Air Matamu di Spanyol, Mendahului Pandanganmu
Apakah yang engkau saksikan di Andalusia (sekarang bernama Spanyol, pen.)? tidakkah engkau mendengar syair Ar-Ratsa tentang jatuhnya Andalusia?
Segala sesuatu bila telah sempurna pasti menjadi kurang, maka janganlah seseorang terpedaya oleh kesenangan.
Dalam segala hal sebagaimana kita lihat, terjadi perputaran ada masa kegembiraan dan ada pula masa kesedihan.
Hati kita akan ternyuh dan lidah kita menjadi kelu.
Berbagai peninggalan sejarah, sebuah negara besar, dengan bangunan-bangunan megah. Inilah akhir segalanya…
Setiap memasuki masjid, hatiku bergetar. Berapa banyak orang yang pernah shalat di sini telah pergi, dan berapa banyak orang-orang yang beribadah telah tiada lagi… orang-orang semua sibuk.
Ini adalah Fusaifisa… ini gedung pertemuan.. ini dan ini.. seolah Islam hannyalah tinggal berupa bangunan-bangunan.
Meskipun kami jarang mengunjungi masjid di sebelah rumah kami. Namun masjid-masjid di Andalusia ini memang berbeda. Bahkan berapa kali aku memasuki masjid kampungku, namun tidak sedikitpun hatiku bergetar. Padahal aku masuk untuk shalat…
Tetapi hatiku kini bergetar, padahal aku sedang berekreasi. Bukan untuk shalat, atau beribadah.
Temanku yang berwarga negara Spanyol itu menceritakan kepadaku tentang keadilan kaum muslimin ketika mereka hjidup di sini. Ia menceritakan kepadaku pengetahuan sejarah…
Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Setiap kali aku menggerak-gerakkan kepalaku di akhir pembicaraannya, tidak kudapatkan jawabannya. Namun yang jelas hatiku bergetar..
Mereka menceritakan tentang sejarah Islam, sejarah nenek moyangku. Sementara aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Bahkan aku berfikir: apakah aku termasuk cucu dari orang-orang yang menaklukkan dunia? Aku meninggalkan Andalusia dalam keadaan bingung tentang arti yang terkandung dalam kata-kata itu.
Melalui jalan laut, aku tiba di Maroko..
Dengan mengendarai bis, aku berangkat menuju kota temanku dari Maroko itu. Ternyata ia tinggal dekat perbatasan Al-Jazair. Kamipun memasuki kota itu. Sebuah kota terpencil di tengah padang pasir, mengingatkan diriku dengan kampung halamanku. Kami tidak membutuhkan alamat…
Di mana rumah Jabir? Semua orang sudah tahu. Wah orang asing! Semua mata tertuju kepadaku. Salah seorang di antara mereka langsung menuntunku, begitu ia tahu aku datang dari Al-Haramain. Ia mengangkut koperku dengan kemauan sendiri sambil terus terheran-heran.
Aku mengetuk pintu. Ternyata yang membuka adalah ayah Jabir. Aku tidak diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri. “Ini tentu yang datang dari Mekah?” ia segera memelukku. “Mari silahkan masuk!” Amat ramah, sehingga membuatku merasa malu ternyata sudah menunggu kedatanganku dengan penuh kerinduan, semenjak satu minggu. Mereka telah menyiapkan pesta untukku, demikian kata mereka..
Usai meminum teh, mereka menyediakan untukku sebuah kamar yang rapi. Sore harinya, mereka berkata: “Sesungguhnya para penduduk desa ingin melihatmu…” (Apa ???) mereka ingin melihatku?
Akupun diletakkan di depan podium di tengah pesta. Pembawa acara berbicara terlebih dahulu. Mereka menyambutku sedemikian hangatnya. Pesta itu mengikutsertakan kebanyakan penduduk kampung tersebut, kalau tidak bisa dikatakan semuanya. Kaum lelaki, wanita dan anak-anak..
Setelah itu Imam masjid membicarakan tentang keutamaan Makkah Al-Mukarramah dan Al-Madinah Al-Munawwarah, dan memebri sambutan untukku..
Datanglah hal yang membuat kejutan buat diriku..
“Akan berbicara kepada kalian semua seorang yang datang dari negeri turunnya wahyu, negeri turunnya Al-Qur’an yang mulia, dari negeri Makkah dan Madinah..”
Sebelumnya, aku tersenyum mendengar ucapannya. Namun ketika mereka memintaku untuk berbicara.. rona wajahku berubah. Sekujur tubuhku gemetaran dan lidahku terasa kelu. Aku tidak terbiasa berbicara di hadapan orang sebanyak ini. Kemudian apa yang harus kuucapkan? Aku mahasiswa ekonomi. Aku tidak memiliki bekal ilmu syariat atau wawasan apapun?
Akan tetapi Allah Ta’ala memberi kemudahan kepadaku. Aku berbicara kepada mereka tentang tanah Al-Haram dan Ka’bah, juga tentang haji. Itu obyek pembicaraan yang mudah yang sudah kupelajari semenjak dahula. Aku juga memiliki banyak pengetahuan tahunan yang berbeda-beda dari seputar siaran pada musim haji. Aku berdoa kepada Allah semoga mereka dapat berhaji di Makkah. Suara-suara pun bersahutan diselahi tangisan dan ucapan Amin.
Aku merasa takut terhadap kesempatan ini karena aku takut kepada Allah. Akupun mulai berbicara dengan gaya yang menggugah, seolah-olah aku berbicara kepada diriku sendiri agar bertaubat. Pelajaran ini bagai mencekik jiwaku, sementara aku tetap berbicara..
Akupun menangis. Semuanya terdiam sesaat. Aku terbengong-bengong melihat diriku sendiri. Seolah-olah aku sedang mendapatkan mimpi yang aneh.
Mereka semua berdiri mengucapkan selamat kepadaku. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Sebagian ucapan mereka berupa tangisan, sebagian lagi dengan bahasa setempat..
Setelah acara itu, seolah-olah aku baru saja menyaksikan sandiwara dan aku sebagai pemeran utamanya. Kamipun diajak makan malam. Makanannya cukup untuk semua yang hadir. Namun aku tidak dapat menikmati santapan tersebut. dalam batinku terdapat satu hal yang tidak aku mengerti..
Aku masuk menuju kamar dan mengunci pintu sendirian… lalu menangis. Bahkan aku meletakkan wajahku di atas bantal, sehingga bantal tersebut dipenuhi air mata. aku berusaha untuk merendahkan suaraku, sehingga tidak terdengar oleh penghuni rumah…
Aku tidak tahu kapan aku mulai berhenti menangis. Namun, aku tertidur dalam keadaan menangis. Kemungkinan kelelahan perjalanan membantuku untuk cepat tertidur.
Pintuku diketuk. Waktu shalat Shubuh sudah tiba.. aku berngkat ke masjid dan shalat dengan khusyu’. Aku menangis dalam shalatku..
Aku bangun pagi itu dengan pikiran hilang, tidak ingat lagi apa yang telah terjadi pada diriku.. tidak tahu bagaimana kuhabiskan hari-hariku. Namun bermalam-malam aku isi dengan tangisan. Dan pada siang harinya, kondisi itu terlihat pada diriku.
Aku memutuskan untuk kembali ke negeriku, meskipun mereka senang aku tinggal di negeri itu. Namun aku sudah bertekad untuk pulang. Tujuan perjalananku adalah Jeddah. Dari Jeddah kuteruskan perjalanan ke Makkah. Aku tinggal di Al-Haram seminggu, dan hanya keluar bila ada kebutuhan mendesak.
Aku mulai membaca Al-Qur’an dengan serius dan shalat dengan khusyu’. Aku juga melakukan thawaf dengan thuma’ninah.
Kemana diriku selama ini sehingga melupakan semua ini? Kemana perginya tahun-tahun yang lalu?..
Aku tidak mampu menghitung-hitung lagi, karena aku sudah tenggelam dalam tangisan, rasa penyesalan mendalam. Bila aku teringat dengan masa laluku. Aku membuka mushaf dan membacanya. Air mataku bercucuran. Ke mana perginya air mata ini selama bertahun-tahun yang lalu? Aku tidak tahu…
Rasa takutku berubah menjadi ketentraman karena pelajaran-pelajaran yang kudapatkan di tanah Al-Haram. Aku membeli sebuah buku berjudul Hadi Arwaah Ilaa Bilaadil Afraah dan kitab lain berjudul Waahatul Iman karya Abdul Hamid Al-Bilali.
Sebelum dan sesudahnya, segala puji bagi Allah yang mengampuni dosa dan menerima taubat…
Sumber : Perjalanan Menuju Hidayah, cet. Darul Haq, karya Abdul Malik Al-Qasim