Kehidupan Ulama Rabbani, Syaikh Ibnu Baz (1/3)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah atau lebih dikenal dengan Syaikh Ibnu Baz adalah sosok ulama Rabbani dalam arti sebenarnya. Beliau adalah teladan dalam ilmu dan amal. Ia dicintai berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Bahkan orang-orang yang memusuhi pemikirannya pun kagum dengannya. Dan tidak jarang berkonsultasi tentang suatu permasalahan kepada beliau.
Dalam satu kesempatan, putri beliau, Hindun binti Abdul Aziz al-Baz berkisah tentang kehidupan sang ayah. Sebelum bercerita tentang ayahnya, wanita yang bergelar doktor ilmu syariat dan dosen syariah di Universitas Imam Muhammad bin Suud ini, membuka pembicaraan dengan menyebutkan keutamaan para ulama dan pentingnya mengetahui perjalanan hidup mereka.
Siapakah Ibnu Baz?
Nama beliau adalah Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz. Dilahirkan di Riyadh tahun 1330 H. Ia lahir dalam keadaan yatim. Dan diasuh oleh sang ibu yang sangat perhatian padanya. Ibunya selalu menungguinya pulang dari masjid. Kemudian memberi motivasi untuk menghadiri pelajaran. Wejangan sang ibu begitu membekas pada Ibnu Baz kecil. Pernah, di suatu hujan yang amat lebat, Ibnu Baz tetap hadir di kelas. Tidak ada siswa lain selain dia.
Saat berusia 15 tahun, indera penglihatannya mulai melemah. Sampai akhirnya buta total di usia 20 tahun. Musibah yang menimpa Ibnu Baz membuat ibunya bersedih. Ia menangis tatkala ada tetangga yang datang mengunjunginya. Tetangga itu menasihati agar si ibu shalat dua rakaat. Setelah itu berdoa kepada Allah, meminta pada-Nya anugerah bashirah (ilmu) sebagai ganti penglihatan anaknya. Meminta agar Allah menjadikan putranya ulama umat ini. Semoga Allah merahmati dua wanita ini.
Mengisi Hari dengan Ilmu dan Amal
Selama beberapa tahun, Ibnu Baz terlihat selalu bersama Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu asy-Syaikh, Grand Mufti Kerajaan Arab Saudi. Kebersamaan itu sangat berpengaruh terhadap cakrawala keilmuan Ibnu Baz. Ia belajar akidah, fikih, hadits, dan ilmu lainnya dari Syaikh Ibrahim. Sang mufti adalah guru yang paling dekat di hatinya dan paling berpengaruh pada jiwanya. Apabila bercerita tentang Syaikh Ibrahim, Syaikh Ibnu Baz hanya mampu menangis. Ia tak sanggup bercerita tentang sang guru.
Selain belajar bersama guru, Syaikh Ibnu Baz juga pandai menata waktu. Ia dikenal sebagai orang yang sangat luar biasa dalam menjaga detik demi detik guliran hari. Waktunya hanya diisi dengan ibadah, bekerja, dan berkhidmat kepada umat. Inilah rutinitas hariannya. Beliau bangun satu jam sebelum subuh. Kemudian shalat tahajjud 11 rakaat. Saat adzan subuh berkumandang, ia bangunkan seluruh penghuni rumahnya. Tidak seorang penghuni rumah pun yang luput.
Setelah menunaikan shalat subuh, ia berdzikir. Kebiasaan yang sama sekali tidak pernah ia tinggalkan. Barulah setelah itu ia memulai majelisnya hingga 3 jam kedepan. Sebuah majelis pengajian yang rutin diadakan 3 kali dalam sepekan. Seusai majelis, beliau pulang ke rumah dan beristirahat 30 menit. Kemudian berangkat ke kantornya, Lajnah al-Ifta (lembaga fatwa).
Di hari-hari lainnya, seusai subuh, Syaikh Ibnu Baz mengisi waktu dengan membaca di perpustakaan rumahnya. Kemudian istirahat sebentar sebelum berangkat ke Lajnah al-Ifta. Dalam perjalanan menuju kantor, murid-muridnya membacakan buku-buku dan makalah ilmiah. Pukul 2:30 siang, beliau pulang ke rumah dan berjumpa dengan orang-orang yang ingin menemuinya. Beliau makan siang bersama mereka, kemudian shalat ashar bersama.
Setelah ashar, kembali murid-muridnya membacakannya sebuah buku, seperti Kitab al-Arba’in an-Nawawiyah, dll. Lalu ia memberikan ta’liq (komentar) terhadap buku-buku tersebut. Kemudian beliau beristirahat selama satu jam. Mungkin, inilah satu-satunya waktu istirahat beliau. Seusai menunaikan shalat maghrib, Syaikh Ibnu Baz menjawab pertanyaan lewat telepon. Ba’da isya, terkadang ada pertemuan atau muhadharah. Jika tidak, beliau dibacakan buku di perpustakaan rumahnya. Atau bertemu dengan orang-orang yang memiliki keperluan, lalu makan malam bersama mereka. Syaikh sangat serius memperhatikan orang yang meminta bantuan kepadanya. Beliau tidak masuk ke kamarnya kecuali pukul 11 malam. Terkadang lebih.
Inilah rutinitas harian Syaikh Ibnu Baz. Setiap hari sepanjang tahun. Hingga beliau wafat.
Rutinitas Tanpa Mengenal Libur
Syaikh Ibnu Baz bekerja selama 60 tahun. Dalam rentang waktu itu, beliau belum pernah mengambil cuti. Beliau tetap bekerja walaupun saat itu hari libur. Bahkan, di hari-hari libur, kadang beliau lebih sibuk.
Beliau bukanlah sosok high profile, walaupun ia seorang pejabat negara. Beliau juga tidak suka ketenaran dan mencari-cari kemuliaan. Bagi orang-orang yang ingin terkenal, tinggi, dan terpandang di hadapan khalayak, beliau mengomentari orang-orang demikian dengan canda, ‘Siapa yang ingin tinggi dipandang orang, naik saja ke atas loteng. Itu cukup insya Allah’.
Hari-harinya hanya ia isi dengan perjuangan dan memenuhi maslahat kaum muslimin.
Safar
Dalam perjalanan safar, Syaikh tidak mengisi waktunya dengan tidur dan ngobrol tak berarti. Saat menempuh perjalanan dengan mobil atau dengan pesawat, beliau meminta dibcakan makalah ilmiah atau buku-buku. Jika tidak beliau membaca Alquran dari hafalannya. Dan beliau juga bersemangat mendengar kabar kaum muslimin.
Syaikh Abdurrahman ad-Dayil menceritakan:
Dulu kami pernah serombongan bersafar dengan al-Allamah asy-Syaikh Ibnu Baz untuk berceramah di suatu daerah antara Jedah dan Madinah. Lalu Syaikh meminta salah seorang di antara kami membaca untuk beliau. Orang-orang mengatakan, “Syaikh, bagaimana kalau sekali ini saja kita tidak membaca? Kita merenungkan tentang ciptaan-ciptaan Allah. Dan menikmati perjalanan”.
Syaikh menjawab, “Ya Allah berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Syaikh Ibrahim (salah seorang anggota safar pen.) akan membaca. Dan engkau merenungkan ciptaan-ciptaan Allah. Setelah Syaikh Ibrahim selesai membaca, aku akan mengulanginya untukmu. Dan gantian Syaikh Ibrahim yang merenungkan ciptaan-ciptaan Allah.”
Bersungguh-Sungguh Dalam Setiap Kesempatan
Meskipun Syaikh Ibnu Baz sibuk, banyak orang-orang yang datang hendak bertemu, dan telpon yang tak berhenti berdering, beliau tetap meluangkan waktu melayani pertanyaan. Syaikh Muhammad Musa pernah menghitung, setelah maghrib Syaikh Ibnu Baz menjawab 60 pertanyaan. Sedangkan setelah subuh, beliau melayani setidaknya 40 pertanyaan.
Waktu beliau sangat berkah. Beliau pernah meminta dibacakan sebuah buku di pesawat dari Thaif menuju Riyadh. Terbacalah 60 halaman kitab I’lamul Muwaqqi’in. Padahal saat itu beliau dalam kondisi capek dan ditambah usia yang sudah lanjut. Permintaan membaca buku biasa dilakukan saat kondisi beliau baik. Dan mendengarkan bacaan itu membuat beliau merasa nyaman. Kemudian mampu melanjutkan aktivitasnya.
Sumber: http://mobile.twasul.info/401172/