Kisah Hidup Syaikh al-Albani, Pakar Hadits Abad Ini (1/2)
Kali ini, kita membuka lembaran kisah tentang seorang pakar ilmu hadits. Seorang yang menghidupkan Sunnah Nabi, membelanya, dan menghibahkan usia untuknya. Ia habiskan hari-hari untuk membela Sunnah dari para pengikut hawa nafsu dan pembuat ajaran baru. Sosok ulama hadits dalam arti yang sebenarnya terperankan oleh dirinya. Dialah Syaikh al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Yang lebih kita kenal dengan Syaikh Nashiruddin al-Albani.
Nasab Syaikh al-Albani
Nama beliau adalah Muhammad bin Nuh bin Adam bin Najati al-Albani. Ia dilahirkan para tahun 1332 H/1914 M di Kota Shkodër, ibu kota Albania kala itu. Allah menganugerahkannya nikmat lahir di lingkungan keluarga yang taat dan akrab dengan ilmu agama. Ayahnya, Nuh bin Adam, merupakan alumni al-Ma’had asy-Syar’iyah di ibu kota Daulah Utsmaniyah, Istanbul. Setelah menyelesaikan pendidikan di sana, sang ayah kembali ke Albania. Berkhidmat kepada umat dengan mengajarkan mereka agama. Sampai akhirnya ia dikenal sebagai ulama besar Albania dan rujukan kaum muslimin di negeri Balkan itu (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 44).
Hijrah ke Negeri Syam
Pada tahun 1922-1939, Albania dipimpin oleh seorang raja sekuler yang mengidolakan modernitas ala Eropa. Namanya Ahmad Mukhtar Zogoli atau Zog I atau Zogu. Di dua tahun pertama kekuasaannya, ia mulai mengubah Albania Islam menjadi lebih beraroma barat sekuler. Ia meniru langkah Kemal Ataturk dalam me-westernisasi Turki dan menyingkirkan Kerajaan Ottoman pada tahun 1343 H/1924 M. Zogu menyusun undang-undang sekuler untuk masyarakat Albania. Ia tetapkan aturan yang memaksa muslimah melepaskan hijabnya. Mewajibkan militer memakai topi dan celana panjang ala Eropa. Dan segala sesuatu yang berbau Arab diganti dengan kultur barat.
Menariknya, langkah sekulerisasi di berbagai negeri, mirip bahkan tak jauh berbeda sehingga mudah terbaca. Segala sesuatu yang berbau Arab diganti atas nama nasionalisme dan menjaga budaya lokal. Syariat dianggap adat, kemudian dilarang mengamalkannya.
Sekulerisasi yang dilakukan Zogu membuat ayah Syaikh al-Albani mengambil sikap. Ia khawatir agamanya dan anggota keluarga rusak gara-gara terhembus korosit sekuler. Ia berazam untuk hijrah ke negeri Islam yang lebih menangkan hati. Dibawanyalah anggota keluarganya menuju Syam. Tepatnya di ibu kota Suriah, Damaskus. Saat itu al-Alabani baru berusia 9 tahun.
Mengkaji Ilmu
Al-Albani kecil baru saja tiba di salah satu negeri Arab. Anak Eropa ini sama sekali tidak mengetahui bahasa masayarakat padang pasir itu. Ia pun mulai mempelajari bahasa ini di Madrasah al-Is’af al-Khoriyah. Kemudian pindah ke sekolah lain di Pasar Sarujah, Damaskus, karena sekolah pertamanya itu mengalami musibah kebakaran. Di tempat ini, al-Albani menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya dalam masa 4 tahun. Rasa cintanya terhadap bahasa Alquran ini kian berbinar di hati. Kemahirannya diakui dan mengalahkan teman-temannya, anak-anak Suriah asli.
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, al-Albani yang berasal dari Albania tidak mengetahui sama sekali tentang bahasa Arab. Namun ia bisa mahir memahami bahasa itu. Bahkan di kemudian hari menjadi seorang ahli hadits. Anda yang ingin mempelajari bahasa Arab jangan patah semangat dan mundur menyerah. Tidak kurang dari 1.495 kata bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab. Artinya, kita masyarakat Indonesia ‘tidak buta-buta amat’ tentang bahasa Arab.
Al-Albani kecil telah tumbuh remaja. Ia mulai menemukan kegemaran lain pada dirinya. Yaitu membaca. Namun selera membacanya masih begitu umum. Ia suka membaca Syair-syair Antharah bin Syaddad. Kisah detektif Arsene Lupin. Dan kisah-kisah detektif lainnya (Ahdats Mutsirah fi Hayati asy-Syaikh al-Alamah al-Albani oleh Muhammad Shalih al-Munajjid, Hal: 9). Inilah perjalanan awal kehidupan al-Albani dalam dunia membaca dan menimba ilmu.
Seiring berjalannya waktu, konten bacaan al-Albani pun berubah. Dari bacaan masyarakat awam beralih memperdalam ilmu agama. Hal itu bermula ketika sang ayah melihat sesuatu yang buruk –dari sisi agama- di sekolah negeri. Ayah al-Albani pun memutus sekolah putranya. Ia menyediakan waktu khusus untuk mendidik anaknya dengan pelajaran Alquran, tauhid, sharf, dan fikih Madzhab Hanafi (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 9).
Ada saja jalan yang Allah ﷻ takdirkan bagi mereka yang Dia kehendaki kebaikan. Memalingkan mereka dari yang tidak bermanfaat menuju kepada yang manfaat. Dan kebaikan yang paling baik adalah memahami dan mengamalkan agama ini.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 71, 3116, 7312), Muslim (no. 1037), Ahmad (IV/92, 95, 96), dll).
Selain belajar dengan sang ayah, al-Albani juga belajar dari banyak guru dan ulama yang merupakan kolega ayahnya. Seperti: mengkaji kitab fikih Hanafi, Muraqi al-Falah Syarh Nur al-Idhah bersama Syaikh Muhammad Said al-Burhani. Mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama bersama Syaikh Izuddin at-Tanukhi (Shafahat Baidha min Hayati al-Albani oleh Athiyah Audah, Hal: 22, 71-72).
Ulama Pun Bekerja Mencari Nafkah
Sambil menyibukkan diri dengan ilmu agama, al-Albani meluangkan sebagian waktunya untuk menghidupi diri. Tentu ini langkah yang bijaksana. Agar di kemudian hari, ketika terjun di dunia dakwah, ia tidak menjadikan dakwah sebagai sumber mata pencariannya.
Tukang Kayu
Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh al-Albani adalah menjadi tukang kayu. Ia bekerja dengan pamannya dan seorang warga Suriah yang dikenal dengan Abu Muhammad. Pekerjaan ini ia geluti selama dua tahun. Kemudian karena dirasa melelahkan, menghabiskan banyak waktu dan tenaga, al-Albani pun meninggalkan pekerjaan ini.
Reparasi Jam
Di musim panas, tukang kayu tidak mendapat pekerjaan. Pada waktu itu, al-Albani lewat di depan toko ayahnya. Sang ayah sedang mereparasi jam. Ayahnya menyarakannya agar ia memanfaatkan waktu dengan mereparasi jam. Ia pun menerima saran sang ayah. Profesi baru itu ia jalani dengan sungguh-sungguh, hingga ia terkenal sebagai tukang reparasi jam yang handal.
Profesi baru ini tidak memakan banyak tenaga dan waktu. Sehingga waktu-waktunya bisa ia sibukkan dengan belajar agama (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 48).
Mempelajari Ilmu Hadits
Pada saat menginjak usia 20 tahun, al-Albani mulai menyukai ilmu hadits. Ia terinspirasi dari kajian hadits di Majalah al-Manar yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah.
Syaikh al-Albani menceritakan bahwasanya ia tertarik membaca riwayat-riwayat sejarah. Suatu hari, ia melihat di tumpukan buku seorang pedagang buku, satu pembahasa dari Majalah al-Manar. Ia baca komentar Syaikh Rasyid Ridha terhadap buku Ihya Ulmuddin yang ditulis oleh Imam al-Ghazali rahimahullah. Dalam pembahasan tersebut Syaikh Rasyid Ridha mengutip komentar al-Hafizh al-Iraqi terhadap Ihya Ulumuddin. Al-Iraqi mengomentari dan memilah mana hadits yang shahih dan mana yang dhaif. Kemudian mengumpulkannya dalam al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij ma Fi al-Ihya mi al-Akhbar.
Karya al-Iraqi ini menarik perhatian al-Albani. Ia pun mengadakan kajian hadits terhadap kitab tersebut. Sebuah kajian yang memberinya jalan memperdalam ilmu-ilmu lainnya. Seperti: ilmu bahasa, balaghah, gharib al-hadits, dll. Itulah kajian ilmiah pertamanya dalam bidang hadits. Kajian ini bagai candu yang membuat al-Albani terus bersemangat meniliti hadits-hadits lainnya.
Bagi al-Albani, ilmu hadits menjadi jalan yang membuka cabang-cabang keilmuan lainnya. Dan ia terus mengenang Syaikh Rasyid Ridha sebagai wasilahnya dalam mempelajari ilmu hadits.
Sumber:
– islamstory.com/ar/islamstory.com/ar/