Imam ath-Thabrani
Imam ath-Thabrani adalah seorang imam dalam ilmu hadits. Selain menguasai ilmu hadits, beliau juga pakar dalam bidang tafsir. Ia memiliki usia yang panjang dan ilmu yang tersebar ke penjuru dunia. Bagi umat Islam adalah suatu kelayakan mengenal ulama mereka sendiri. Mengenal orang-orang yang berada di lingkungan dalam mereka. Meskipun telah wafat ratusan tahun lalu, namun namanya masih hidup bersama waktu.
Nasab dan Kelahirannya
Ath-Thabrani adalah seorang imam, hafizh, dan perawi terpercaya. Ia adalah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir al-Lakhmi asy-Syami ath-Thabrani (Adz-Dzahabi: as-Siyar, 16/119). Dinisbatkan pada daerah yang Thabariyah. Ia adalah seorang ahli tafsir dan tokoh rijalul hadits di zamannya.
Ath-Thabrani dilahirkan pada tahun 260 H/873 M (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Disebutkan bahwa ia dilahirkan di Kota Acre (di wilayah Israel sekarang). Artinya, ia dilahirkan di wilayah Syam. Umurnya panjang. Hampir 100 tahun. Dan hadits-haditsnya tersebar ke penjuru dunia.
Perjalanan Mencari Hadits
Di antara tradisi ahli hadits adalah bersafar dalam mencari hadits. Demikian juga dengan ath-Thabrani. Ia memulai perjalanan mencari hadits pada tahun 273 H (Adil Nuwaihidh: Mu’jam al-Mufassirin, 1/214). Saat itu usianya baru menginjak 13 tahun (ash-Shufdi: al-Wafi bil Wafayat, 15/213).
Perjalanan di usia beliau ini ia mulai dari negerinya Syam menuju Baghdad, Kufah, Bashrah, dan Isfahan (Ibnu Abdul Hadi: Thabaqat Ulama al-Hadits, 3/107). Kemudian menuju Hijaz, Yaman, Mesir, negeri-negeri di Jazirah Arab, dan lain-lain. Perjalanan belajar ini beliau tempuh selama 33 tahun, masyaallah. Luar biasa perjalanan para ulama kita dalam belajar.
Dari perjalanan ini, ia mendengar dan belajar dari banyak guru dan ulama. Sampai-sampai jumlah gurunya mencapai 1000 orang (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Di antara gurunya adalah Abu Zur’ah ad-Dimasyqi an-Nasai. Ath-Thabrani pernah ditanya tentang banyaknya hadits yang ia riwayatkan, ia berkata, “Dulu aku tidur di atas al-Bawari (tikar yang terbuat dari jalinan rumput) selama 30 tahun (Ibnu Abdul Hadi: Thabaqat Ulama al-Hadits, 3/108).
Dari susah payah perjuangannya untuk menjaga kemurnian agama Allah ini, Allah kekalkan namanya hingga sekarang.
Pujian Para Ulama
Di antara pujian tersebut adalah ucapan Imam adz-Dzahabi rahimahullah, “Dia adalah seorang hafizh yang masyhur. Seorang musnad dunia.” (Adz-Dzahabi: Tarikhul Islam, 8/143). Beliau juga mengatakan, “Ath-Thabrani ibarat ahli penunggang kuda dalam permasalahan hadits ini. Bersamaan dengan kejujuran dan amanahnya.” (Adz-Dzahabi: Tadzkirotul Huffazh, 3/85). Di kesempatan lain, adz-Dzahabi mengatakan, “Dia adalah imam, al-hafizh, seorang pengembara dalam ilmu, dan seorang ahli hadits Islam. Senantiasa hadits-haditsnya diharapkan, bernilai sedekah, dan dicintai.” (Adz-Dzahabi: as-Siyar, 16/119).
Ibnul Jauzi berkata, “Atht-Thabrani termasuk salah seorang pemuka hafizh. Ia memiliki karya-karya yang bagus.” (Ibnul Jauzi: al-Hatstsu ‘ala Hifzhil Ilm wa Dzikru Kibaril Huffazh, Hal: 68). Ibnu Uqdah mengatakan, “Aku tak mengetahui ada orang yang lebih mengetahui hadits melebih ath-Thabrani. Dan juga tidak ada yang lebih hafal sanad melebihi dirinya.” (Ibnu Qathlubagha: ats-Tsiqat min man lam Yaqo’ fi Kutubis Sittah. 5/90).
Seorang Menteri Ibnu al-Amid berkata, “Aku tidak mengetahui di dunia ini ada yang lebih manis dan lebih lezat dibanding kekuasaan dan jabatan Menteri yang aku jabat sekarang sampai akhirnya aku melihat pengajian Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani dan Abu Bakr al-Ju’abi. Ath-Thabrani mengalahkan al-Ju’abi dalam banyaknya hafalan. Sementara al-Ju’abi mengalahkan ath-Thabrani dalam kecerdasannya dan kepintaran. Kemudian terjadi dialog antara mereka hingga tak diketahui mana yang lebih unggul di antara keduanya. Al-Ju’abi mengatakan, ‘Aku meriwayatkan hadits yang tidak ada orang yang meriwayatkannya di dunia ini kecuali aku’. Ath-Thabrani menanggapi, ‘Coba tunjukkan’. Al-Ju’abi mengatakan, ‘Abu Khalifah telah menyampaikan kepadaku. Sulaiman bin Ayyub telah menyampaikan kepadaku…’ Kemudian dia sampaikan isi haditsnya. Ath-Thabrani mengatakan, ‘Akulah Sulaiman bin Ayyub. Dan aku mendengar hadits itu dari Abu Khalifah’. Al-Ju’abi pun merasa malu. Ath-Thabrani mengunggulinya.” Ibnu al-Amid melanjutkan, “Aku berandai kalau saja kementrian dan jabatan ini tidak diberikan padaku. Dan aku berandai menjadi ath-Thabrani. Pastilah aku bahagia sebagaimana bahagianya ath-Thabrani karena hadits.” (Ibnu Manzhur: Mukhtashor Tarikh Dimasyqi, 10/104).
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abdurrahman mengatakan, “Ath-Thabrani sudah dikenal walaupun tidak disebut keutamaan dan kontribusinya. Ia menyampaikan hadits di Isfahan selema 60 tahun. Yang mendengar darinya adalah seorang bapak, kemudian nanti anaknya, kemudian nanti cucunya. Bahkan sampai ke cicit mereka. Ia adalah seorang yang luas ilmunya dan banyak karya tulisnya. Dan di akhir usianya ia mengalami kebutaan.” (Ibnu Qathlubagha: ats-Tsiqat min man lam Yaqo’ fi Kutubis Sittah. 5/91).
Karya-Karyanya
Ath-Thabrani melahirkan banyak karya ilmiah berupa buku-buku yang bagus dan bermanfaat. Yang paling terkenal dari karya-karyanya adalah mu’jamnya. Baik Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Awsath, dan Mu’jam ash-Shaghir (Ibnu al-Mustafi: Tarikh Irbil, 2/53). Dalam Mu’jam al-Awsath-nya ia mengatakan, “Buku ini adalah ruhku.” Karena begitu lelahnya ia dalam menyelesaikannya. Karyanya yang lain adalah pembahasan tentang Kitab ad-Du’a, Kitab ‘Isyratin Nisa, Kitab al-Manasik, Kitab al-Awail, Kitab as-Sunnah, Kitab an-Nawadir, Musnad Abu Hurairah, Kitab at-Tafsir, Kitab Dala-il an-Nubuwah, Musnad Syu’bah, Musnad Sufyan, Kitab Hadits asy-Syamiyyin, dll (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 8/144).
Wafat
Setelah perjalanan panjang mencari hadits, Imam ath-Thabrani bermukim di Kota Isfahan. Ia menghabiskan sebagian besar usianya di kota Persia itu. Hingga ia wafat di kota itu pada tahun 360 H/971 M. Saat itu usianya kurang lebih 100 tahun (Ibnu Khallikan: Wafayat al-A’yan, 2/407). Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas.