Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi Sang Pemburu Hadis
Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi
Tercantum dalam biografi seorang hafizh dan ahli Maqdisi. Lahir di Baitul Maqdis tahun 448 H, dan wafat tahun 507 H. Tercantum pula dalam biografinya yang terlampir di akhir-akhir kitabnya Al-Jam’u Baina Rijalish Shahihain, Hal. 633, sebagai berikut:
As-Sam’ani menuturkan, “Aku mendengar beberapa Syaikh berkata, ‘Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi pernah berjalan dalam satu malam hampir sejauh 17 farsakh. Biasanya ia berjalan dalam sehari semalam sejauh 20 farsakh. Ia mengikuti madzhab Dawud – yakni madzhab zhahiriyah –. Ia adalah salah seorang pengembara yang mencari hadis.
Ia mengambil hadis di Mesir, perbatasan-perbatasan dan kota-kota di Syam, Hijaz, Jazirah, Irak, Persia, Khurasan, Iskandaria, Tunis, Baitul Maqdis, Damaskus, Halb, Mekah, Baghdad, Ashbahan, Jurjan, Amid, Naisabur, Herat dan Marwa. Menurutku tak ada seseorang yang melakukan pengembaraan pada masanya seperti pengembaraannya. Ia telah menulis banyak kitab, karya-karya besar, musnad-musnad dan juz-juz yang berserakan’.”
Al-Hafizh As-Silafi menuturkan, “Aku mendengar Al-Hafizh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, ‘Aku telah menulis Shahihul Bukhari, Shahih Muslim dan Shahih Abu Dawud tujuh kali dengan mendapat upah. Aku juga telah menulis Sunan Ibnu Majah sepuluh kali dengan mendapat upah, selain yang terpisah-pisah di Rayy’.”
Muhammad bin Thahir berkata, “Aku pernah kencing darah dalam mencari hadis dua kali; sekali di Baghdad dan sekali di Mekah. Pasalnya, aku berjalan tanpa alas kaki di bawah terik matahari, sehingga hal itu menimpaku! Aku tidak pernah mengendarai hewan tunggangan dalam mencari hadis, kecuali hanya sekali. Aku memanggul sendiri kitab-kitabku di atas punggungku, sampai aku bermukim di suatu kota. Selama mencari hadis, aku tidak pernah meminta-minta kepada seorang pun. Aku hidup dari apa yang aku dapatkan, tanpa meminta-minta.
Aku telah melakukan perjalanan dari Thus ke Ashbahan demi mendapatkan hadis Abu Zur’ah Ar-Razi, yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Ash-Shahih. Beberapa ahli hadis mengingatkanku tentang hadis Abu Zur’ah itu pada malam hari. Ketika pagi hari tiba, aku menyiapkan untaku, lalu aku pergi ke Ashbahan. Aku terus memburu hadis Abu Zur’ah itu, hingga aku bertemu dengan Syaikh Abu Amru. Kemudian aku belajar hadis Abu Zur’ah itu kepada Syaikh Abu Amru yang bersumber dari bapaknya, dari Abu bakar Al-Qaththan, dari Abu Zur’ah. Abu Amru memberikut tiga potong roti dan dua biji jambu. Pada malam itu, aku memang tidak mempunyai makanan. Hanya itu makananku. Kemudian aku bermulazamah kepada Abu Amru, sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Setelah itu, aku berangkat ke Baghdad. Ketika kau kembali ke Ashbahan lagi, Syaikh Abu Amru telah wafat, semoga Allah merahmatinya.
Suatu hari aku belajar satu juz kitab kepada Abu Ishaq Al-Jabbal di Mesir. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berasal dari kotaku datang dari Baitul Maqdis menemuiku. Ia membisikiku, ‘Saudaramu telah tiba di Syam.’ Itu terjadi setelah orang-orang Turki masuk ke Baitul Maqdis dan membunuh banyak orang. Aku terus membaca, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku selalu salah dalam membaca. Maka, Abu Ishaq bertanya kepadaku, ‘Ada apa denganmu?’ ‘Baik-baik saja.’ Jawabku. Ia berkata, ‘Kamu harus memberitahuku apa yang dibisikkan oleh laki-laki itu kepadamu.’ Aku pun berterus-terang kepada Abu Ishaq. Ia bertanya, ‘Berapa lama kamu tidak bertemu dengan saudaramu?’ Kujawab, ‘Bertahun-tahun.’ Ia bertanya lagi, ‘Lalu mengapa kamu tidak pernah menemuinya?’ Kujawab, ‘Aku akan menemuinya setelah menyelesaikan satu juz ini.’ Ia pun berkomentar, ‘Betapa besarnya kegigihan kalian, wahai ashabul hadis. Majelis telah selesai. Semoga Allah mencurahkan shalawat kepada Muhammad.’ Kemudian Abu Ishaq pergi.
Aku bermukim di Tunisia beberapa waktu untuk belajar kepada Abu Muhammad bin Haddad dan kawan-kawannya. Aku mengalami kesulitan hidup, uangku tidak ada yang tersisa selain satu dirham. Pada hari itu aku butuh roti dan kertas untuk menulis. Aku bingung, jika uang itu kubelikan roti, maka aku tidak bisa membeli kertas. Sebaliknya, jika uang itu kubelikan kertas, maka kau tidak bisa membeli roti. Kondisi seperti ini berlangsung selama tiga hari tiga malam, akhirnya, aku tak makan apa-apa (memilih membeli kertas).
Di pagi hari yang keempat, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Kalau aku mempunyai kertas, maka aku takkan mampu menulis apa pun karena aku kelaparan.’ Akhirnya, aku meletakkan uang satu dirham itu di mulutku. Aku keluarkan untuk membeli roti. Uang satu dirham itu tertelan olehku (karena telah dibelikan roti). Aku pun tertawa. Aku bertemu dengan Abu Thahir bin Khaththab Ash-Shaigh Al-Mawaqiti di Tunisia pada saat aku tertawa. Ia bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa?’ Kujawab, ‘Baik-baik saja.’ Ia terus mendesakku, tapi aku tetap menolak untuk memberitahukannya. Maka, ia bersumpah seraya berkata, ‘Katakanlah dengan jujur, mengapa kamu tertawa?’ Karena terdesak, aku pun berterus-terang kepadanya. Kemudian ia menggandengku dan membawaku ke rumahnya. Ia menjamin makananku pada hari itu.
Di waktu Zuhur, aku keluar untuk menunaikan shalat zuhur bersama Abu Thahir. Ia dikerumuni oleh para pembantu seorang pembesar di Tunisia bernama Ibnu Qadus. Ibnu Qadus menanyakan kepada Abu Thahir tentang diriku. Abu Thahir menjawab, ‘Ini dia orangnya.’ Ibnu Qadus berkata, “Tuanku –yakni pemimpin Tunisia– memerintahkan diriku untuk memberinya uang 10 dirham yang nilainya setara seperempat dinar setiap harinya, tetapi aku lupa.’ Ibnu Qadus pun mengambil uang 300 dirham, lalu mendatangiku seraya berkata, ‘Allah telah memudahkan suatu rezeki yang tak terduga sebelumnya.’ Kemudian ia menceritakan kisahnya. Kukatakan, “Tolong simpankan uang itu di rumahmu. Kita tetap berkumpul sampai saatnya aku harus pergi. Aku ini sendirian. Tiada orang yang mengurusi urusanku.’ Maka ia melakukannya. Setelah itu, ia memberiku uang sejumlah tersebut sampai aku berangkat ke Syam.”
Demikianlah lembaran-lembaran atau petikan-petikan sejarah para ulama, serta berbagai kesulitan, kesengsaraan dan kelelahan yang mereka pikul demi mendapatkan ilmu. Demi ilmu mereka rela mengorbankan darah dan nyawa, sebagaimana telah kita lihat bersama. Mereka rela bersabar dengan kesabaran yang luar biasa sampai mereka mendapatkan ilmu. Mereka adalah para imam pembimbing bagi generasi setelah mereka. Semoga Allah merahmati dan meridhai mereka semuanya.
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam Zam, Cetakan:1:2008