sombong dan penuh kekafiran. Keluar bersama-sama orang Quraisy, serombongan para perias dan penyanyi wanita dengan tabuhannya, di antara mereka budak wanita Umayyah bin Khalaf. Mereka bernyanyi di setiap sumber air dan di setiap rumah yang mereka singgahi untuk beristirahat dan makan. Sementara itu Umayyah bersama kaum tersebut melangkah dalam keraguan. Dia berniat untuk kabur sesaat lagi, dengan menyusup di antara mereka. Hanya saja, dia tidak mendapat kesempatan mewujudkan apa yang dia inginkan.
Mimpi yang Aneh Membuat Takut Umayyah
Perjalanan kaum Quraisy berlanjut dalam keadaan kacau, hingga sampai ke tempat yang bernama al-Juhfah. Saat itu waktu sudah malam, mereka turun untuk menambah perbekalan air, di antara mereka ada seorang lelaki berasal dari Bani al-Muththalib, yang bernama Juhaim bin ash-Shalt bin Mukhramah, dia meletakkan kepalanya, lantas tertidur. Kemudian ia tersentak bangun ketakutan. Kemudian berkata kepada teman-temannya, “Apakah kalian melihat penunggang kuda yang berdiri di atasku barusan?!”
Mereka menjawab, “Tidak, sesungguhnya engkau telah gila, bahkan engkau pasti sudah gila!”
Dia berkata, “Seorang penunggang kuda berdiri di hadapanku baru saja. Dia berkata, ‘Abu Jahal terbunuh, Utbah, Syaibah, Zam’ah, Abul Bakhtari dan Umayyah bin Khalaf.’ Lalu dia menghitung sekelompok dari kuffar Quraisy dan orang-orang terkemuka dari mereka.”
Teman-temannya berkata dengan anda mengejek, “Sesungguhnya setan telah bermain-main denganmu, wahai Juhaim.”
Perkataan Juhaim disampaikan ke Abu Jahal, Abu Jahal pun berkata, “Kalian telah datang kepada kami membawa berita bohong dari Bani Al-Muththalib bersama kebohongan Bani Hasyim, kalian akan melihat besok siapa yang terbunuh.”
Tidak diragukan lagi, bahwa Umayyah bin Khalaf mendengar apa yang didengar oleh Abu Jahal dan orang-orang kuffar Quraisy, didirnya merasa ketakutan lebih dahsyat dari sebelumnya. Akan tetapi ajalnya telah menggiringnya pada kematian meski dia enggan. Menjadi nyatalah kenabian junjungan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan berita kematian Umayyah –semoga Allah melaknatnya-
Umayyah Gembong Orang Kafir
Di medan Badr, kaum muslimin bertemu dengan orang-orang musyrik, dalam pertempuran yang berakhir dengan kehinaan bagi kaum musyrikin, hingga menamatkan perlawanan mereka, mematahkan tombak mereka, kaum muslimin menghabisi para pembesar dan orang-orang mulia di kalangan mereka, menawan para thaghut mereka, serta orang-orang yang durjana, juga mengusir rakyat jelata dan orang-orang biasa dari mereka.
Selesailah pertempuran itu dengan kemenangan gemilang yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pertolongan untuk golongan beriman yang didambakan oleh masyarakat muslim, bersatu dengan kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia menjadi kemenangan yang pertama kali, dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Islam.
Indah, apa yang dikatakan Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu kala memberikan gambaran mengenai peperangan tersebut dalam syairnya:
Kami dan mereka berjalan menuju Badr saat itu sekiranya mereka mengetahui dengan yakin, niscaa akan mengurungkan niat itu. Pujian telah menggiring mereka, kemudian membuat mereka menyerah. Sesungguhnya julukan orang jahat, hanya bagi pecinta pujian dalam bentuk tipuan.
Alangkah beda, Umayyah bin Khalaf dari golongan orang yang dengki itu, sementara Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu dalam pertempuran yang barokah!
Umayyah, telah menjadi tawanan yang hina bersama anaknya Ali, di tangan pejuang yang mulia lagi dermawan dari para pejuang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu.
Bilal radhiyallahu ‘anhu melihat pimpinan orang yang berdosa lagi kafir, Umayyah diseret Abdurrahman bin Auf. Pada detik-detik yang singkat ini, terbayanglah dalam ingatan Bilal kejiadn dulu saat di Mekah, seolah-olah dia melihat gambaran penyiksaan yang dilakukan orang kafir ini, demikian halnya saudara-saudaranya dari kalangan orang tertindas, yaitu mereka yang pertama-tama masuk Islam. Saat Bilal tidak kuasa mengendalikan dirinya, kala posisi beliau dekat kalangan Anshar, beliau berteriak sekuat-kuatnya:
“Wahai para penolong Allah, pimpinan orang kafir Umayyah bin Khalaf, kalian tidak selamat jika dia selamat.”
Para prajurit sukarelawan dari pimpinan Anshar memenuhi seruan orang yang memanggil, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Lima kali dalam sehari mereka berkata, “Janganlah kau bersedih, wahai Bilal.” Kemudian mereka menyergap Umayyah dan anaknya Ali dengan pedang-pedang mereka, dan yang terdepan adalah Khabib bin Isaf al-Anshari, dia menebas dengan pedangnya.
‘Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mencoba melindungi Umayyah dan anak-anaknya dari serangan kaum Anshar tersebut, akan tetapi Ansharullah telah lebih dahulu mengambil tindakan, maka mereka memukul Umayyah dan anaknya dengan pedang, untuk menyucikan bumi dari najis dan kekufuran, serta keganasannya.
Kronologi Terbunuhnya Umayyah
Banyak riwayat yang bervariatif dalam mengungkap terbunuhnya Umayyah –semoga Allah melaknatnya-, riwayat yang terpercaya dan terkuat adalah apa terdapat dalam Shahih al-Bukhari yang meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
“Aku terikat perjanjian dengan Umayyah bin Khalaf –maksudnya aku mengadakan perjanjian kesepakatan denagnnya- agar dia menjagaku, juga anggota keluargaku di Mekah –maksudnya keluarga terdekat juga harta- dan aku menjaganya saat di Madinah. Maka tatkala kusebut (Ar-Rahman) –yakni namanya yang muslim Abdurrahman- dia berkata, ‘Aku tidak tahu Ar-Rahman, tulislah dengan namamu saat masa Jahiliyah.’ Maka aku menulisnya (Abda Amr).
Di hari peperangan Badr, aku keluar ke gunung untuk memberikan haknya tatkala orang-orang tidur, lantas Bilal melihatnya. Dia keluar hingga berdiri di majlis kaum Al-Anshar. Dia berkata, ‘Umayyah bin Khalaf, aku tidak selamat jika Umayyah lolos.’
Maka sekelompok al-Anshar keluarlah bersamanya mengikuti jejak kami. Tatkala aku takut mereka menyusul, kutinggalkan anaknya, agar menyibukkan mereka lantas mereka pun membunuhnya. Kemudian mereka terus mengikuti kami. Aku berkata kepadanya, ‘Duduklah!’ Maka dia pun duduk aku berusaha menghalangi, maka mereka menyelinapkan pedang dari bawahku hingga mereka membunuhnya, bahkan kakiku tertimpa pedang salah seorang dari mereka.”
Riwayat Lain yang Mengisahkan Tewasnya Umayyah
Dalam sejarah yang harum, Ibnu Ishaq rahimullah menyebutkan riwayat terbunuh Umayyah yang senada dengan banyaknya riwayat Al-Bukhari. Hanya saja riwayat Ibnu Ishaq memberikan gambaran yang jelas kepada kita mengenai sikap si Thaghut yang pankut, nampak padanya sikap pengecut dan gelisah yang terungkap dari fakta dan karakternya, penganiayaan dengan berbagai macam bentuknya terhadap Bilal radhiyallahu ‘anhu di Mekah.
Ibnu Ishaq menyebutkan lewat dua jalur, dari Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
“Umayyah bin Khalafa adalah temanku sewaktu di Mekah, dulu aku bernama Abdu Amr. Sewaktu masuk Islam aku bernama (Abdurrahman). Dia menemuiku saat kami di Mekah katanya, ‘Wahai Abdu Amr apakah kau membenci nama yang telah diberikan ayahmu?’
Aku menjawab, ‘Ya.’
Umayyah berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak mengetahui Ar-Rahman maka buatlah sebutan yang bisa kupanggil dengannya.’
Maka kukatakan, ‘Wahai Abu Ali, buatlah apa yang kau suka.’
Dia berkata, ‘Engkau Abdul Ilah.’
Aku menjawab, ‘Ya.’
Apabila aku melewatinya dia berkata, ‘Wahai Abdul Ilah.’ Kudatangi dan aku berbincang-bincang dengannya. Tatkala perang Badr, aku melewatinya sedang dia dalam keadaan berdiri bersama anaknya Ali, sedangkan aku mengenakan pakaian besi hasil rampasan. Dia berkata, ‘Wahai Abdul Ilah apakah aku mendapat bagian dari perlindunganmu? Aku lebih baik bagimu daripada baju besi yang kau kenakan ini.’
Aku menjawab, ‘Tentu, Ya Allah,’ lantas kulepaskan baju besi itu dari tanganku. Aku mengambil tangannya dan tangan anaknya.
Sedang ia berkata, ‘Tidak pernah aku melihat seperti hari ini. Tidakkah kalian membutuhkan susu –maksudnya makanan-, kemudian aku keluarkan berjalan kaki bersama keduanya.”
Abdurrahman berkata, “Demi Allah, saat aku menggandeng keduanya, tiba-tiba Bilal melihatku bersamanya, dia berkata, ‘Pemimpin orang kafir, Umayyah bin Khalaf aku tidak akan selamat jika dia selamat.’
Kemudian dia berteriak sekencang-kencengnya, ‘Wahai Anshar, kepala orang kafir Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat jika dia selamat, maka kepunglah ia sebagaimana gelang melingkari pangkal tangan.’ Kemudian aku membelanya, sementara salah seorang dari mereka menghunus pedang lantas ia menyabet kaki anaknya hingga terjatuh.
Umayyah berteriak, tidak pernah kudengar teriakan seperti itu, maka kukatakan, ‘Selamatkanlah dirimu sendiri dan tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, demi Allah aku tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun untukmu, kemudian mereka menghabisi keduanya dengan pedang mereka hingga tamat riwayat keduanya.”
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semoga Allah merahmati Bilal, telah lenyap baju besiku dan dia mengejutkanku dengan (tewasnya) tawananku.”
Sebagian referensi mengisyaratkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengucapkan selamat kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu atas terbunuhnya pimpinan orang kafir dan penyenggah kesesatan Umayyah bin Khalaf, dengan bait-bait syair di antaranya:
Selamat, semoga Allah menambah keutamaan bagimu. Wahai Bilal, engkau telah mampu membalas dendammu. Maka, mundur dan rasa takut tidak akan kau dapati rerumputan yang panjang, menguburmu di pagi hari.
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M