Kehidupan Ulama Rabbani, Syaikh Ibnu Baz (3/3)
Salah satu ujian terberat orang yang berilmu adalah bujuk rayu ketenaran. Mengharap penghormatan. Dan merasa lebih dari yang lain. Para salaf sangat benci ketenaran dan menghindarinya. Kepribadian ini kita jumapi juga pada diri Syaikh Ibnu Baz.
Membenci Pujian
Al-alamah Ibnu Baz membenci pujian dan sanjungan. Ia tidak suka orang-orang membacakan syair pujian untuknya. Ia tegur orang yang membacakan syair padanya. Ada juga yang mengirim surat untuknya dibuka dengan puja-puji. Ia katakana, “Tinggalkan (tak usah baca) bagian pengantarnya. Langsung saja baca inti surat itu. Aku tidak suka mendengar pujian”. Air muka beliau berubah kala mendengar pujian. Sering beliau berucap ketika mendengarnya, “Allahul musta’an (Allah tempat meminta pertolongan). Allahu yatub ‘alaini jami’an (semoga Allah menerima taubat kita semua). Wa yusta’miluna wa iyyakum fima yurdhihi (semoga Allah menunjuki saya dan Anda semua pada apa yang diridhai Allah)”.
Pernah ada seorang kaya datang ke majelis Syaikh Ibnu Baz. Orang tersebut berbicara tentang nikmat yang ia punya. Ia bercerita bahwa dirinya adalah pebisnis. Propertinya senilai 45juta Riyal. Syaikh langsung mengomentari, “Engkau sudah memiliki 45 juta, apalagi yang kau tunggu? Jual itu dan sumbangkan untuk kebaikan. Jika tidak, berikan saja padaku. Aku akan menyalurkannya pada kegiatan yang baik”. Dan orang tersebut pun diam.
Kedermawanan Syaikh Ibnu Baz tidak hanya pada harta dan hal-hal yang bersifat materi. Beliau juga dermawan pada waktunya. Waktunya dipergunakan untuk kebaikan umat. Siapapun yang mengucapkan salam menyapanya, akan beliau undang makan di rumah. Tidak ada kekhawatiran dan prasangka buruk dengan orang tersebut. Beliau memerintahkan pegawai di rumahnya agar membeli sesuatu dengan kualitas terbaik dari pasar: buah, sayuran, makanan, dan kurma. Sehingga meja makannya dipenuhi hidangan terbaik untuk orang-orang yang ia undang makan.
Pergaulan Dengan Masyarakat
Semua orang yang hadir di majelis Ibnu Baz, pasti beliau undang untuk makan bersama. Ia bukanlah orang yang biasa menikmati makanannya seorang diri. Kecuali saat berbuka puasa, beliau makan sebentar kemudian melanjutkan kegiatan.
Tidak pernah tersirat perasaan sempit dan berat di hatinya dengan kunjungan orang-orang. Kapanpun dan berapapun jumlah mereka tidak masalah. Dalam satu kesempatan menjelang buka puasa Ramadhan, hampir 50 orang datang ke jamuannya. Beliau sambut tamu-tamu itu dengan hangat. Tidak ada rasa sempit karena kehadiran mereka.
Kadang gajinya habis karena kedermawanannya. Bahkan beliau sampai berhutang karena banyaknya tamu yang datang untuk dijamu. Namun beliau tidak pernah merasa berat dan menggerutu.
Dalam sebuah rubrik Ramadhan di sebuah surat kabar, Prof. Yunahar Ilyas, ketua pimpinan pusat Muhammadiyah dan wakil ketua umum MUI pusat, juga pernah mengisahkan kekagumannya dengan cara Syaikh Ibnu Baz menjamu tamunya. Beliau lihat sosok ulama dan pejabat tinggi negara yang begitu rendah hati dan membaur dengan masyarakat umum.
Bersama Keluarga
Hindun binti Abdul Aziz al-Baz bercerita tentang sosok ayahnya di tengah-tengah keluarganya:
Dengan kesibukan dan padatnya rutinitas, Syaikh Ibnu Baz tidak melupakan keluarganya. Ia duduk bersama keluarga dengan penuh cinta. Menjawabi pertanyaan mereka dengan lapang dada.
Beliau orang yang sangat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam jadwal menginap. Dan senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Tidak pernah sama sekali beliau meninggikan suara di tengah-tengah kami. Tidak pernah. Ia juga tidak pernah marah kecuali jika ada anak-anaknya yang tidak sempurna dalam penunaian shalat. Atau mengakhirkan dari waktunya. Dan hal-hal lain terkait permasalahan akhirat.
Apabila beliau bersafar ke Mekah atau Thaif, tidak lupa beliau menelpon keluarganya. Memberi kabar kepada mereka. Bertanya tentang keadaan semua anggota keluarga hingga ke cucu-cucunya. Beliau adalah orang yang baik dan sangat penyayang, semoga Allah menyayanginya.
Salah seorang saudaranya yang paling ia perhatikan adalah Muhammad rahimahullah. Ia sering ngobrol dengannya, mereka dekat, dan ayah suka mengunjunginya.
Hal yang menarik dan mungkin bisa kita tiru di rumah, Syaikh Ibnu Baz membuat majelis pengajian khusus untuk anggota keluarga. Untuk anak-anak perempuan ada pengajian dua kali sebulan. Demikian juga untuk anak laki-laki. Anak-anaknya membaca, kemudian beliau memberi penjelasan. Kadang beliau mendengar pendapat-pendapat mereka. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhirnya beliau sangat tersibukkan dengan tugasnya. Lalu jadwal tersebut tidak lagi terjadwal runut. Kegiatan pengajian di rumah biasanya dimulai setelah ayah pulang dari masjid seusai maghrib, kemudian shalat sunah di rumah. Sambil menikmati kopi, beliau memulai pengajian.
Beliau menyampaikan nasihat-nasihat yang melembutkan hati. Dan terkadang dengan penyampaian tidak secara langsung. Misalnya, beliau pernah menasihati salah seorang putrinya, “Orang-orang mengatakan, tidak ada paduan yang lebih enak daripada makan kurma sambil minum kopi. Engkau, anakku, bagaimana pendapatmu?” Anaknya menjawab dengan contoh serupa, perpaduan makanan dan minuman. Lalu beliau menyanggahnya, “Tidak. Bukan itu yang kumaksud. Tidak ada perpaduan yang lebih baik kecuali berpadunya iman dan amal shaleh”.
Sampai hal seperti ini pun beliau perhatikan. Beliau biasakan anak-anaknya dengan paradigma akhirat. Syaikh sering mengingatkan agar anak-anaknya memadukan iman dan amal shaleh. Karena dua hal itu sebab sukses dan berhasilnya seseorang di akhirat kelak.
Beliau juga pernah bertanya pada putrinya yang sedang duduk di bangku SMA. Ia berkata, “Adakah faidah dari pelajaran atau buku yang mau kau bacakan untukku?” Saat itu putrinya sedang memegang buku Fisika. Lalu ia membacakan kepada ayah kami muqaddimah dari buku itu, “Dari mataharilah kehidupan kita. Kalau bukan karena matahari, tidak akan tumbuh tanaman. Dan tidak akan turun hujan”.
Ayah bertanya, “Apakah kalimat itu benar-benar tertulis dalam buku?” Kemudian ia perintahkan anaknya untuk mengambil kertas, dan mengatakan, “Tulislah! Sesungguhnya matahari diciptakan oleh Allah. Dialah yang menundukkan matahari untuk hamba dan negeri-negeri. Ia merupakan di antara makhluk Allah. Tidak boleh menisbatkan pada matahari dan selainnya sebagai sebab tumbuhnya tanaman dan turunnya hujan. Ini adalah kesyirikan”. Kemudian beliau membaca ayat:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (QS:An-Nahl | Ayat: 12).
Kemudian ia menyurati kepala sekolah madrasah perempuan agar memperhatikan kurikulum. Dan menunjuk seorang yang berilmu untuk mengoreksi buku-buku. Beberapa waktu berlalu, buku-buku pun mengalami perubahan. Dan penerbit mengutip kalimat Syaikh Ibnu Baz sebagai pengantar.
Menghafal dan Mengulangi Pelajaran
Syaikh Ibnu Baz adalah seorang pakar dalam ilmu hadits. Beliau menghafal kutubus sittah (enam buku utama yang memuat hadits-hadit Nabi): Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Tidak hanya menghafal haditsnya, beliau juga menghafal periwayat-periwayatnya dan ilal (sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadist).
Masya Allah, Shahih al-Bukhari saja terdiri dari ratusan hadits. Dalam kekurangannya beliau bisa menghafal itu semua. Ditambah kitab-kitab hadits selain Shahih al-Bukhari beserta nama-nama periwayatnya. Oleh karena itu, sebelum menjadi Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, pernah bertemu dan mencium kening Syaikh Ibnu Baz. Ia menceritakan kekagumannya akan hafalan Syaikh Ibnu Baz di tengah kekurangannya (buta).
Salah seorang pelajar hadits pernah menyebutkan sanad sebuah hadits bahwa hadits tersebut ada dalam Sunan ad-Daruquthni. Lalu Syaikh berkomentar, “Menurutku, ini bukanlah rijal-nya ad-Daruquthni”. Muridnya pun mengoreksi, “Iya Syaikh, ini ternyata rijal-nya ad-Darimi. Bukan ad-Daruquthni”. Ini menunjukkan detilnya hafalan beliau.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahumallah pernah mengatakan, “Syaikh Ibnu Baz melebihi kami dalam hadits. Beliau lebih mengetahui rijal-rijalnya dan ilal-ilalnya. Juga shahih dan dhaifnya.
Wafatnya Sang Ulama Rabbani
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah wafat pada tahun 1420 H. Jenazah beliau dishalatkan di Masjid al-Haram. Hampir satu juta orang hadir menyalatkan jenazahnya. Kaum muslimin sangat bersedih dengan kepergian beliau. Semoga Allah merahmati dan mengampuninya. Dan menempatkannya di kedudukan yang tinggi. Serta membalas jasa-jasanya dengan balasan kebaikan.