Perjalanan Hidup Seorang Tokoh Reformis Arab Saudi (2/2)
Pertolongan Dari Dir’iyyah
Setelah terusir dan dikhianati di Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pergi menuju Dir’iyyah. Saat itu tahun 1157 M, Dir’iyyah dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Di Dir’iyyah, Syaikh bertamu di rumah Abdullah bin Suwailim dan Ahmad bin Suwailim. Dua orang ini merupakan kerabat sekaligus muridnya. Awalnya kedua orang ini takut kalau Amir Muhammad bin Saud akan menyakiti atau menghukum mereka karena menerima Syaikh sebagai tamu (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/11).Tapi Syaikh meyakinkan mereka dengan pertolongan dan penjagaan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Allah akan menjadikan untuk aku dan kalian jalan keluar.” (Ibnu Bisyr:Unwanul Majdi, 1/11).
Pemimpin Dir’iyyah, Muhammad bin Saud, memiliki dua orang saudara; Tsunyan dan Misyari. Keduanya telah mendengar dan menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibnu Saud juga memiliki seorang istri yang cerdas dan religius. Namanya Maudha binti Abi Wahthan rahimahallah. Sang istri juga meyakini bahwa materi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran pemurnian Islam. Kedua saudara Muhammad bin Saud datang menemuinya dan mengatakan, “Laki-laki ini (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah ‘durian jatuh’ yang Allah berikan padamu. Manfaatkanlah apa yang khusus Allah anugerahkan padamu ini (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24).
Keduanya memotivasi Muhammad bin Saud untuk menyambut kedatangan Muhammd bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Saud juga dikenal sebagai seorang yang berakhlak baik dan mudah dalam menerima kebenaran. Tak menunggu lama, ia segera pergi bersama dua orang saudaranya menemui Muhammad bin Abdul Wahhab di rumah Ahmad bin Suwailim.
Ibnu Saud mengucapkan salam dan menunjukkan penghormatannya. Ia kabarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ia akan membelanya seperti membela istri-istrinya dan anak-anaknya. Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan materi dakwahnya. Semuanya adalah apa yang diajarkan dan didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Yang ia ajarkan adalah apa yang Rasulullah perintah dan larang. Ia jelaskan bahwa bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Ia juga sampaikan bahwa Allah akan memuliakan orang-orang yang berjihad. Dan persaudaraan yang hakiki hanyalah dengan Islam. Setelah Muhammad bin Saud mengetahui apa itu tauhid. Mengetahui juga maslahat yang dibawanya di dunia dan akhirat. Ia berkata kepada Syaikh, “Syaikh, sesungguhnya agama Allah dan Rasul-Nya ini tak ada keraguan di dalamnya. Bergembiralah dengan pertolongan untukmu dan untuk apa yang kau dakwahkan. Dan jihad bagi mereka yang menyelisihi tauhid.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 87).
Allah membuat dada Muhammad bin Saud lapang menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhb. Tidak hanya menerima, bahkan ia nyatakan sikap tegas untuk membantunya dan melawan mereka yang menentangnya. Namun, Ibnu Saud memberikan dua syarat. Pertama: Muhammad bin Abdul Wahhab harus berjanji agar tidak menikungnya (merebut kekuasaannya) jika Allah telah memenangkannya dan mengokohkan dakwahnya. Kedua: Syaikh tidak boleh melarangnya memungut pajak bumi (kharaj) yang telah ia tetapkan untuk penduduk Dir’iyyah di waktu panen.
Syaikh menanggapi, “Poin pertama, darah dengan darah. Pengkhianatan dibalas kehancuran. Dan poin kedua, aku berharap Allah memberikan kepadamu penaklukkan. Dan memberikan padamu banyak ghanimah. Dan itu lebih baik dari kharaj tersebut.”
Artinya, Syaikh menyepakati poin pertama dan menolak poin kedua. Perhatikanlah akhlak beliau. Beliau tolak dengan sopan. Bahkan dengan optimisme, harapan, dan doa agar diberikan yang lebih baik. Beliau tidak membenarkan pajak tersebut. Beliau tidak menoleransi kesalahan walaupun dalam keadaan membutuhkan bantuan. Beliau bukanlah penjilat yang menghalalkan segala cara untuk mendapat simpati. Memaklumi kesalahan demi tercapai tujuan dakwah. Tidak.
Muhammad bin Saud pun membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk sama-sama berdakwah kepada Allah. Berjihad di jalan-Nya. Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramar makruf nahi mungkar. Dan menegakkan syariat Allah di tengah masyarakat (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 88).
Setelah peristiwa pembaiatan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tinggal selama dua tahun di Dir’iyyah. Ia berdakwah dan membimbing masyarakat di sana. Dalam masa itu pula datang orang-orang dari Uyainah yang juga mendukung dakwahnya. Di anatara mereka: Abdullah bin Muhsin. Kemudian dua orang saudaranya; Zaid dan Sulthan alu Ma’mar. Hadir pula Abdullah bin Ghanam dan saudaranya Musa. Bersama mereka juga turut hijrah tokoh-tokoh keluarga Ma’mar yang berbeda pendapat dengan Utsman bin Ma’mar di Uyainah. Selain itu datang juga utusan-utusan dari penjuru wilayah Nejd.
Penduduk Dir’iyyah yang terdepan dalam mendukung dakwahnya adalah Tsunyan bin Saud, Misyari bin Saud, Farhan bin Saud, Syaikh Ahmad bin Suwailim, Syaikh Isa bin Qasim, Muhammad al-Hazimi, Abdullah bin Dughaitsir, Sulaiman al-Wusyaiqiri, Hamd bin Husein, dan saudaranya Muhammad bin Husein, dll. Seorang orientalis, Harry St John Bridger Philby, menyebut mereka dengan mengatakan, “Mereka ini adalah tokoh-tokoh utama wahabi. Nama-nama mereka disebutkan dengan pemuliaan. Anak keturunan mereka mendapat penghormatan dan pemuliaan di istana kerajaan.”
Penyesalan Utsman bin Ma’mar
Perkembangan pesat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terdengar oleh Utsman bin Ma’mar, pemimpin Uyainah. Ratusan orang telah mengikuti dakwahnya. Utsman pun menyesali apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia telah menodai hak Syaikh Muhammad. Akhirnya, ia datang menemui Syaikh dengan membawa para pembesar Uyainah. Ia meminta maaf. Dan memintanya agar bersedia kembali ke Uyainah. Syaikh menjawab bahwa ia telah berjanji untuk bersama Muhammad bin Saud. Janji wajib ditunaikan. Muhammad bin Saud pun menolak kalau Syaikh kembali ke Uyainah. Utsman pulang dengan kecewa. Ia telah menyia-nyiakan kebaikan yang ada di tangannya (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24-25).
Dakwah semakin tersebar. Para pelajar pun berdatangan menuju Dir’iyyah untuk menimba ilmu dari Syaikh. Mereka mempelajari ilmu akidah, Alquran, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadits dan mustholahnya, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan sejarah, dll.
Dir’iyyah Ibu Kota Dakwah
Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawa berkah bagi Dir’iyyah. Bukan hanya bagi penduduknya, tapi juga bagi kehidupan kota itu sendiri. Bukan hanya dari sisi religius, tapi juga dari sisi duniawi. Kota itu menjadi hidup dengan banyaknya orang datang untuk belajar. Geliat aktivitas ekonomi tumbuh seiring kedatangan para perantau. Tata hukum yang menggunakan pemahaman Asy’ariyah diganti dengan hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pajak dihapuskan dan zakat dihidupkan. Kekacauan pun berganti keamanan. Budaya pengajian agama semakin semarak.
Di saat itu pula Dir’iyyah memerangi buta huruf. Diharuskan bagi masyarakat untuk belajar membaca dan menulis berapapun usia mereka. Betapapun tinggi kedudukan mereka. Harus sama-sama duduk belajar. Masyarakat juga diajarkan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama dengan pengkajian yang mendalam. Semangat jihad dihidupkan. Pemikiran-pemikiran khurofat, semangat ibadah tanpa dalil, dan budaya taklid diberangus. Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah pemahaman Islam yang sahih. Sebagaimana pemahamannya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keadaan Dir’iyyah kala itu mengingatkan kita akan momen-momen saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membangun Kota Madinah setelah hijrah (Muhammad Hamin al-Faqi: Atsar ad-Da’wah al-Wahabiyah, Hal: 6-7).
Berjihad
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak hanya berdakwah dengan ceramah dan menulis buku. Tapi ia juga menempuh metode nabawi dengan cara surat-menyurat. Ia kirimi surat kepada kepala daerah, negara, dan kabilah tetangga. Menyeru mereka untuk menauhidkan Allah. Berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan yang tersebar di tengah mereka. Beliau jelaskan dengan dalil-dalil yang mudah ditangkap. Yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Respon mereka terhadap dakwah tersebut beragam. Bahkan sampai ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin. Tidak cukup dengan tuduhan, mereka nyatakan permusuhan. Mereka siapkan pasukan untuk memerangi dakwahnya. Hal ini karena kemarahan mereka saat melihat sebagian kabilah menerima dakwahnya.
Muhammad bin Abdul Wahhab tidak meragukan kesungguhan Muhammad bin Saud dalam memperjuangkan dakwah sunnah. Namun, ia belum mengetahui bagaimana keadaannya kalau harus sampai berperang. Akhirnya ujian ini datang, musuh menantang untuk berperang. Dan Muhammad bin Saud tetap memegang teguh janjinya. Membela dakwah tauhid ini. Padahal Dir’iyyah adalah negeri kecil. Penduduknya tidak lebih dari 1000 orang. Jumlah rumah yang ada di sana tidak lebih dari 70 rumah. Meskipun sedikit, tapi mereka tetap berani membela akidah yang benar.
Tidak menunggu lama, hanya dua tahun saja Syaikh tinggal di Dir’iyyah, kampung tersebut diserang oleh negeri-negeri lainnya. Jihad pun dimulai sejak tahun 1160 H. Mereka menghadapi Diham bin Duwas yang memimpin penduduk Riyadh dan Duba. Dalam pertempuran ini, dua orang purta Muhammad bin Saud, Faishal dan Saud, gugur.
Masa Kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud
Muhammad bin Saud terus menunjukkan loyalitasnya terhadap dakwah tauhid. Ia menghadapi musuh-musuh dakwah dengan kekuatannya hingga ia wafat pada tahun 1179 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Kepemimpinan pun diserahkan kepada putranya, Abdul Aziz. Abdul Aziz tetap meneruskan perjuangan sang ayah. Setiap permasalahan yang ia hadapai, selalu ia ajak Muhammad bin Abdul Wahhab diskusi untuk mencari solusi. Bahkan ia tidak akan memutuskan suatu masalah kecuali dengan persetujuan Syaikh (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 96-97).
Peperangan dengan Riyadh dan wilayah-wilayah yang memusuhi dakwah terus berlangsung hingga di masa pemerintah putra Muhammad bin Saud, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Hingga akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun berperang dengan Riyadh, Abdul Aziz bin Muhammad berhasil menalukkan Riyadh pada tahun 1187 H. Setelah berhasil menaklukkan Riyadh, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Isi surat tersebut sebagai berikut:
أُحِبُّ لك ما أحبُّ لنفسي، وقد أراك الله في عَدُوِّك ما لم تؤمِّل، فالذي أراه لك أن تُكثر من قول الحسن البصري؛ كان إذا ابتدأ حديثه يقول: اللهم لك الحمد بما خلقتنا ورزقتنا وهديتنا وفرَّجْتَ عنَّا، لك الحمد بالإسلام والقرآن، ولك الحمد بالأهل والمال والمعافاة، كبَّتَّ عَدُوَّنَا، وبسطت رزقنا، وأظهرتَ أمننا، وأحسنتَ معافاتنا، ومِنْ كل ما سألناك ربنا أعطيتنا، فلك الحمد على ذلك حمدًا كثيرًا طيِّبًا حتى ترضى، ولك الحمد إذا رضيت”.
Aku menyukai hal-hal baik untukmu sebagaimana aku suka kalau hal itu untukku. Dalam permasalahan musuh-musuhmu ini, Allah telah menunjukkan padamu sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Menurutku, sepantasnya Anda memperbanyak ucapan seperti yang diucapkan Hasan al-Bashri, ‘Ya Allah, untukmulah pujian karena Engkau telah menciptakan kami. Memberi kami rezeki. Memberi kami hidayah. Memberi kami jalan keluar. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat Islam dan Alquran. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat keluarga, harta, dan kesehatan. Engkau kalahkan musuh kami. Engkau lapangkan rezeki kami. Engkau berikan kami keamanan. Engkau sempurnakan kesehatan kami. Dan segala puji bagi-Mu hai Rab kami, atas segala permintaan yang kami ajukan dan Kau kabulkan. Segala puji bagi-Mu pada semua itu. Pujian yang banyak dan yang baik sampai Kau meridhainya. Dan segalah puji juga bagi-Mu yang telah meridhainya’.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 139).
Surat ini mengandung pelajaran akidah yang agung. Syaikh mengajarkan hanya kepada Allah sematalah rasa syukur diajukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nikmat besar kemenangan ini. Beliau ajarkan ini sebagai praktik dari apa yang dipelajari selama ini. Jangan sampai rasa bangga diri sempat masuk di hati Abdul Aziz. Karena itu, ia nasihati langsung setelah Abdul Aziz dikaruniai kemenangan besar.
Musuh lainnya adalah Urai’ir bin Dujain, penguasa Ahsa’. Sebelumnya, pada tahun 1172 H, Urai’ir berhasil menaklukkan Huraimila. Urai’ir dikenal sebagai seorang yang bengis. Kalau dia membunuh, maka semua orang yang terlibat melawannya akan ia habisi walaupun sudah menyerah. Ia senantiasa mengintai Dir’iyyah dan menunggu kesempatan untuk menyerang wilayah kecil itu.
Pada tahun 1178 H, ia memimpin pasukan besar menuju Dir’iyyah. Banyak penduduk desa-desa dan kota-kota bergabung dengannya menuju ibu kota dakwah tauhid itu. Setiap pasukan ini melewati kampung atau kabilah, maka semuanya mendukung pasukannya. Dir’iyyah pun dikepung selama 20 hari bahkan lebih. Namun, pasukan-pasukan dakwah memberikan perlawanan dan tak mau menyerah. Sampai akhirnya Allah memasukkan rasa takut di dada-dada pasukan Urai’ir. Berkat pertolongan Allah, mereka pun berbalik mundur dan menderita kerugian (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 94-96).
Muhammad bin Abdul Wahhab dan Saudaranya, Sulaiman
Sebagaimana yang masyhur, dan sempat kita singgung di awal tulisan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berselisih paham dengan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Perselisihan ini muncul karena tuduhan-tuduhan bohong dan hasad kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Biasanya para penentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab akan membawakan kisah perseteruannya dengan saudaranya, Sulaiman. Agar terkesan dakwah ini tertolak sejak awal. Namun mereka menutupi apa yang terjadi antara keduanya di kemudian hari. Pada tahun 1190 H, Sulaiman bin Abdul Wahhab rujuk dari kesalahannya atas saudaranya. Ia menulis sebuah risalah yang juga sudah dicetak dengan judul ash-Shawa-iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Musuh-musuh dakwah tauhid tutup mulut, tak pernah menyebut risalah ini. Mereka malu untuk menyebutkan fakta sejarah tentang rujuk dan taubatnya Sulaiman bin Abdul Wahhab atas tuduhannya terhadap saudaranya (an-Nadwi: Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 61).
Para musuh dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab sadar, dakwah ini terus besar dan tumbuh. Sulit bagi mereka menghadapinya dengan kekerasan. Karena itu, mereka menempuh cara lainnya. Mereka membuat-buat fitnah jahat atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara mereka yang menempuh cara itu adalah Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim. Ia kirim surat berisi fitnah ke Ahsa dan daerah-daerah di Teluk. Dan tuduhan itu dibantah oleh Syaikh dengan risalah-risalah yang berisikan argumentasi yang kuat. Selain Sulaiman bin Muhammad, banyak para penguasa dan pemimpin Arab yang turut serta memfitnah dakwah Muhammad bin Abdullah Wahhab. Mereka lakukan itu untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 80-85).
Akhlak dan Ibadah Muhammad bin Abdul Wahhab
Di antara kebiasaan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menghidupkan sebagian besar waktu malam untuk mengerjakan shalat. Ia adalah seorang yang tenang dan teliti dalam memutuskan hukum. Tidak mengedepankan hawa nafsu dari wahyu. Kalau ia mendapati ada keterangan dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu permasalahan, ia berpegang pada keduanya dan tidak condong pada selainnya. Kalau tidak mendapati keterangan dari Alquran dan hadits, ia merujuk kepada pendapat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Kemudian mengkajinya, mana yang lebih mendekati Alquran dan sunnah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang zuhud dan afif(menjaga kehormatan diri). Seorang dermawan yang tak pernah menolak orang yang meminta. Meskipun harta Baitul Mal berlimpah, ia tidak sembronodalam mengelolanya. Ia tetap makan dari hasil yang halal. Bahkan ia memiliki utang yang besar untuk membiayai hidup para pelajar. Pernah ada sejumlah perantau yang hendak belajar padanya, kemudian ia menanggung utang yang banyak demi memberikan perbekalan dan mencukupi kebutuhan mereka. Ia juga terbiasa mencukupi kebutuhan para musafir. Saat Kota Riyadh dikuasai, ia menghabiskan 40.000 Najdiah untuk menghidupi kebutuhan orang-orang miskin (Ibnu Bisyr: Unwanul Najdi, 1/15).
Wafatnya
Setelah menempuh perjalanan panjang, berjihad dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Berjihad membela tauhid dan menghadapi para penentangnya. Allah mewafatkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada hari Senin akhir bulan Syawwal 1206 H. Saat itu usianya menginjak 92 tahun. Ia habiskan lebih dari separuh usianya, lebih dari 50 tahun, untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Memasukkannya ke dalam surga. Dan membalas jasa-jasanya dengan balasan yang terbaik.