Kisah Orang Durhaka: Perjalanan Hidup Utbah bin Rabi’ah Hingga Ajalnya
Utbah Mengakui Kebenaran Risalah
Kisah Muslim – Tatkala Utbah bergegas pergi meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menyelesaikan kepentingan diplomasinya, dia kembali ke kumpulan orang-orang Quraisy yang sedang menunggunya. Mereka melihat Utbah kembali dengan raut muka yang berbeda dari semula, seolah-olah dia kehilangan kesimbangan jiwanya dan apa yang ada di sekelilingnya, kebingungan menyelimuti dirinya. Mereka saling berkata, “Demi Allah, Abul Walid telah datang kepada kalian dengan wajah yang berbeda dari semula.”
Tatkala dia duduk dengan mereka, mereka pun menghujaninya dengan pertanyaan yang menyesalkan, “Apa yang menyebabkanmu berubah muka, wahai Abul Walid?”
Dia menjawab dengan jawaban yang meyakinkan, “Aku mendengar perkataan –demi Allah- tidak pernah aku mendengar sepertinya selama ini. Demi Allah itu bukanlah syair atau sihir atau mantra. Biarkanlah lelaki ini dan apa yang dibawanya, tinggalkanlah ia! Demi Allah, apa yang aku dengar darinya merupkan berita yang agung, jika orang Arab maka kepunyaannya adalah milik kalian, kemuliaannya adalah kemuliaan kalian juga, dan kalian akan menjadi manusia paling berbahagia dengannya.
Para penyembah patung berkata, “Demi Allah, dia telah menyihirmu dengan lisannya.”
Dia berkata, “Inilah pendapatku tentangnya, berbuatlah apa yang kalian suka.”
Alangkah baiknya perkataan:
“Kalau sekiranya dia tidak memiliki tanda yang jelas bagimu. Niscaya cukuplah gerak hatinya yang akan mengabarkanmu.”
Nampak dari sikap Utbah, bahwa dia menerima bulat kejujuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia memahami apa yang dibaca Rasulullah kepadaya, tidak mungkin bagi orang Arab seperti Utbah tidak memahami dari metode pancaran sinar Alquran, kejernihan penjabaran, dan mukjizatnya, akan tetapi Utbah –bersamaan dengan ini- kembali pada kefanatikan dan kejumudan dalam kekufuran serta kedengkian. Setan menunggangi kebodohan itu. Maka dia mengundang turunnya kemurkaan Allah dan laknat-Nya terhadap dirinya, hingga dia tergolong orang-orang yang dihinakan.
Dengan demikian, usai sudah dialog antara Rasulullah dengan para pembesar Quraisy yang kafir, setelah mereka berpecah belah dikarenakan sikap delegasi mereka, ‘Utbah. Mereka menduga ‘Utbah telah terkena sihir Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapannya. Semakin parahlah gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah dan para sahabatnya, mereka tetap menimpakan kaum muslimin berbagai penyiksaan yang tidak kuat dipikul oleh gunung-gunung yang tegar lagi kokoh.
Di Tha’if
Pintu penyampaian dakwah di Mekah menjadi buntu setelah wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke Tha’if mencari bantuan dari Tsaqif. Tha’if merupakan kota penting layaknya Mekah, dari segi pembangunan, padatnya penduduk dan menjadi tempat berekreasi bagi orang yang berlebih. Kekayaan dan kelapangan telah mewariskan kesombongan dan mengacuhkan orang lain, kepada para pemilik kebun dan harta. Utbah dan saudaranya Syaibah memiliki kebun tempat berlibur menghabiskan musim kemarau di sana.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Tha’if, Beliau sengaja mendatangi tokoh-tokoh Tsaqif dan orang-orang mulia. Beliau duduk mengajak mereka ke jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Balasannya adalah sejelek-jelek jawaban, mereka mengejek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi orang-orang bodoh, para budak, para penjahat dan para penyamun.
Mereka membagi kelompok menjadi dua baris di jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari negeri mereka. Tatkala Beliau lewat di antara barisan itu, mereka silih berganti melempar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batu, hingga kedua sandal Beliau berlumuran darah.
Mereka lihati berbuat kejahatan, disertai ejekan dan tertawa hingga beliau melepaskan diri dari mereka, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ke salah satu kebun yang ada di Tha’if, bernaung di bawah bayangan pohon anggur dalam keadaan murung kesakitan. Lantas hati dan lisan mengadu kepada Allah, akan kelemahan daya dan upaya, strategi dan kelemahannya di depan manusia. Beliau memohon perlindungan kepada Allah serta memohon kemenangan dan dukungan dengan berdoa:
“Ya Allah, kepada-Mu kuadukan kelemahanku, sedikitnya strategiku dan kelemahanku di depan manusia, wahai Dzat yang Maha Penyayang. Engkaulah Rabb orang-orang yang tertindas, Engkaulah Rabbku, kemanakah Engkau melabuhkan diriku? Ke tempat jauh yang menyiksaku? Ataukah kepada musuh, Engkau serahkan urusanku? Jika saja Engkau tidak murka, pasti aku tidak perduli, akan tetapi karunia-Mu yang paling luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu, yang dengannya Engkau menyinari kegelapan dan memperbaiki perkara dunia dan akhirat, aku berlindung dari kemurkaan-Mu, juga kebencian-Mu. Untuk-Mu segala pujian hingga Engkau rela. Dan tidak daya serta upaya melainkan dengan-Mu.”
Allah mengutus kepadanya penguasa gunung, dia meminta izin kepada Nabi untuk menghimpit dua gunung yang mengitari Tha’if. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh rahmat berkata kepadanya, “Bahkan aku berharap akan keluar dari keturunan mereka, orang yang menyembah Allah semata, tidak berbuat syirik sedikit pun.”
Rasa Kekerabatan Utbah Tergerak
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermunajat kepada Rabbnya saat Beliau bernaung di bawah pohon anggur. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelilingnya dan mendapati Utbah dan Syaibah, dua anak Rabi’ah. Tatkala Beliau melihat keduanya, Beliau merasa tidak senang akan keberadaan keduanya, karena telah ada permusuhan mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tatkala keduanya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan demikian, maka tergeraklah hati keduanya menjadi iba. Mereka memanggil salah seorang dari budak keduanya yang Nashrani bernama (Addas), keduanya berkata,
“Ambillah petikan buah anggur dan letakkan di nampan ini, kemudian pergilah ke lelaki itu agar ia memakannya.”
Addas melakukan, dia menghampiri dan meletakkan anggur di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Makanlah.” Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamahnya, Beliau membaca, “Bismillah.” Kemudian memakannya. Addas melihat ke wajah Beliau seraya berkata, “Demi Allah, perkataan ini tidak diucapkan oleh seorang pun dari penduduk negeri ini!”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dari negeri mana engkau berasal wahai Addas? Dan apa agamamu?”
Dia menjawab, “Aku seorang Nashrani, berasal dari Nainawa.”
Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dari negeri lelaki shalih Yunus bin Matta.”
Addas lanjut berkata, “Apa yang engkau ketahui tentang Yunus bin Matta? Demi Allah aku telah keluar dari Nainawa. Di antara sepuluh orang penduduk, tidak ada yang mengetahui siapa Matta! Dari mana engkau mengetahuinya? Sedangkan engkau seorang yang buta huruf dari umat yang buta Huruf pula?!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia itu saudaraku, seorang Nabi, dan aku seorang Nabi.”
Maka Addas menunduk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium kening Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kedua tangan dan kaki Beliau.
Tatkala Utbah dan Syaibah melihat apa yang dilakukan budaknya, salah seorang dari mereka, “Budakmu telah dirusak olehnya.” Tatkala Addas berbalik pada keduanya, mereka berkata, “Celaka engkau wahai Addas! Mengapa engkau mencium kening lelaki ini, serta kedua tangan dan kakinya? Kami belum pernah melihatmu berbuat hal yang sama, pada salah seorang dari kami?!”
Addas berkata, “Demi Allah wahai Tuanku, tiada di muka bumi sesuatu yang lebih baik dari orang ini. Dia telah mengabariku suatu perkara yang tidak diketahui melainkan oleh seorang Nabi.”
Keduanya berkata pada Addas, “Celaka engkau wahai Addas, jangan sampai dia memalingkanmu dari agamamu, sesungguhnya agamamu lebih baik dari agamanya.”
Alangkah indahnya apa yang ditulis oleh mendiang Mushtafa Shadiq ar-Rafi’i tentang rasa kemanusiaan dan ibanya hati Ibnu Rabi’ah. Hal itu ia sebut di akhir makalahnya (falsafat kisah) sesudah kisah Addas dan kedua anak Rabi’ah. Dia berkata:
“Duhai alangkah anehnya rumusan taqdir pada kisah ini!
Kebaikan dan kemuliaan serta pengagungan demikian cepatnya, dia menghadap meminta maaf dari kejelekan, kebodohan, dan kecerobohan disertai dengan ciuman penghormatan setelah kalimat permusuhan.
Kedua anak Rabi’ah termasuk musuh berat Islam dan mereka termasuk dari orang yang menemui paman Nabi dari para pemuka Quraisy, yang merencanakan untuk menyingkirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau membiarkan mereka beraksi terhadap Beliau atau memeranginya hingga celaka salah satu dari keduanya. Sifat berbalik menjadi makna kemanusiaan yang dibawa oleh agama, karena masa depan agama dengan berfikir, bukannya dengan menuruti perasaan.
Datanglah Nashraniyyah merangkul Islam dan mengagungkannya, suatu agama dikatakan sebagai agama yang benar karena berasal dari sumber yang sama, sebagaimana seseorang berasal dari satu nasab dengan saudaranya, hanya saja persaudaraan itu diikat dengan pertalian darah, sedangkan agama itu pertalian dengan akal.
Kemudian taqdir menyempurnakan ciri khasnya dalam kisah ini dengan memetik anggur yang segar penuh dengan rasa manis. Maka dengan nama Allah buah anggur itu dipetik sebagai tanda akan keagungan Islam yang penuh dengan kecintaan dan setiap biji darinya, bagaikan kerajaan.”
Di parlemen Mekah –Daar an-Nadwah- kaum musyrikin menggelar pertemuan paling kejinya dalam sejarah bangunan ini. Mereka merencanakan taktik yang mematikan –menurut mereka- yang bisa memadamkan cahaya kehidupan dalam waktu singkat, dengan membunuh Nabi tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu, yang paling menonjol di antara orang-orang zhalim yang datang menggencet guna melampiaskan kedengkian dan perbuatan yang melampaui batas, adalah Utbah bin Rabi;ah dan saudaranya Syaibah bin Rabi’ah, Firaunnya umat ini Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, An-Nadhr bin al-Harits dan yang lainnya, dari orang-orang yang dikuasai api kedengkian di hati yang membakar jiwa mereka.
Tatkala mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jibril turun mewahyukan apa yang dari Allah dan mengabari Beliau mengenai rencana Quraisy, dan Allah mengizinkan Beliau untuk hijrah.
Jibril mengabarkan dari Allah Ta’ala, “Malam ini janganlah engkau tidur di atas kasurmu sebagaimana biasanya.”
Para tentara berjaga malam, menunggu detik-deitk menegangkan itu, sedangkan Allah yang Maha Unggul dalam perkara-Nya.
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfaal: 30)
Mereka tetap dalam keadaan merugi, berjatuhanlah apa-apa yang ada di tangan mereka, menjadi gilalah orang-orang itu, tatkala mendapati kegagalan tipu daya busuk mereka.
Di saat berkeliling antara rumah-rumah kaum muhajirin, Utbah bin Rabi’ah lewat dan melihat rumah-rumah yang pintunya tertutup tak berpenghuni. Maka sifat kemanusiaan tergerak, dan menarik nafas panjang sebagaimana yang digambarkan Abu Duad al-Iyadi:
Setiap rumah meski lama keselamatannya pada suatu saat akan menemui bencana dan kebinasaan yang menimpanya
Akan tetapi apa untungnya dari merintih? Utbah sendiri termasuk orang-orang yang mengacuhkan Alquran atau orang-orang yang berpaling dari jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan menyiksa kaum mukminin. Di antara mereka, anaknya sendiri Abu Hudzaifah yang ikut hijrah dua kali, karena menyelamatkan agamanya dari cengkraman Utbah dan kelompoknya, lalu apa lagi wahai Utbah?!
Jika Saja Mereka Taat Niscaya Mendapat Petunjuk
Utbah bin Rabi’ah berjalan menuju Badr bersama orang-orang Quraisy, guna berperang menghadapi kaum muslimin. Di Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Utbah menunggang unta merah miliknya, Beliau bersabda, “Jika ada kebaikan pada seseorang di kaum itu, niscaya hal itu terdapat pada penunggang unta merah, jika mereka menaatinya niscaya mereka mendapat petunjuk.”
Dan inilah hakekat kenabian, Hakim bin Hizam –dia termasuk intelek dari kalangan Quraisy- berusaha menemui Utbah bin Rabi’ah seraya berkata:
“Wahai Abu Walid, sesungguhnya engkau pemebsar Quraisy dan pemuka yang ditaati, apakah engkau ingin agar senantiasa dikenang sepanjang masa?”
Utbah menjawab, “Apa maksudmu wahai Hakim?”
Hakim berkata, “Pulanglah bersama orang-orang dan tanggunglah diyat Amr Ibnul Hadrami.” Dia rekan Utbah dan terbunuh dalam pertempuran Nakhlah yang dimpin Abdullah bin Jahsy.
Utbah berkata, “Saya telah melakukannya, engkau jaminannya bagiku, sedangkan aku menanggung diyatnya dan apa yang menimpa hartanya, datangkanlah si Sial bin al-Handzaliyyah –maksudnya Abu Jahal dan Al-Handzaliyyah adalah ibunya- sesungguhnya aku tidak takut, akan percekcokan dalam persatuan suku karenanya darinya.”
Kemudian Utbah berdiri di hadapan khalayak yang berusaha untuk bergabung di antara orang-orang Quraisy seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah kalian tidak patut berhadapan dengan Muhammad dan para sahabatnya sedikit pun, demi Allah seandainya kalian menang, niscaya seorang laki-laki akan melihat kepada yang lain dengan pandangan kebencian. Anak pamannya terbunuh (dari ayah atau ibunya) atau seseorang dari keluarganya. Maka pualgnlah! Dan biarkanlah urusan antara Muhammad dengan seluruh orang Arab. Jika mereka membunuhnya maka kemauan kalian tercapai, jika tidak, dia telah melalaikan kalian, walaupun kalian tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan.
Utbah dan Kecemburuan Abu Jahal
Hakim bin Hizam pergi bergegas menemui Abu Jahal dan mengabarinya bahwa Utbah bin Rabi’ah mengutusnya untuk ini dan itunya. Maka Abu Jahal berkata dengan perasaan diliputi kecemburuan dan dosa, “Demi Allah, telah menjalar perasaan takutnyanya tatkala melihat Muhammad dan para sahabatnya. Demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum Allah memutuskan perkara antara kami dengan Muahmmad. Akant etapi dia melihat Muhammad dan sahabatnya pemakan sesembelihan unta, dan di antara mereka ada anaknya –yaitu Abu Hudzaifah bin Utbah- ia yang telah menakuti kalian terhadapnya.
Tatkala Utbah mendengar perkataan Abu Jahal, menjalar perasaan takutnya. Utbah berkata, “Dia akan mengetahui siapa yang dijangkiti rasa takut, aku ataukah dia.” Si Utbah memiliki firasat yang tidak dimiliki oleh Abu Jahal. Dia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya saat perang Badr setelah melihat pasukan kaum muslimin, “Tidakkah kalian lihat mereka 0maksudnya apra sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam keadaan berlutut di atas tunggangannya seakan-akan mereka bisu, seraya menjulurkan lidahnya bagaikan ular.”
Abu Jahal mampu memporak-porndakan pasukan tersebut, menyulut api fitnah, meniup api peperangan dan alangkah berat baginya (gengsi) kalau Utbah memimpin Quraisy serta merampas hal itu darinya. Dia membujuk Amr Ibnul Hadrami guna menuntut balas atas kematian saudaraya Amr. Dia memenuhi Amr dan berteriak, “Duhai Amrku duhai Amrku.” Maka kaum itu menjadi panas, kecerobohan mengalahkan kearifan, dan perkara Allah telah ditentukan.
Terbunuhnya Utbah dalam Pertempuran
Genderang perang telah ditabuh, Utbah memakai pakaian perangnya dalam keadaan marah. Dia merabah kain putih untuk dimasukkan ke dalam kepalanya, maka dia tidak mendapati dalam pasukan itu kain putih yang cukup karena kebesaran kepalanya. Tatkala dia melihat hal itu, dia mencukupkan kainnya untuk kepala. Kemudian Utbah keluar di antara saudaranya untuk beradu tanding. Utbah menginginkan dari kecerobohan yang dungu ini untuk menampakkan keberaniannya dan membantah celaan Abu Jahal terhadapnya berupa sifat pengecut dan takut.
Di medan pertempuran Utbah berdiri beserta orang-orang yang bersamanya yang baka menjadi kayu bakar api Neraka berseru memanggil, “Wahai Muhammad, keluarkanlah mereka yang sebanding dengan kami dari para pembesar kaum.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bangkitlah wahai Ubaidah Ibnul Harits, bangkitlah wahai Hamzah dan bangunlah wahai Ali.”
Ubaidah berhadapan dengan Utbah, Hamzah menghadapi Syaibah dan Ali bertarung dengan Al-Walid bin Utbah. Ali berhasil membunuh Al-Walid, demikian pula Hamzah berhasil membunuh Syaibah. Sementara Ubaidah dan Utbah sama-sama terluka masing-masing terkena dua pukulan. Maka Hamzah dan Ali segera melindungi temannya dari Utbah.
Usai pertandingan ditandai dengan terbunuhnya musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di tangan para pahlawan Islam, kedua pasukan beradu. Tak lama kemudian orang-orang jahat yaitu kaum musyrikin terpukul mundur dan kalah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari- berada dalam kubah di Badr, Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta jaminan dan janji-Mu, ya Allah jika Engkau menghendaki, Engkau tidak akan disembah setelah hari ini untuk selamanya.” Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengambil tangan Beliau seraya berkata, “Cukup bagimu wahai Rasulullah, engkau telah berulang-ulang memohon kepada Rabbmu.” Beliau mengenakan tameng, lantas Beliau keluar seraya membaca firman Allah:
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 45-46)
Demikianlah Utbah bin Rabi’ah bersama 70 pembesar Quraisy menemui kebinasaan mereka, laknat Allah benar-benar menimpa musuh, hingga mereka terbunuh dengan cara demikian. Sebagian ditawan dan yang lain tercerai berai bertebaran di muka bumi, melarikan diri karena takut berhadapan dengan tentara yang beriman. Maha benar Allah dengan janjinya, dia memuliakan pasukan-Nya, menolong hamba-Nya dan kalahlah orang-orang yang berdosa. Dia memenuhi janji-Nya terhadap Rasul-Nya berupa kemenangan yang menakjubkan dan membuatnya perkasa. Jumlah sedikit yang bersabar menang atas kaum kafir yang berdosa dengan jumlah yang banyak.
Dan yang patut disebut di sini bahwa para perawi menyebutkan bahwa Utbah tatkala terbunuh usianya 140 tahun sedangkan Syaibah lebih tua darinya tiga tahun. Indah apa yang diungkapkan Ibnu Jabir al-Andalusi rahimahullah saat menggambarkan perang Bdr dan pertempuran kaum musyrikin dengan berkata:
“Bulan di hari Badr telah nampak menyinari sekelilingnya bintang-bintang di angkasa telah menampakkan cahayanya. Jibril bergabung di antara Malaikat yang mendekatinya. Tidaklah jumlah musuh yang banyak, dapat mengangkat kehinaan pada mereka. Dia melempar dengan batu ke muka kaum itu Lantas ia mengoyaknya hingga membuat kenikmatan tersebut seakan hilang. Dia berbuat baik dengan mengawasi hingga mereka selamat Dia membuat jiwa menjadi baik setiap kali ia membatu. Tanyakanlah kepada mereka Ubaidah dan Hamzah serta perhatikanlah pembicaraan mereka pada hari itu tentang Ali. Mereka menghukum Utbah dengan pedang saat dia nampak maka Al-Walid merasakan kematian itu yang tak terwakilkan. Dan Syaikh tatkala muda diliputi rasa takut yang menghantui kepadanya dipercayakan untuk mengubah keadaan dengan cepat. Abu Jahal memilih kebodohan yang nyata, pagi-pagi sekali dia kembali dengan kematian yang menghinakan. Dia berputar-putar dalam kelompok dan kaumnya. Mereka menggiringnya ke sumur sebagai tempat kembali.”
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M