Amal Perbuatan Utbah bin Rabi’ah Yang Mengantarkannya ke Neraka
Prediksi Kenabian
Umayyah bin Abi Shalt adalah seorang penyihir Jahiliyah yang terkenal. Dia banyak menelaah buku lagi membaca, bahwa seorang Nabi dari kalangan Arab akan diutus, diberitakan pula telah tiba masanya seorang Nabi akan keluar. Referensi menyebutkan kabar yang mengisyaratkan, Umayyah menduga bahwa Utbah bin Rabi’ah yang akan menjadi nabi.
Ibnu Asakir dan yang lainnya dari para sejarawan meriwayatkan kisah panjang seputar berita ini. Dia menyebutkan dari Abu Sufyan bin Harb, bahwasanya dia berkata:
Aku keluar bersama Umayyah bin Abi Shalt untuk berdagang ke Syam.
Dalam kisah disebutkan bahwa Umayyah mengetahui akan diutusnya seorang nabi dari kalangan Arab Hijaz. Dia menduga bahwa dialah Nabi itu. Hanya saja sewaktu di perjalanan menuju Syam dia bertemu dengan seorang pendeta Nashrani. Darinya dia mengetehaui, bahwa nabi itu akan diutus dari kalangan Quraisy yang umurnya 40 tahun. Karena itu Umayyah mengabarkan kepada Utbah bahwa dialah Nabi.”
Abu Sufyan berkata: Umayyah bertanya kepadaku tentang Utbah bin Rabi’ah. Katanya, “Wahai Abu Sufyan, kabarkanlah kepadaku tentang Utbah bin Rabi’ah, apakah dia menghindari kezhaliman dan hal-hal yang haram?”
Aku menjawab, “Ya, demi Allah.”
Umayyah berkata, “Dia menyambung tali persaudaraan dan berseru untuk menyambungnya?”
Aku menjawab, “Ya demi Allah.”
Umayyah berkata, “Dia memuliakan kedua belah pihak, penengah dalam keluarga/suku?”
Aku menjawab, “Ya.”
Umayyah berkata, “Apakah engkau mengetahui orang Quraisy yang lebih mulia darinya?”
Aku menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak mengetahuinya.”
Dia berkata, “Apakah dia memiliki kebutuhan?”
Aku menjawab, “Tidak, bahkan dia seorang yang kaya raya.”
Dia berkata, “Berapa umurnya?”
Aku menjawab, “Lebih dari seratus tahun.”
Dia berkata, “Sesungguhnya usia kemuliaan dan harta menghinakannya.”
Maka kukatakan padanya, “Tidaklah usia bertambah melainkan kemuliaan pun bertambah.”
Dia berkata, “Aku mendapati dalam kitab-kitabku, bahwa Nabi itu diutus di wilayah kita ini. Aku mengira dirikulah orangnya. Tatkala aku belajar kepada ahli ilmu, ternyata dia dari Bani Abdi Manaf. Lantas kulihat dia dari Bani Abdi Manaf, lalu kuperhatikan dan tidak kudapati orang yang layak untuk ini selain Utbah bin Rabi’ah. Maka tatkala engkau mengabariku tentang usianya aku mengetahui bahwa dia orangnya, karena dia telah melewati 40 tahun sementara wahyu belum turun kepadanya.”
Umayyah meyakinkan bahwa sifat-sifat Utbah telah gugur dan jauh dari kenabian.
Abu Sufyan berkata: Tatkala aku pulang ke Mekah, aku mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus. Kemudian aku menemui Umayyah di Tha’if lantas kukatakan padanya seakan aku menghinakannya, “Wahai Abu Utsman –kunyah (panggilan) Umayah- Nabi yang engkau gambarkan telah keluar!”
Dia berkata, “Jika dia berada di atas kebenaran, maka ikutilah dia.”
Aku berkata, “Apa yang menghalangimu untuk mengikutinya padahal engkau telah mengetahui kebenaran?”
Dia menjawab, “Tidak ada yang menghalangiku melainkan rasa malu terhadap kaum wanita Tsaqif. Aku pernah berbicara kepada mereka bahwa aku seorang Nabi, kemudian bagaimana kalau mereka mengetahui aku tunduk kepada anak muda dari Bani Abdi Manaf!”
Kabar ini barangkali memberikan titik terang pada kita tentang kemuliaan turun menurun yang terpendam dalam jiwa Utbah bin Rabi’ah, yang menjadikan dirinya berhak dinobatkan sebagai nabi dari yang lain. Dan nampaknya bagi saya –wallahu a’lam– bahwa ini merupakan salah satu sebab yang menjadikan Utbah termasuk orang-orang yang berbuat kriminal yang terbesar permusuhannya terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala benih-benih keislaman mulai menyentuh hati kaum mukminin, Utbah bin Rabi’ah tergolong di antara orang yang berdiri menentang dengan kesombongan dan kecongkakannya di hadapannya kaum muslimin dan menghalangi Rasul yang mulia beserta para sahabatnya, mereka mendapat gangguan darinya, mereka selalu berhadapan dengan kekerasan dan kezhalimannya. Di antara yang mendapat gangguannya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu seorang pemberani di saat tak seorang pun dari kaum muslimin terang-terangan berbicara di hadapan para penyembah berhala dari kalangan Quraisy, mereka berada di Darul Arqam bersembunyi dari kaum musyrikin.
Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menyampaikan ide kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –jumlah kaum muslimin kala itu mencapai 38 orang- agar mengumumkan dakwah, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai Abu Bakar, kita ini masih sedikit.”
Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu mendesak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga Beliau mengizinkan mereka keluarga ke Masjidil Haram, kaum muslimin berpencar, setiap orang bersama keluarganya, sementara Abu Bakar berdiri berkhutbah di hadapan manusia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk, dialah orang pertama yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kaum musyrikin menyerang Abu Bakar dan kaum muslimin, dengan penyerangan serempak ala Jahiliyah, mereka menyerang kaum muslimin di segenap penjuru masjid. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu diinjak dan dipukul dengan pukulan yang melukai. Si Fasiq yang berlagak mulia Utbah bin Rabi’ah mendekat dan memukul dengan kedua sandalnya yang menyakitkan muka Abu Bakar, sampai dia tak sadarkan diri. Kemudian keluarganya menbawanya ke rumah, seraya berkata, “Demi Allah, kalau seandainya Abu Bakar meninggal, kami akan membunuh Abul Walid Utbah bin Rabi’ah.
Abu Quhafah –ayah Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu– dan kaumnya berusaha mengajaknya berbicara hingga dia sadar dan menjawab mereka di akhir siang. Tahukah anda, kalimat pertama yang diucapkan Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu saat itu?
Dia tidak bertanya tentang dirinya dan apa yang diperbuat oleh si Fasiq Utbah, serta apa yang dideritanya akibat siksaan dan cercaan, melainkan dia berkata, “Apa yang diperbuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Semuanya merasa kebingungan, mereka mencerca, mengecam dan meninggalkannya dalam kesal dan marah karena apa yang diucapkan oleh Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Setelah kaumnya meninggalkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, tinggallah sang Ibu –Salma binti Shakhr- (Ummul Khair) berduaan dengannya. Abu Bakar berkata kepadanya,
“Apa yang diperbuat Rasulullah wahai ibuku?”
Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui keadaan temanmu pada hari ini.”
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berkata, “Pergilah ke Ummu Jamil Fathimah bintil Khaththab tanyakan padanya –dia termasuk orang yang menyembunyikan keislamannya-.” Maka sang ibu pergi menemuinya seraya berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang temannya Muhammad bin Abdillah.”
Fatimah berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun, jika engkau menginginkan aku pergi bersamamu ke anakmu, aku akan melakukannya.”
Dia berkata, “Ya.”
Maka dia pergi bersamanya hingga menemui Abu Bakar yang menderita sakit parah, dia bertanya padanya, “Apa yang dilakukan Rasulullah?”
Fatimah merasa takut terhadap ibunya Salma binti Shakhr dan berkata,
“Ini adalah ibumu, apakah engkau mendengar wahai Abu Bakar?”
Dia berkata, “Jangan khawatir tentangnya dan jangan takut, insya Allah.”
Fatimah berkata, “Dia selamat dan baik Alhamdulillah, dia di Darul Arqam.”
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak akan makan dan minum sehingga menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah suasana sepi, keduanya membawa Abu Bakar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau dituntun sambil bersandar kepada ibu dan Fatimah. Setibanya di tempat tujuan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecupnya, lalu diikuti oleh kaum muslimin yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sedih, lantas Abu Bakar berkata,
Ayah ibuku sebagai taruhannya wahai Rasulullah, aku baik-baik saja, hanya wajahku yang agak sakit terkena pukulan si Fasiq Utbah bin Rabi’ah –wajah Abu Bakar bengkak karena kerasnya pukulan- ini ibuku yang berbuat baik terhadap anaknya, engkau diberkahi, maka ajaklah dia ke jalan Islam, semoga Allah menyelamatkannya dari api Neraka. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, agar dia masuk Islam dan mengajaknya ke Jalan Allah Azza wa Jalla, lantas dia masuk Islam dan berbai’at.
Dari kejadian ini mulailah Utbah bin Rabi’ah menyiksa kaum muslimin dengan beragam gangguan dan penyiksaan. Di sisi lain, hal itu menjadiakn ketinggian dan kemuliaan bagi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Al-Qasthalani rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Al-Mawahib, tentang keistimewaan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang langka dengan menyatakan, “Para Ulama menyebutkan, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lebih utama daripada orang beriman dari keluarga Fir’aun, karena dia hanya berjuang dengan lisan, sementara Abu Bakar berjuang dengan lisan dan tangan, dia membela Nabi dengan perkataan juga perbuatan.”
Duta Besar Orang-orang Jahat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi orang-orang Quraisy dan manusia pada umumnya, agar beriman kepada Allah Azza wa Jalla. Utbah bin Rabi’ah dan orang-orang yang bersamanya merintangi petunjuk, dengan berbuat zhalim dan menampakkan kebodohan orang Jahiliyyah. Penglihatan mereka buta tidak bisa melihat cahaya kebanran. Mereka merasakan bahaya dakwah yang mengancam patung-patung mereka. Maka guncanglah keadaan mereka, khususnya Utbah yang –menurut pengakuannya- mengetahui ilmu sihir, perdukunan dan sya’ir. Dia mengira dengan kebodohannya, bahwa dia akan membuat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawarannya agar meninggalkan dakwah.
Suatu saat Utbah bersama segolongan kaum musyrikin duduk di Masjidil Haram saling berunding sesama mereka, menimbang dan berdebat serta mengutarakan usul. Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk sendirian di samping mereka, namun jauh dari pemikiran mereka yang rapuh.
Utbah tampil di tengah-tengah kelompok, dia mengutarakan apa yang ada di kepalanya yang dianggapnya dapat mengenyahkan segala problematika mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyerahkan kepada Utbah segala keadaan mereka, dengan harapan nantinya, orang yang dianggap mampu menyingkirkan gelombang yang mendera dapat menyelematkan mereka, mereka berkata dengan satu saura, “Kerjakanlah wahai Abul Walid, apa yang menjadi pendapatmu.”
Maka berdirilah Utbah seraya berjalan dalam keadaan penuh dusta, hingga dia menghampiri dan duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas dia mengajak Beliau berbicara dengan apa yang di pikirannya, “Wahai putra saudaraku, sesungguhnya engkau bagian dari kami, kita termasuk orang-orang pilihan dan yang memiliki kedudukan juga kehormatan.”
Kemudian Utbah beranjak mendustakan dan berdusta dengan kebodohannya, dan mengaku bahwa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang dibawanya merupakan khayalan dari setan juga sekutunya, serta apa yang digambarkan oleh dirinya yang rendah. Dia berkata:
“Sesungguhnya engkau mendatangi kaummu dengan perkara yang besar, memecah belah kesatuan mereka dan engkau anggap mimpi mereka adalah kebodohan, engkau anggap aib tuhan dan agama mereka, serta engkau kafirkan nenek moyang mereka.”
Kemudian dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memenuhi permintaannya, hingga dia mengutarakan pada Beliau beberapa perkara, yang diharapkan beliau menerima sebagiannya. Dengan demikian tersingkap problematika Quraisy, sebagaimana akan lenyap problema Utbah sendiri, jika kaum Quraisy memilihnya sebagai duta yang menjembatani antara kaum Quraisy dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam keadaan yang tenang, percaya diri dan hati yang penuh dengan keimanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Katakanlah wahai Abul Walid, aku akan mendengarmu.”
Duhai, apakah hal yang diutarakan Utbah dalam majlis itu?!
Pemikiran yang Rendah dan Lapuk
Utbah bin Rabi’ah mengemukakan pemikiran-pemikiran rapuhnya yang tergambar dalam otaknya yang hanya berisi kesesatan. Dia beranjak dari tempat perkumpulan kaumnya ke majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memaparkan pemikirannya. Barangkali Nabi bersedia menerima sebagiannya, hingga kaum Quraisy mengaplikasikannya, dan sedikit demi sedikit terpecahlah berbagai problema dan kesulitan.
Utbah mengungkapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam empat perkara, yang menunjukkan kadar pemikirannya yang rendah lagi terbelakang, Dia berkata:
“Wahai pura saudaraku,
Jika engkau menghendaki dengan seruanmu itu harta benda, kami akan mengumpulkan untukmu harta hingga engkau menjadi orang terkaya di antara kita.
Jika engkau menghendaki kemuliaan (kekuasaan), kami tidak memutus perkara melainkan dengan persetujuanmu.
Jika engkau menghendaki kedudukan, akan kami jadikan engkau sebagai raja.
Jika apa yang kau bawa datangnya dari bangsa jin yang engkau lihat, sedang engkau tidak bisa menolaknya, akan kami datangkan untukmu tabib dan kami nafkahkan harta kami demi kesembuhanmu.”
Ini pemikiran yang bercokol di kepala Utbah, intelek Quraisy dan salah seorang yang berpura-pura menggunakan otaknya untuk menuntaskan problematika yang diangkat bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukanlah suatu keanehan bagi kepala dan ubun-ubun busuk, yang disanggah oleh leher yang panjang lagi keras, mengungkapkan hal semacam ini?
Tidak sampai di situ, bahkan si Utbah ini –semoga Allah memburukkannya- termasuk orang Quraisy yang dekat nasabnya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manusia paling tahu akan kegiatan serta kehidupan dan pertumbuhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam!!
Tidak ada laporan sama sekali bahwa Nabi pilihan dan tercinta berambisi mengumpulkan harta dunia, tidak diketahui dari Beliau –atau tercatat dalam sejarah- bahwa beliau meminta kepada mereka untuk menjadikan pemimpin atau raja di Mekah, bahkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya meminta mereka agar menyucikan diri dan hati dari kotornya penyembahan patung, juga memerdekakan akal mereka dari lumut-lumut Jahiliyah yang hina.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terdiam tidak menjawab apa yang didengarnya, dari orang yang berlagak intelek, namun sebenarnya bodoh seperti Utbah, hingga si Utbah usai dari perkataan dan pemaparannya. Hal itu tidak menggoyahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Beliau berkata, “Sudah puaskah engkau wahai Abul Walid?”
Utbah berkata, “Ya.”
Nabi bersabda, “Dengarkanlah aku.”
Utbah mendekatkan telinganya mempersiapkan panca indera dan perasaannya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat-ayat yang jelas berupa petunjuk dan pembeda yaitu firman Allah:
“Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’.” (QS. Al-Fushilat: 1-5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan bacaannya sedangkan Utbah diam dengan meletakkan kedua tangannya di belakang punggung sambil bersandar pada keduanya mendengarkan Beliau. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam usai hingga ayat sajadah, Beliau pun sujud kemudian Beliau bersabda, “Engkau telah mendengarnya wahai Abul Walid baru saja, maka perhatikanlah hal itu olehmu!”
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M