Ibunda Urwah bin Zubair (Bagian 1)
Ibunda Urwah bin Zubair
Pernahkah pembaca mendengar kisah hidup Urwah bin Zubair?
Dialah tokoh kenamaan yang dikelilingi oleh tokoh-tokoh pilihan. Ayahandanya adalah
Zubair bin Awwam, pembela Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira akan masuk jannah. Sedangkan saudara kandungnya adalah Abdullah bin Zubair, seorang pahlawan Islam yang masih masuk dalam kategori sahabat Nabi dan masuk dalam kategori ulama. Kakaknya ini adalah bayi pertama yang lahir di bumi hijrah (Madinah).
Urwah tidak seberuntung kakaknya yang sempat melihat Nabi, karena selisih umurnya sekitar 20 tahun, sehingga beliau tidak berkesempatan bertemu dengan Nabi. Beliau harus rela menjadi
tabi’in bukan sahabat. Tepi bukan
tabi’in biasa. Beliau termasuk salah satu dari tujuh
fuqaha Madinah yang terkanal keilmuan, kezuhudan, dan ketakwaannya. Merekalah yang menjadi penasehat pribagi Umar bin Abdul Aziz tatkala menjabat sebagai gubernur Madinah.
Yang paling membanggakan, Allah menakdirkan ia lahir dari rahim seorang shahabiah ternama, Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq – yang digelari Dzatun Nithaqain. Urwah kecil dibesarkan dalam nuansa yang sarat dengan nilai-nilai ketakwaan, keilmuan, dan akhlak yang mulia.
Ya, dari keluarga Abu Bakar yang penuh berkah itu.
Asma’ adalah shahabiah yang terkenal keilmuan dan ketakwaannya. Pengorbanannya yang luar biasa dalam menyukseskan hijrah Rasulullah, dan wanita inilah yang akan kita bahas selanjutnya.
Bibinya ialah Ummul Mukminin Aisyah, wanita paling brilian dalam sejarah manusia. Kakeknya ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah dan sahabat karibnya di dunia dan akhirat.
Allah seakan ingin mengumpulkan berkah yang bertebaran tadi dalam diri Urwah. Ahmad bin Abdillah Al-Iiji mengatakan, “Urwah bin Zubair adalah lelaki shalih yang tak pernah terlibat dalam fitnah apa pun.”
Qabishah bin Dzuaib menceritakan, “Dahulu aku dan Abu Bakar bin Abdurrahman bermajelis dengan Abu Hurairah, namun Urwah mengalahkan kita kerna ia bermajelis dengan Aisyah, manusia paling alim.”
“Dia seperti lautan yang tak pernah mengering airnya.”
“Satu dari empat orang suku Quraisy yang kudapati ilmunya seluas samudera,” kata Imam Az-Zuhri tentang gurunya yang satu ini.
Urwah bin Zubair termasuk salah seorang hafizh dan faqih. Ia menghafal hadits dari ayahnya. Ia amat rajin shaum, bahkan tatkala ajal menjemputpun ia dalam keadaan shaum. Ia mengkhatamkan seperempat Al-Quran setiap harinya. Ia selalu bangun malam dan tak pernah meninggalkannya kecuali sekali saja, yaitu malam ketika kakinya harus diamputasi.
Diamputasi..??
Ya.., saat itu para tabib telah kewalahan mengobati kanker kulit yang dideritanya. Penyakit itu menjalar dari kaki sampai ke betis. Sedikit demi sedikit kakinya mulai membusuk.
Mereka khawatir jika dibiarkan, pembusukan itu akan merebak ke seluruh kakinya bahkan ke tubuhnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengamputasi saja bagian yang membusuk tadi.
Dengan lemah lembut, mereka menawarkan kepadanya agar mau meminum khamr supaya tidak kesakitan selama proses amputasi dilakukan.
Namun, apa jawabnya?
“Tak pantas rasanya bila aku menenggak barang haram sambil mengharap kesembuhan dari Allah.”
“Kalau begitu, kami akan memberimu obat bius,” Kata para tabib.
“Aku tak ingin salah satu anggota badanku diambil tanpa terasa sakit sedikitpun, aku justru berharap pahala yang besar dari rasa sakit itu,” Tukas Urwah.
Sesaat kemudian masuklah sejumlah orang yang tak dikenalnya.
“Siapa mereka?” Tanya Urwah.
“Mereka orang-orang yang siap memegangimu, karena rasa sakitnya boleh jadi membuatmu tak sabar dan lepas kontrol,” Kata para tabib.
“Kurasa kalian tak perlu melakukannya, Insya Allah aku sanggup mengendalikan diriku,” Kata Urwah dengan tabah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Urwah akhirnya berkata pada para tabib,
“Jika memang tak ada cara lain, maka baiklah, akau akan shalat, dan silahkan tuan-tuan mengamputasi kakiku ketika itu!” Jawabnya dengan penuh keyakinan.”
Akhirnya proses amputasi dilakukan. Mereka memotong kakinya pada bagian lutut, sedangkan Urwah diam dan tak merintih sedikitpun ketika itu. Ia benar-benar tersibukkan oleh shalatnya, sampai-sampai gesekan-gesekan gigi-gigi gergaji itu seakan tak terasa olehnya, Subhanallah!
Usai pengamputasian, mereka mendidihkan minyak zaitun dan menyiram bagian yang terpotong dengan minyak tadi. Sontak Urwah pun jatuh tak sadarkan diri. Setelah siuman, ia berkata lirih sambil menyitir firman Allah berikut,
“Sungguh, kita benar-benar merasa letih karena perjalanan ini.” (QS. Al-Kahfi: 62)
Namun cobaannya tak berhenti sampai di sini. Bahkan diriwayatkan bahwa pada malam kakinya diamputasi itu, salah seorang anak kesayangannya yang bernama Muhammad, jatuh terpeleset dari atap rumah dan wafat seketika!
Para tetangga dan handai taulan pun berdatangan memberikan takziyah kepadanya. Namun orang alim ini justru memanjatkan pujian kepada Allah, “Segala puji bagi-Mu, ya Allah, mereka adalah tujuh bersaudara yang satu di antaranya telah Kau ambil, namun Engkau masih menyisakan enam bagiku. Sebelumnya aku juga memiliki empat anggota badan, lalu Kau ambil satu dari padanya, dan Kau sisakan yang tiga bagiku. Meski Engkau telah mengambilnya, namun Engkau jualah pemberinya, dan meski Engkau telah mengujiku, namun Engkau jualah yang selama ini memberiku kesehatan.”
Alangkah tabahnya beliau.
Betul-betul potret ketabahan yang luar biasa dalam sejarah manusia. Dari manakah ia mewarisi sifat tersebut?
Untuk menelusurinya, marilah kita kembali ke beberapa tahun yang silam.
Tunggu kisah selanjutnya …
Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006.