Kisah Seorang Pemimpin Ahli Hadits
Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus dalam umat ini. Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.
Di antara ulama pewaris ilmu Rasulullah tersebut adalah Al-Imam al-Bukhari. Beliau terhitung sebagai ulama ahlul hadits jajaran terdepan yang hidup pada kurun ketiga hijriyah. Sangat sulit mencari ulama yang setaraf ilmunya dengannya. Bahkan, mayoritas ulama menggelarinya sebagai imam pemimpin ulama hadits lainnya, baik pada masa hidupnya, maupun sepeninggalnya.
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah1 al-Bukhari al-Ju’fi.2 Beliau dilahirkan di Bukhara3 selepas shalat Jumat. Tepatnya pada tanggal 13 Syawal tahun 194 H. Ayah Beliau, Ismail, dikenal sebagai orang yang wara’ lagi bertakwa. Ia sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik bin Anas, serta berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubarak. Namun sayangnya, Allah tidak menghendaki ia menyaksikan tumbuh kembang putranya hingga menjadi seorang pakar hadits terkemuka. Allah mewafatkannya ketika al-Bukhari masih kecil. Sehingga tidak seperti beberapa ulama lainnya, Imam al-Bukhari tidak sempat merasakan asuhan dan bimbingan keilmuan dari sang ayah, karena statusnya yang yatim. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk menuntut ilmu. Beliau tumbuh dalam asuhan dan pengawasan ibundanya. Di sebuah sekolah di tanah kelahirannya, al-Bukhari kecil pertama kali mempelajari Alquran, disamping belajar baca tulis. Menoleh sejenak kepada awal perjalanan ilmiahnya yang begitu mengesankan, Beliau berkata, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di sekolah. Saat itu usiaku sekitar sepuluh tahun. Hingga aku keluar dari sekolah pada usia sepuluh tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Dakhili4 dan juga kepada selainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanadnya dari), ‘Sufyan, dari Abu az-Zubair dari Ibrahim….’ Aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya, Abu az-Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim.” Namun, ia menghardikku. Lantas aku katakan kepadanya, ‘Telitilah kembali kepada asalnya.’ Ia masuk rumah dan menelitinya kembali, kemudian keluar dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimanakah (penjelasan) hal itu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘(Yang dimaksud) adalah az-Zubair bin ‘Adi dari Ibrahim.’ Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya seraya berkata, ‘Engkau benar.’ Kejadian itu terjadi saat aku berusia sebelas tahun.”5 Al-Bukhari mengisahkan pula, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha di Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majelis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang di antara mereka bertanya kepadaku, ‘Berapa banyak (hadits) yang telah kau tulis hari ini?’ Aku menjawab, ‘Dua (hadits), dan aku ingin menulis dua hadits lagi.’ Orang-orang yang hadir di majelis itu menertawakanku. Lalu berkatalah salah seorang syaikh di antara mereka, ‘Janganlah kalian menertawakannya, bisa jadi suatu saat justru dia yang menertawakan kalian.’”6
Hasyid bin Ismail dan seorang temannya mengisahkan pula, “Pernah Abu Abdillah Al-Bukhari pergi belajar bersama kami kepada ulama-ulama Bashrah. Saat itu ia masih sangat muda dan ia tidak pernah mencatat. Hingga satu ketika kami menegurnya, ‘Sesungguhnya engkau pergi belajar bersama kami, namun engkau tidak pernah mencatat, apa saja yang engkau kerjakan?’ Enam hari setelah kejadian itu ia berkata kepada kami, ‘Sesungguhnya, kalian berdua telah berulang kali menegurku, sekarang tunjukkanlah apa yang telah kalian catat.’ Kami pun menunjukkan catatan kami kepadanya, dan ia justru menambahkan lima belas ribu hadits lagi pada catatan kami, kemudian membacakan seluruh hadits-hadits tersebut dengan hafalannya. Sehingga justru kami mengoreksi catatan kami (sebelumnya) dengan merujuk kepada hafalannya. Ia berkata kepada kami, ‘Apakah menurut kalian aku pergi untuk sesuatu yang sia-sia dan aku menyia-nyiakan hari-hariku?’ Kami pun tersadar, tidak ada seorangpun yang mampu mengunggulinya.’7 Tentang kehebatan daya hafalnya ini, sepuluh ulama Bashrah pernah sengaja mengujinya. Masing-masing mereka melemparkan pertanyaan kepada Al -ukhari tentang sepuluh hadits yang telah dibolak-balikkan sanad dan matannya. Sehingga semuanya berjumlah seratus hadits. Ternyata beliau mampu mengembalikan sanad serta matan hadits masing-masing ulama tersebut sesuai urutannya yang benar, hanya dengan sekali dengar.8 Sebagaimana yang beliau akui, bahwa beliau mampu menghafal dua ratus ribu hadits shahih, serta dua ratus ribu hadits yang tidak shahih berikut sanad-sanadnya tanpa keliru sedikitpun.
Demikianlah sosok Al-Bukhari. Sejak kecil, cikal bakal ulama serta bakat keilmuannya telah nampak. Pada usia enam belas tahun, beliau telah hafal kitab karangan Imam Waqi’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian menginjak usia tujuh belas tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, untuk mengoreksi karangan-karangannya. Pada usia yang sama, beliau telah menjadi sumber rujukan hadits bagi tokoh-tokoh agama di Bashrah.
Tentunya semua itu tidak beliau peroleh dengan berpangku tangan dan usaha yang sedikit. Selain menimba ilmu dari para ulama di tanah kelahirannya, Beliau juga berulang kali mengembara ke negeri orang untuk memperbanyak perbendaharaan riwayat hadits, di samping untuk bertemu langsung dengan sanad hadits dan menimba ilmu dari ulama di setiap daerah yang ia kunjungi. Di antaranya adalah Khurasan, Balkh, Naisabur, Iraq, Baghdad, Bashrah, Kufah, dan Al-Jazirah (Sungai Eufrat dan Al-Furat). Ketika ia menunaikan haji bersama ibu dan saudaranya, Beliau juga memanfaat momen tersebut untuk menimba ilmu dari ulama Hijaz. Selama enam tahun lamanya, beliau hilir mudik menuntut ilmu di tanah Haram dan daerah sekitarnya. Di sela-sela keberadaannya di tanah Haram, beliau mengarang kitab tarikh-nya (At-Tarikh Al-Kabir) di sisi kubur nabi. Ketika itu umur beliau baru delapan belas tahun. Lalu beliau berpindah ke Mesir, untuk kemudian kembali ke Bukhara. Beliau memanfaatkan kesempatan disela-sela perjalanannya menuju kampung halamannya dengan menimba ilmu dari ulama daerah yang ia lewati, seperti Syam dan Iraq. Hingga tidak mengherankan jika bilangan guru beliau mencapai seribu delapan puluh orang. Di antara ulama yang pernah mengajar beliau adalah Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, Abdullah bin Yusuf, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, Abu Nu’aim Al-Fadhl, Muhammad bin Al-Basyar Bundar, Abu ‘Ashim (Adh-Dhahhak), Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dan masih banyak lagi.
Perhatiannya yang sangat besar terhadap hadits nabi, ditunjang dengan intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman beliau yang begitu mendalam tentang makna serta kandungan hadits berikut ‘illat-‘illat9–nya, menjadikan beliau seorang pakar hadits terkemuka sepanjang sejarah. Kelebihan-kelebihan yang melekat pada pribadi beliau ini begitu menarik minat para penuntut ilmu untuk senantiasa menghadiri majelisnya. Di antara murid-murid beliau yang kemudian juga lahir sebagai ulama hadits terkemuka adalah Muslim bin Al-Hajjaj, pengarang Shahih Muslim. Juga Abu Isa At-Tirmidzi, Muhammad bin Yusuf Al-Firabri, Ibrahim Ibnu Ma’qal, Hammad bin Syakir, Ibnu Khuzaimah, Yahya bin Muhammad Shamid, dan Ibnu Abi Ad-Dunya.
Kedalaman dan keluasan ilmu beliau juga terefleksi dalam prilakunya sehari-hari. Beliau adalah teladan dalam ibadah. Selalu larut dalam kegiatan keilmuan. Juga masyhur sebagai ulama berbudi pekerti luhur, sangat wara’ lagi pemaaf, tidak suka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi. Beliau begitu teliti dan hati-hati dalam bicara. Sampai dalam masalah jarh dan ta’dil seorang rawi yang menurutnya lemah, Beliau tetap memilih kata-kata lembut semisal munkarul hadits, fii haditsihi nazhar, atau sakatuu ‘anhu.10 Sangat jarang beliau menggunakan ungkapan-ungkapan terlalu keras semisal rawi itu seorang pendusta atau pemalsu hadits. Beliau berkata, “Aku berharap menjumpai Allah, dan Ia tidak menghukumku karena aku meng-ghibah seseorang.”11 Inilah puncak kehati-hatian beliau dalam bersikap. Demikian juga yang beliau lakukan ketika mengarang karya emasnya berjudul Al-Jami Al-Musnad Ash-Shahih Min Haditsi Rasulullah Wa Sunanihi Wa Ayyamihi yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari. Tidaklah Beliau memasukkan satu hadits dalam karyanya tersebut, kecuali beliau telah teiliti sanadnya, kemudian beliau shalat dua rakaat setiap kali hendak mencantumkan hadits yang telah lulus seleksinya. Di samping itu, masih banyak karya beliau yang menjadi saksi keluasan ilmu dan keikhlasan beliau, di antaranya At-Tarikh Al-Awsath, Al-Adabul Mufrad, Adh-Dhu’afa Al-Kabir, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir, At-Tafsir Al-Kabir, Aqawiilu Ash-Shahabah.12 Patutlah beliau mendapat banyak pujian dari banyak ulama. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar tentangnya, “Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kami dari Khurasan yang semisal dengan Muhammad bin Ismail.” Imam At-Tirmidzi berkata, “Aku belum pernah melihat di Iraq, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang makna illal, juga tarikh, serta pengetahuan tentang sanad hadits dibandingkan dengan Muhammad bin Ismail.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku belum pernah menjumpai di bawah langit ini, seseorang yang lebih paham dan lebih hafal terhadap hadits nabi daripada Muhammad bin Ismail.”
Namun demikian, kemulian derajat yang beliau peroleh karena keluasan ilmu yang beliau kuasai, tak urung mengundang dengki sebagian orang. Fitnah yang menimpa beliau bermula ketika seorang laki-laki dari Naisabur melontarkan pertanyaan kepada beliau seputar Lafzhu bi Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba, seluruhnya adalah makhluk.” Jawaban beliau ini disalahpahami oleh sebagian orang yang dengki terhadapnya. Mereka meyebarkan tuduhan terhadanya. Bahkan di antara mereka ada yang mengafirkan beliau. Masalah pelik itu terus meluas. Puncaknya, ketika seorang ulama Naisabur, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, melarang orang-orang menghadiri majelis Al-Bukhari, serta mengabarkan kepada setiap orang yang mengambil riwayat dari beliau tentang kecacatan akidahnya. Hingga orang-orangpun meninggalkannya. Tidak ada seorangpun yang sudi lagi menghadiri majelisnya, kecuali Muslim bin Al-Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Beliau menghadapi ujian itu dengan keteguhan seorang ulama, serta tidak membalas perlakuan buruk orang-orang yang zhalim terhadapnya. Ketika fitnah itu terus berlanjut, hingga beliau merasakan sempitnya bumi yang beliau pijak, beliau berdoa kepada Allah agar menyelamatkan beliau dari ujian tersebut dengan menjemput arwahnya ke sisi-Nya. Sebulan setelah itu beliau wafat di sebuah desa bernama Khartank. Tepatnya pada malam ‘Idul Fitri tahun 254 H. Ketika itu, beliau berumur 62 tahun. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dengan limpahan rahmat yang luas.
Maraji :
1. Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi (393-463 H), Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
2. Siyar Min A’lamin Nubala, Syamsuddin Adz-Dzahabi (673-748 H), tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut, cet XI th 1322 H/ 2001 M
3. Taghliq At-Ta’liq, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (773-852 H), tahqiq Said Abdurrahman Musa Al-Qazqi, Al-Maktab Al-Islami, Beirut-Aman, cet I th 1405 H
4. Taisir Mushthalah Al-Hadits, DR. Mahmud Thahan, Maktab Al-Ma’arif, cet IX th 1417 H/ 1996 M
5. Mudzakkirah Al-Hadits Asy-Syarif Kuliyah Asy-Syari’ah, semester I tahun I, Jami’ah Islamiyah Madinah
Catatan kaki:
1 Ada yang mengatakan nama kakek beliau ini adalah Bazduzbah, yang dalam bahasa Bukhara berarti petani. Kakek beliau ini wafat dalam keadaan memeluk agama Majusi.
2 Tentang latar belakang laqab Al-Ju’fi ini, Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan, “Al-Bukhari digelari dengan Al-Ju’fi, karena kekeknya (yakni Al-Mughirah) masuk Islam dengan perantaraan Yaman Al-Ju’fi, seorang gubernur Bukhara yang tak lain adalah kakek buyut dari guru Imam Al-Bukhari yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi. Maka, ia dinisbatkan kepada Al-Ju’fi ini (Tarikh Baghdad, 2/6 dengan ringkas). Adz-Dzahabi menambahkan, sebelum masuk Islam Al-Mughirah memeluk agama bapaknya, yakni Majusi. (Siyar A’lamin Nubala,12/392).
3 Satu daerah yang terletak di Khurasan.
4 Ibnu Hajar Al-Asqalani berkomentar tentangnya, “Aku belum mengetahui namanya…. Dan aku kira, ia merupakan nisbat kepada sebuah kota di Naisabur.” Lihat Taghliqut Ta’liq, 5/387.
5 Siyar A’lamin Nubala, 12/393.
6 Siyar A’lamin Nubala, 12/401.
7 Siyar A’lamin Nubala, 12/408.
8 Siyar A’lamin Nubala, 12/409.
9 Faktor rumit dan tersembunyi yang membuat cacat terhadap keshahihan sebuah hadits. (Lihat Taisir Mushthalah Al-Hadits, hal. 35).
10 Munkarul hadits artinya pe-rawi lemah yang menyelisihi pe-rawi lain yang diterima haditsnya, fiihi nazhar menurut Al-Bukhari berarti pe-rawi tersebut tertuduh dan sangat lemah, sakatuu ‘anhu artinya para ulama tidak berkomentar tentangnya.
11 (Siyar A’lamin Nubala, 12/439). Maka bandingkanlah dengan keadaan sebagian kaum muslimin sekarang, yang tidak segan-segan menggelari saudaranya dengan julukan-julukan yang sama sekali keluar dari sikap kesantunan, hanya karena saudaranya itu berbeda pendapat dengannya dalam sebagian masalah furu’ yang masih diperselisihkan para ulama !!!فاعتبروا يا أولي الأبصار
12 Empat karya beliau yang terakhir masih berbentuk manuskrip dan belum dicetak.