Kisah Orang Durhaka dalam Islam – Utbah bin Rabi’ah
Utbah bin Rabi’ah
– Duta orang-orang kafir yang berbuat jahat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar membujuk Beliau meninggalkan dakwah yang benar.
– Musuh bebuyutan Islam, terbunuh dalam perang Badr.
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya dengan bersabda, “Ya Allah laknatilah ‘Utbah bin Rabi’ah.”
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya berdialog setelah dia dan para pembesar Quraisy dilempar ke sumur sesudah terbunuh, “Wahai Utbah bin Rabi’ah bukankah kalian telah mendapati apa yang dijanjikan oleh Rabb kalian benar adanya?”
Dia di antara orang-orang Jahiliyah yang pura-pura berakal, tempat bertumpunya syirik, penopang para penyembah patung, salah seorang pengibar bendera permusuhan terhadap dakwah Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi kebodohannya, tidak sampai ke derajat rendah, perbuatan dosa dan kedengkian Abu Jahal bin Hisyam. Dia tidak sampai ke derajat terpuruk, seperti si jahat Uqbah bin Abi Mu’ith dengan kepribadian yang sangat rendah, juga sifat dan perbuatan yang sangat tercela. Bahkan dia di tengah kaumnya –Quraisy- sebagai orang yang mulia, cerdik dalam menentang dakwah yang haq, petunjuk, dan cahaya.
Dia menampakkan perdamaian dan persetujuan, suatu hal yang menjadikannya sebagai duta Quraisy yang vokal dalam forum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk memalingkannya dari dakwah, mengajak orang lain ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan memberi motivasi membanggakan Quraisy di masa Jahiliyah, yang berkisar antara bisikan setan dan desah nafas orang-orang yang sesat.
Siapakah orang yang terfitnah dengan bualannya sendiri, yang merasa mulia dengan kesombongannya, dan lagak menampakkan intelektualitasnya?
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyifatinya sebagai Syaikhul Jahiliyyah.
Al-Hafidz Ibnu Asakir dan yang lainnya menyebut nasab dia, sebagai berikut: Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab al-Qurasyi al-Absyami.
Utbah memiliki anak bernama Abu Hudzaifah bin Utbah yang merupakan salah seorang pasukan penunggang kuda Rasul yang suci, bergerak maju memeluk Islam di awal kemunculannya. Dia tidak takut kepada ayahnya, Syaikhul Jahiliyyah, orang yang mulia dan memiliki kedudukan di kalangan Quraisy. Memeluk Islam bukan karena dorongan dunia, yang mendorongnya hanyalah keimanan, kuatnya kemauan, sucinya aqidah, dan bersihnya hati.
Dia masuk Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masuk ke Darul Arqam menyembunyikan seruannya, mengkhawatirkan orang yang bersamanya, para pengikut petunjuk, untuk berjaga-jaga dari gangguan para penyembah syirik yang dipimpin Utbah bin Rabi’ah, ayah Abu Hudzaifah dan kelompok kecil keluarganya dari Bani Abdi Syams, termasuk orang yang tertutup fikirannya dengan kegelapan syirik dan kezhaliman, mereka berbuat congkak dan sombong, menentang kebenaran dan mencegah semua jalan untuknya, hingga mereka membendung lantas Allah menghinakan mereka. Menjadikan kalimat mereka rendah dan kalimat-Nya yang tinggi.
Adapun anak perempuannya adlaah Hindun binti Utbah, salah seorang Shahabiyyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan salah seorang wanita yang terkenal dalam dunia sejarah dan sejarah dunia.
Bekas Peninggalan Jahiliyah
Utbah bin Rabi’ah dikenal di kalangan Quraisy dengan kemuliaan turun-menurun, yang menjadikannya memperoleh kedudukan sosial yang tinggi di antara orang Quraisy. Di antaranya dia mengesampingkan hal-hal kecil, dan kesabarannya di masa muda yang umumnya terburu nafsu.
Diriwayatkan, dia melewati sekelompok pemuda dari Bani Mughirah. Mereka berkata, “Apa yang menjadikannya sebagai tuan? Padahal dia tidak memiliki harta, tidak pula ini atau itu?” Mereka mencelanya, sedangkan dia mendengarnya. Kemudian dia bergegas pergi, tidak menyahuti komentar itu, bahkan dia mengumpulkan baju dan pakaian, lantas dia memberikannya kepada mereka, dengan begitu bertambahlah kedudukan di hadapan kaum Quraisy.
Dinukil perkataan, tentang kepimpinan Utbah yang menunjukkan kedudukan dan kepemimpinannya:
Abu az-Zinad berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang memimpin di masa Jahiliyah tanpa memakai harta selain Utbah bin Rabi’ah.”
Abdurrahman bin Abdillah az-Zuhri berkata, “Tidak ada orang miskin dari Quraisy yang memimpin, selain Utbah bin Rabi’ah dan Abu Thalib bin Abdil Muththalib. Keduanya adalah pemimpin yang tidak memiliki harta.”
Karena itu kaum Quraisy mengajaknya ikut serta dalam perkara-perkara besar, misalnaya dalam pembangunan Ka’bah yang mulia. Putusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara kaum Quraisy untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya yang semula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar didatangkan kain, lalu Hajr Aswad diletakkan di tengahnya, kemudian Beliau bersabda, “Setiap kabilah hendaknya mengambil bagian dari ujung baju, kemudian angkatlah bersama-sama.” Maka mereka melakukannya, dikelompok Abdu Manaf terdapat Utbah bin Rabi’ah. Akhirnya kekompakkan menggantikan perpecahan.
Utbah mendapat bagian kehormatan mengangkat Hajar Aswad, hal itu terjadi beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasul.
Di antara kemuliaan turun menurun pada masa jahiliyah yang tercatat dalam sejarah Utbah, adalah mendamaikan manusia yang bertikai tatkala terjadi Harbul Fijar, Utbah menunggangi untanya seraya berteriak, “Wahi suku Mudhar, atas dasar apa kalian saling membunuh? Wahai suku Quraisy marilah kita sambung tali persaudaraan dan perdamaian.”
Mereka menjawab, “Bagaimana kami menghentikan?”
Dia berkata, “Hitunglah yang terbunuh dari kalian, kami akan menghadiahkan kepada kalian para tawanan kami dan kami akan memaafkan kalian atas orang-orang yang terbunuh.”
Mereka berkata, “Siapakah yang menjadi jaminan untuk kami?!”
Dia menjawab, “Saya.”
Lantas mereka rela dan terjadilah perdamaian.
Tatkala orang-orang Hawazin melihat para tawanan Quraisy sudah di tangan mereka, mereka mau memaafkan. Kemudian mereka membebaskan dan menghapus dendanya. Dengan Demikian usailah perang (Harbul Fijar). Karena inilah dikatakan, “Utbah menjadi pemimpin tanpa harta, bahkan keadaannya faqir.”
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M